Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Tulisan ini mengulas sekilas penerapan politik uang dan campur tangan Tuhan dalam pesta demokrasi sesuai realitas faktual yang seringkali kita saksikan dalam konteks pesta demokrasi di Indonesia.
Suara rakyat adalah suara Tuhan sebagai konsep dasar yang menafasi pesta demokrasi sebagai suatu pesta rakyat seringkali direcoki dengan penerapan politik uang untuk membayar suara rakyat sebagai akar rumput.
Ketika kandidat yang menerapkan politik uang berhasil meraih kemenangan, mereka tidak lupa melaksanakan ucapan syukur.
Salah satu esensi syukurannya adalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan karena keberhasilan yang diraihnya dianggap sebagai berkat campur tangan Tuhan.
Bukan rahasia lagi, penerapan politik uang (money politics) adalah salah satu isu seksi dan ancangan atau strategi yang seringkali diisukan dalam konteks pesta demokrasi seperti pemilihan legislatif (pileg) di Indonesia selama ini.
Mekanisme penerapan politik uang yang diperagakan para kandidat begitu cantik sehingga sulit dijejaki dan dilacak secara yuridis ketika hendak dibuktikan.
Berkat kepiawaian para pelaku dalam mekanisme penerapannya di lapangan, kita sulit menemukan barang bukti untuk dapat diproseskan secara yuridis di depan lembaga hukum terkait.
Semua pihak terpaksa menerima hasil pemilihan sebagaimana dan apa adanya sesuai hasil perhitungan resmi dari pihak berwajib.
Lalu, kembali pada soal penerapan politik uang. Besaran bayaran persuara yang dialokasi bervariasi antara satu kandidat dengan kandidat yang lain sesuai ketebalan kantongnya masing-masing.
Bagi kandidat yang berdompet tebal menebar senyum simpul setelah pesta demokrasi selesai digelar.
Mengapa? Karena jumlah suara yang diraupnya terukur sesuai ketentuan dan persyaratan yang berlaku sehingga namanya dinyatakan sebagai pemenang.
Lagak dan gayanya dalam bertutur dan bertindak cenderung mulai berubah menanti pengukuhan lebih lanjut sebagai wakil rakyat dengan sematan predikat sebagai anggota dewan terhormat.
Sebaliknya, bagi kandidat yang bermodal dengkul dan hanya mengandalkan ragam bahasa politis beraroma profetis melalui umbaran janji-janji manis ketika melakukan sosialisasi dirinya di tengah akar rumput jatuh tersungkur diterpa kekalahan.
Mereka mengumpat sana-sini demi mengobati rasa sakit hatinya karena mimpinya menjadi wakil rakyat dengan sematan predikat sebagai anggota dewan terhormat hanya menjadi sebuah kenangan pahit.
Sebagian menerima kekalahan dengan lapang dada dengan menguak kata-kata hiburan menikmati kekalahannya sebagai suatu kesuksesan tertunda.
Sebagian yang lain ditumpuki gerutu sembari menghitung energi yang sudah terkuras dan terbuang selama pesta demokrasi berlangsung.
Lebih dari itu, mereka bahkan enggan bersosialisasi diri lagi dengan sesama saudara yang lain di sekitarnya.
Mereka masih tersumbat dengki dalam balutan dugaan, sama saudaranya tidak memberikan dukungan suara untuknya dalam konteks pesta demokrasi yang sudah digelar.
Suatu fenomena menarik yang kita seringkali saksikan selama ini, ketika kandidat yang berdompet tebal berhasil meraih kemenangan dengan menerapkan politik uang tidak lupa melakukan acara syukuran sesuai kepercayaan yang dianutnya.
Selain dihadiri banyak kalangan masyarakat, acara syukuran itu dipandu langsung oleh fungsionaris agama.
Dalam kotbahnya, fungsionaris agama yang memandu acara syukuran itu tidak jarang menyatakan dengan suara lantang tentang keberhasilan yang dicapainya itu bukan hanya karena kemampuan ragawi manusia semata.
Kemenangan yang dicapainya dalam pesta demokrasi yang sudah digelar terjadi pula berkat campur tangan Tuhan. Basis argumentasi yang menjadi latar pikir, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Pernyataan yang dikemukan itu tentu bukan sekadar sebuah ironi tetapi merupakan sebuah kenyataan yang seringkali kita simak ketika menghadiri acara syukuran bagi mereka yang meraih kemenangan.
Pernyataan itu mengusik telinga kita ketika disimak secara cermat dan saksama. Mengapa? Kemenangan yang diraihnya melalui penerapan politik uang justru dipahami dan dimaknai sebagai berkat campur tangan Tuhan.
Hemat penulis, lebih baik mengakui dosa dan kesalahannya di hadapan Tuhan dalam acara syukuran itu dari pada memahami dan memaknai kemenangan yang diraihnya dalam pesta demokrasi melalui penerapan politik uang sebagai berkat campur tangan Tuhan.
Bukankah Tuhan tidak hadir dalam serangan fajar? Bukankah Tuhan tidak ikut ambil bagian dalam membagi sembako dari rumah ke rumah?
Oh my God … ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka katakan.
Karena adanya penerapan politik uang, maka tidak heran jika pesta demokrasi yang sedianya bersifat mulia dipelesetkan dengan pesta democrazy.