Cerpen
Oleh: Rio Dominggo
Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
Ini yang dinamakan penyesalan, saat ingin dan angan fana dipanggang luka. Ini benar-benar penyesalan bahwa aku sekarang melarat saja.
Bahwa aku sering menangis kecil membayangkan peristiwa kelam satu tahun lalu. Seperti bunga aku berkembang, lalu layu.
Seperti bayang-bayang aku hilang, lenyap dan tidak dapat bertahan. Semuanya bermula dari liku-laku kehidupanku saat menempuh pendidikan di Kota Labuan Bajo yang menawan aduhai itu.
***
“Ikeng, dia dia sekolah ba kota huper premium hitu be” . Ungkapan lembut itu dirapal oleh mama Resa kepada putri semata wayangnya bernama Ikeng.
Bersekolah di Labuan Bajo memang menjadi dambaan anak-anak muda di pelosok. Seperti kuda merindukan padang rumput, begitu pun hati anak muda merindukan suasana sekolah di kota kecil itu.
Kali ini, Ikeng gadis cantik diutus oleh orangtuanya dengan sederhana menuju Labuan Bajo untuk bersekolah.
Kasih ayah memang besar, cinta ibu sungguh lapang. Ribuan nasihat membasahi perjalanan Ikeng.
Apalagi bapa Nober ayah Ikeng menjadi teladan di kampungnya.
Bapa Nober acap kali mengajak Ikeng untuk berada di rumah Tuhan setiap pagi di hari Minggu.
Doa paling agung Bapa Nober dan mama Resa hanya satu, anak cantik mereka bersekolah dengan aman dalam iman yang kekal.
***
Hari berganti hari dan waktu berlalu dengan cepat. Sunset di Labuan Bajo memang membetahkan siapa saja yang datang.
Ikeng sekarang menempuh pendidikan di salah satu sekolah swasta di tengah kota. Ikeng mengenal teman-teman baru dan gaya hidup yang baru.
Kalau waktu di kampung ia jarang sekali berkaca dan mempercantik dirinya tetapi kemajuan pariwisata merhasil mendorong Ikeng untuk terus berdandan dan memberi warna pada bibirnya.
Ikeng menempati salah satu asrama bersama dengan teman-teman dari wilayah lain. Setiap lelaki yang memandang paras Ikeng akan terpesona.
Pernah suatu waktu, seorang lelaki kumis tipis yang sedang berjalan kaki hampir saja ditabrak mobil lantaran memandang wajah Ikeng terlalu dalam.
Setiap hari Ikeng berangkat ke sekolah tanpa kendaraan. Banyak yang bilang, Labuan Bajo adalah kota yang bersuhu panas tetapi di hadapan wajahnya Semua anggapan itu ambigu dan runtuh.
Minggu pertama dalam bulan yang kedelapan tahun itu, ketika Ikeng dan teman-temannya pulang sekolah, tiba-tiba oto bemo menghalangi langkah mereka.
Dari dalam oto bemo seorang kulit hitam manis menawarkan mereka untuk pulang mengunakan kendaraannya.
“Nona-nona manis sebenarnya tidak boleh jalan kaki siang-siang begini nanti kecantikannya luntur”.
Gombalan maut dari sopir bemo tersebut berhasil membuat Ikeng dengan teman-temanya baper. Di dalam bemo tatapan sang sopir dengan Ikeng berbeda dengan teman-teman yang lain.
Sang sopir sesekali mengedipkan mata sepanjang perjalanan. Ikeng hanya tersipu malu.
Ketika sudah sampai di depan asrama sopir bemo melirik licik pada Ikeng lalu berkata “Nona, boleh Minta nomor HP ko?” “Boleh kaka” Ikeng sontak menjawab serta memberikannya tanpa menolak sejengkal pun. Dalam nama sopir bemo Ikeng memulai sesuatu yang baru dalam hidupnya.
