Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang
Kebudayaan dikenal dengan istilah “man made part of the environtment” bagian dari lingkungan buatan manusia.
Kebudayaan merupakan bagian dari keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil cipta, karsa dan rasa manusia di dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Budaya merupakan sesuatu sistem gagasan dan nilai yang dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki pemikiran dan kesepakatan bersama yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Budaya dihidupi dalam suatu masyarakat tertentu yang dijadikan seperangkat aturan atau norma dalam kehidupan suatu masyarakat yang dipandang layak dalam mengatur kehidupan bersama.
Saya berpikir gagasan dan nilai dalam suatu kebudayaan sulit untuk dihilangkan jika manusia mempunyai satu gagasan atau pikiran yang sama akan pentingnya nilai kebudayaan yang dijadikan sebagai pedoman.
Lalu, pandangan dan tolak ukur dalam mengatur kehidupan manusia.
Karena itu budaya harus dijaga dan dilestarikan agar budaya yang kita miliki tidak punah dan tetap terlestari sampai pada generasi-generasi anak cucu kita nanti.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi yang semakin modern saat ini sangat mengancam terjadinya pergeseran dan pergolakan yang menyebabkan nilai luhur kebudayaan sedikit demi sedikit luntur dan dihilangkan dari budaya aslinya.
Kita sebagai generasi baru, generasi penerus, marilah kita menjaga dan melestarikan budaya kita untuk tetap hidup dan berakar di kalangan masyarakat.
Terutama di zaman ini dan di masa yang akan datang, di mana masa anak cucu kita nanti.
Manusia zaman ini hidup dalam alur modern dan semuanya serba modern.
Tetapi harus disadari kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari keberadaannya sebagai makhluk berbudaya.
Makhluk bertradisi yang hidup berdasarkan nilai budaya tertentu dan menjadi ciri khas keberadaan dirinya sebagai manusia.
Dalam realitas kehidupan zaman ini sebagian besar anak muda-mudi berpacaran.
Tentu tujuan finalnya dari hubungan pacaran mereka adalah menuju pada jenjang pernikahan.
Ada suatu hal yang pasti dalam upacara pernikahan ialah menyangkut budaya belis.
Budaya belis merupakan suatu tradisi adat yang sudah ada sejak zaman purba kala.
Budaya belis akan tetap ada yang terus diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasai.
Hal ini sebagai bentuk penegasan bahwa suatu pasangan telah diakui secara adat kebudayaan tertentu.
Budaya belis merupakan cerminan identitas suatu masyarakat.
Budaya belis merupakan harta tak ternilai yang perlu dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang.
Di sini kita akan membahas “budaya belis atau perikatan adat” yang sangat menarik untuk diperbincangkan yang terjadi di Nagekeo khususnya budaya adat Keo.
Dalam budaya dan tradisi masyarakat Keo jika seorang pria dewasa yang sudah memiliki calon istri atau dambaan hatinya, mereka akan segera merencanakan perkawinan/pernikahan.
Artinya perkawinan mempunyai akibat hukum adat, yang berlaku dalam budaya dan tradisi adat Keo.
Dan yang saya ketahui bahwa perkawinan di Nagekeo khususnya adat Keo menganut sistem perkawinan patrilineal.
Laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang (emas, parang adat), hewan (kambing, sapi, kerbau dan kuda), dan uang kepada pihak perempuan.
Hal ini sebagai tanggung jawab seorang laki-laki yang hendak menikah atau berkeluarga.
Laki-laki harus benar-benar bertanggung jawab atas istri atau pasangannya yang akan ia nikahi.
Dalam hukum adat ini menurut ritual dan tradisi Keo bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting.
Sebab tidak saja menyangkut hubungan antara kedua mempelai.
Tetapi juga menyangkut hubungan keluarga antara kedua mempelai seperti orangtua dan saudara-saudara lainnya.
Masyarakat Keo juga meyakini bahwa di dalam hukum adat perkawinan bukan saja sebagai peristiwa penting bagi semua masyarakat yang masih hidup melainkan untuk para leluhur dan nenek moyang yang telah meninggal dan mendahului mereka.
Sebab arwah-arwah dari kedua belah pihak diharapkan juga dapat merestui kelangsungan rumah tangga mereka berdua sebagai pasangan baru agar lebih damai, sejahtera dan bahagia.
Tahapan dan Proses Kebudayaan Adat Keo
Pasangan yang akan dinikahkan dan diakui secara adat kebudayaan Keo harus melalui tahapan untuk menjaga keselamatan serta kedamaian dalam hubungan mereka.
