Ruteng, Vox NTT- Dosen Unika St. Paulus Ruteng RD. Inosensius Sutam ikut menyoroti eksistensi budaya Manggarai di mata anak muda.
Menurut Pastor Ino, selama ini ketika ada acara adat di kampung-kampung hampir tak ada panggung untuk anak-anak muda.
Konon, kata dia, praktik itu dilakukan karena orang tampil di panggung adat terdapat kriteria khusus.
“Ada yang bilang orang muda tidak ingat budaya dan lain sebagainya. Itu karena tidak diberi panggung sebenarnya,” kata Pastor Ino di sela-sela kegiatan perlombaan budaya Manggarai di Aula Gedung Utama (GUT) lantai 5 Unika St. Paulus Ruteng, Selasa (14/5/2024).
Pastor Ino yang juga koordinator pelaksana lomba bidang budaya mengatakan, perlombaan ini merupakan salah satu cara agar anak muda diberi ruang untuk mempraktikkan budaya, yang dalam konteks tersebut adalah Torok.
Torok merupakan salah satu tuturan adat yang masih diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Manggarai. Torok mengandung berbagai nilai kearifan lokal.
Menurut dia, selain mengasah pengetahuan, perlombaan Torok juga dapat membentuk karakter.
“Kita lihat, dengan mereka duduk saja lalu hormati, itu kan membentuk tingkah laku sebetulnya dan gestikulasi sudah dilatih mulai menghormati orang lain juga,” pungkasnya.
Pastor Ino menegaskan, benih nilai hospitalitas para peserta juga terlihat dalam perlombaan tersebut.
“Selain itu juga tentu soal keterampilan, terutama cara menggunakan pakaian,” katanya.
Rawat Kearifan Lokal
Wakil Rektor 1 Unika St Ruteng Marsel Ruben Payong kepada wartawan mengatakan, perlombaan ini merupakan sebuah upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat, dan kearifan lokal dari masyarakat Manggarai.
Tahun 1993 ketika Yubileum 80 tahun Gereja Katolik Manggarai, kata dia, Prof. Dr. Robert Lawang pada salah satu makalahnya telah mengingatkan adanya potensi perkembangan “De-Manggaraisasi”, dengan salah satu cirinya adalah penggunaan bahasa, nama-nama orang, dan beberapa nilai budaya lain yang sudah semakin kabur atau luntur.
“Sinyal elemen Prof. Robert Lawang terkonfirmasi ketika tahun 1996 UNESCO dalam publikasinya tentang Pendidikan di Abad ke-21 mengidentifikasi adanya sejumlah ketegangan ketika umat manusia ini memasuki era abad ke-21,” katanya.
Ia mengatakan, salah satu ketegangan yang diidentifikasi adalah ketegangan antara proses globalisasi di satu sisi dan kemampuan manusia untuk memelihara dan mempertahankan jati diri lokalitasnya.
Ia menilai banjir bandang globalisasi tentu membawa banyak nilai-nilai yang tidak seluruhnya kompatibel dengan nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat.
Pada tahun 2022 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional juga mensinyalir ada sekitar 22 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah akibat semakin sedikitnya pemakai bahasanya dan kontaminasi dengan bahasa lain.
Marsel berpendapat, dengan beberapa catatan tersebut, momen perlombaan ini mendapatkan tempat yang istimewa sebagai langkah strategis untuk merawat kearifan lokal dan jati diri ‘Kemanggaraian’.
“Itulah sebabnya, Unika Santu Paulus Ruteng dan panitia dies natalis 65 tahun Unika Santu Paulus Ruteng merasa perlu untuk menggelar perlombaan yang bernuansa untuk mengangkat kembali berbagai kearifan lokal di Manggarai melalui perlombaan Torok, pidato dan puisi bahasa Manggarai,” jelasnya.
Kontributor: Isno Baco