“Hallo nona, nama kamu siapa? Aku sangat bersyukur setiap aku mengingat kamu”. Ini adalah pesan WA pertama dari sopir bemo kepada Ikeng. Jantung Ikeng berdebar ketika melihat notifikasi pesan tersebut.
Dalam hatinya Ikeng bertanya, siapakah aku ini sampai sopir bemo memberikan gombalan kepadanya. Setelah itu perbincangan berlangsung panjang sampai-sampai tidak peduli dengan larutnya malam.
Sejak saat itu Ikeng menjadi perempuan yang spesial bagi sopir bemo itu. Ikeng cukup duduk sambil tersenyum maka Ia pun turun gratis.
Wajar saja setiap lelaki yang menyukai perempuan maka mereka akan melakukan apa saja untuk meluluhkan hatinya.
Senja kali ini, sopir bemo mengajak Ikeng mengelilingi kota mengunakan motor Revo miliknya sembari mencicipi makanan khas di tengah kota.
Ketika mereka sedang asik dalam perjalanan, entah apa yang merasuki semesta waktu itu tiba-tiba hujan deras mengguyur semua yang dilaluinya.
“Nona, kita ke kaka punya kos saja, kalau hujan redah baru kita lanjut jalan”. “Kaka, saya takut kita cari tempat lain saja” jawab Ikeng dengan lembut.“ “tenang saja manis, tidak lama nanti lagian tujuannya supaya supaya Ikeng bisa lihat tempat tinggal saya” ujar sang sopir dengan meyakinkan.
Mendengar itu Ikeng mengiyakan saja tanpa berpikir panjang. Ketika sampai di kos, mereka melanjutkan perbincangan hangat di depan teras.
Hujan semakin menjadi-jadi. Setiap rintiknya tidak ada tanda untuk rehat sejenak. Suasana sore itu benar-benar gagap kata. Sore yang tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi pada mereka berdua setelah itu.
***
Tanpa disadari malam pun tiba. Ikeng bangun dari tidur, hatinya hancur berkeping-keping. Apa yang terjadi pada hari itu di luar pikirannya.
Ia menangis sejadi-jadinya dan meminta untuk pulang. Sekali lagi, Ikeng benar-benar hancur. Ia bingung serta mau mati rasanya ketika mengingat lagi apa yang terjadi.
Waktu-waktu selanjutnya Ikeng kehilangan orientasi. Ketika ia menghubungi sopir oto bemo yang dulu memujanya mendadak hilang kabar. Sayang seribu sayang, nampaknya Ikeng ditipu.
Sopir bemo itu ternyata hanya memanfaatkan dirinya untuk kepuasan duniawi. Awalnya Ikeng menyimpan semua perkara itu dalam hati, tetapi perutnya makin hari makin gemuk.
Pihak sekolah dan teman-temannya pun tahu. Akhirnya Ikeng tertatih-tatih kembali menuju kampung halaman. Kedua orangtuanya tidak percaya dengan semuanya itu.
Mereka benar-benar tidak menyangka apa yang terjadi dengan putri semata wayang mereka. “Nak, engkaulah harapan kami satu-satunya, tetapi apakah yang terjadi sekarang” Air mata mama Resa berkeluyuran tanpa tahu malu. Sedangkan Bapa Nober berkabung menembus dinginnya malam.
Sekarang Ikeng terus menyesal. Apalagi sopir oto bemo yang dulu bersamanya hilang kenang. Menurut ata mbeko (dukun) yang ada di kampung sebelah sopir oto bemo itu ternyata sudah memiliki istri dan anak.
Tidak hanya sampai di situ, hati Ikeng tambah hancur ketika ayahnya sekarang terkena penyakit stroke lantaran terlalu banyak berpikir akibat perbuatannya.
Penyesalan ini memang berliku-liku jalannya, perlahan-lahan meradang seluruh tubuh, meremukkan tulang-tulang seperti mau mati rasanya. Masa depan Ikeng hilang bersama sopir oto bemo yang hilang kenang.