Tahapan-tahapan ini sesuai dengan ritual dan tradisi masyarakat Nagekeo khususnya adat Keo yang harus dilakukan tanpa alasan apapun.
Pertama, ritual yang biasanya disebutkan dalam bahasa adat “Pongga Dako (ade ona)”. Artinya, pihak keluarga perempuan berkumpul di rumah perempuan calon istri dari seorang laki-laki.
Mereka menunggu kedatangan keluarga laki-laki yang melamar anak gadisnya (calon istri dari laki-laki).
Mereka menanyakan maksud dan tujuan dari kedatangan keluarga laki-laki.
Jika pihak keluarga perempuan sudah mengetahui kedatangan keluarga laki-laki dan di momen inilah terjadi peresmian keluarga di antara kedua calon pasangan baru.
Dalam ritual ini belisnya yakni, anjing satu ekor, ayam jantan satu ekor, sirih pinang secukupnya, kopi gula secukupnya, serta moke secukupnya.
Kedua, yakni bahasa adatnya “Peu Long (tete eko lombo ghinga)”.
Artinya, suatu forum yang dihadirkan oleh “embu mame atau pihak om” dan sesama yang lain yang menandakan bahwa anak gadis yang dimaksud sudah ada pemiliknya.
Ritual ini juga memiliki belis yakni, kambing jantan satu ekor, parang adat satu batang, satu gram emas yang digunakan dalam ritual tersebut.
Ketiga, yakni “mbe’o sa’o atau mengenal rumah perempuan calon istri”. Semua keluarga dari pihak perempuan dan dari pihak laki-laki berkumpul di rumah (perempuan) calon istri.
Maksud dari mbe’o sa’o ini ialah agar keluarga pihak laki-laki mengenal rumah perempuan (calon istri) secara jelas.
Ini merupakan aturan dari budaya yang harus dilaksanakan walaupun sebelumnya pihak keluarga pria sudah mengetahui rumah perempuan (calon istri) tetapi secara budaya dan tradisi harus dilakukan ritual ini.
Belisnya yakni, satu ekor kerbau dan empat gram emas yang dibawa pada saat ritual ini.
Keempat, yakni “tei ula” yang merupakan bagian dari pihak om yang memberi petunjuk dan pedoman akan suatu keberhasilan (kema tei ghawo luka) yang akan diraih dan dicapai oleh mereka berdua di hari-hari kehidupannya nanti.
Belisnya kerbau satu ekor, kuda satu ekor, kambing satu ekor, empat gram emas dan parang adat tiga batang.
Kelima, ialah “sodho kawin” atau pemberitahuan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan tentang tanggal dan waktu pernikahan dan akan disepakati oleh kedua bela pihak.
Baik dari pihak perempuan maupun dari pihak laki-laki mengenai tanggal dan waktu kapan akan dilaksanakan penikahan yang sah secara tradisi, budaya dan secara agama. Belisnya ialah kerbau jantan satu ekor.
Keenam, ialah “weki mere jangga dewa”. Yang dimaksudkan dengan tahap weki mere jangga dewa ialah tahap pernikahan kedua pasangan yang sudah melalui proses adat dan budaya yang cukup panjang dan sangat bersejarah. Pasangan baru dapat memperoleh pernikahan yang sah secara budaya dan agama.
Ketujuh, yakni “nuka sa’o” yang artinya anak perempuan atau istri berpindah ke rumah suaminya, setelah menyelesaikan berbagai proses tradisi kebudayaan dan dinikahkan secara agama.
Inilah ritual kebudayaan yang terjadi di dalam realitas kehidupan masyarakat Nagekeo khususnya budaya adat Keo.
Maksud di balik tulisan ini agar dapat memberikan pencerahan bagi semua orang mengenai budaya belis dalam entitas adat Nagekeo, terkhusunya muda-mudi di berbagai daerah dalam memilih pasangan hidup ke depannya.
Manusia harus menyadari bahwa tradisi muncul bersamaan dengan kehadiran manusia di jagad raya ini.
Dalam konteks kehidupan manusia zaman ini budaya belis harus tetap diwarisi dan dilestarikan dari generasai ke generasi.
Sebab, budaya belis sudah ada sejak zaman dahulu kala sebagai warisan istimewa yang dititipkan oleh nenek moyang kita kepada generasi manusia zaman ini.
Harapan saya dan harapan kita bersama sebagai makhluk yang berbudaya agar tetap mempertahankan dan melestaraikan budaya belis ini sebagai peninggalan yang sangat bermakna dalam ritme kehidupan kita di jagad raya ini.