Cerpen
Oleh: Mariani Weni Ariati
Siswi Kelas XI IPA SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
Saya pernah mendengar orang mengatakan demikian “the people come and go“. Pada awalnnya saya tidak terlalu memusingkan kalimat tersebut.
Namun sekarang saya mengerti tersirat dari kalimat tersebut, karena sekarang kalimat itu terjadi pada kehidupan saya sendiri.
Ya, kata orang semakin dewasa kita akan semakin mengerti makna kehidupan sebetulnya. Semakin dewasa masalah akan kian bertangan silih berganti, Kehilangan orang-orang yang begitu berarti.
Aurelia Aleta Sanjaya itu nama lengkap saya. Saya sangat menyukai nama itu. Bukan karena seperti yang dikatakan teman-teman saya seperti, nama saya cantik, bagus dan lain sebagainya, tetapi karena nama itu adalah pemberian dari sang mama tercinta.
Bicara tentang mama, saya begitu merindukannya. Apa kabarnya ya sekarang? Saya berharap dia baik- baik saja di rumah. Dua minggu yang lalu aku bertengkar dengannya dan lagi-lagi aku pemicu konflik yang terjadi.
Kelabilan, kekanakanakan saya masih belum bisa saya hilangkan. Hingga bedampak pada orang terdekat saya, dan saya juga sadar sikap egois dan tak tahu bersyukur saya masih begitu melekat pada diri saya.
Sikap yang paling saya benci adalah Ketika saya gagal dalam suatu hal, saya akan menyalahkan itu pada mama saya, keadaan hidup saya, saya sangsat-sangat ingin menghilangkan sikap itu.
Kesehatannya sedang terganggu dan ditambah dengan kelakuan saya, saya rasa bebannya bertambah. Maaf mama.
Saya anak bungsu dari 3 bersaudari. Kalau kata kedua saudari saya, saya adalah anak yang paling dimanja, apa pun saya inginkan pasti akan diberikan.
Yang benar? Saya rasa kata-kata itu lebih cocok diberikan kepada kalian. Jadi kalian enak, kalian bisa melakukan apa saja tanpa adanya larangan-larangan.
Sedangkan saya? Dari kecil saya selalu di rumah sampai SMP, saya selalu dianggap anak kecil, disaat teman-teman saya kemana-mana menikmati masa puberatasnya.
Di saat teman-teman saya bebas menentukan pilihan SMP nya saya malah diharuskan untuk sekolah di SMP yang dipilih oleh orangtua saya.
Kata orang jadi anak bungsu itu menyenangkan, namun realitanya tidak seperti yang dipikirkan orang-orang.
Di rumah saya sendiri dengan kedua orangtua saya. Saya mejadi saksi ketika mereka bertengkar hebat dan saya hanya bisa diam dan menangis.
Saya harus mengetahui segala hal yang seharusnya saya tidak tahu. Saya dituntut harus lebih baik dari kakak-kakak saya, belum lagi harus memikirkan umur orangtua yang sudah menua.
Sekarang saya sedang menempuh pendidikan di salah satu sekolah swasta yang cukup terkenal di kota saya. Jarak sekolah dan rumah saya sangat jauh. Itu sebabnya saya harus tingal di kos.
Berat, sangat berat. Semuannya terasa begitu menyeramkan. Sekolah baru, lingkungan baru, teman baru.
Di kala itu begitu banyak hal yang saya takutkan. Saya memang bukan tergolong anak introvert yang begitu takut untuk berinteraksi. Saya juga bukan anak extrovert yang bergaul dengan siapa saja dan banyak tingkah.
Saya cukup sederhana, sikap saya tergantung dengan siapa saya berinteraksi. Namun ketakutan-ketakutan yang timbul entah dari mana yang menyebabkan saya cukup kurang percaya diri.
Saya bukan gadis cantik idaman para pria. Saya juga bukan gadis pintar kebanggan para guru. Saya hanyalah gadis tujuh belas tahun yang memiliki banyak mimpi.
Tidak ada yang menonjol dari saya. Selain tinggi badan saya yang cukup mencolok dibandingkan remaja-remaja perempuan lainnya, dulu saya sempat berpikir di masa depan saya akan menjadi pramugari, model.
Tapi kenyataanya Bahasa Inggris saya sampai sekarang masih sering rededial. Public speaking juga di bawah rata-rata, berbicara didepan teman kelas saja saya sering gugup. hahaha.
Mungkin karena faktor-faktor tersebut yang menyebabkan sampai sekarang saya menjomblo , selain karena memang keluarga saya melarang yang Namanya pacaran
20 juli 2023 adalah tangal, bulan, tahun di mana saya resmi menjadi anak SMA. Saat itu adalah momen-momen saya nantikan Ketika saya kecil. Impian masa kecil saya kini sedang saya perjuangkan.
Apakah impian masa keci itu akan terwujud? Saya harap ya. Namun, melihat banyak hal yang berubah dari saya selama ini membuat saya sadar. Sepertinya semuanya tidak akan sesuai dengan yang saya inginkan saat saya kecil.
Awal masuk sekolah, saya melihat teman-teman sebaya saya saling berkenalan dan berbagi cerita. Saya ingin…ingin sekali, namun entahlah saya juga tidak tahu entah mengapa saya tidak bisa seperti itu.
Di saat mereka bertemu orang baru dan mendapatkan teman, lantas saya? Saya hanya duduk di sudut kelas dan melihat mereka saling berinteraksi tanpa adanya saya.
Bolehkah saya bergabung? Ingin sekali rasanya saya mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, entah mengapa bibir saya begitu sulit mengatakannya. Saya benci.. sangat benci mengapa di kala itu saya sangat bodoh?
Sampai saat itu datang, dia sang gadis yang begitu manis. Saya masih ingat sekali cara dia mengajak saya berkenalan
“Hi salam kenal, Saya Anastasya Rembulan. You can call me Rembulan. Jaket kamu bagus, em tidak hasil curi kan?” tukasnya begitu frontal.
Ha-ha-ha gimana perasaan kalian ketika dituduh curi oleh orang yang baru kalian kenal? Marah, kesal bukan? Itulah yang saya rasakan Ketika dia mengatakakan hal tersebut.
“Oh, hi Rembulan. Saya Aurel, tenang saja saya bukan pencuri. Saya tidak pernah diajarkan untuk mencuri. Ini adalah kata-kata yang saya keluarkan saat itu. Dan sejak saat itu saya memutuskan untuk tidak akan pernah berinteraksi dengan Anastasya Rembulan.
Satu minggu melalui MPLS yang sangat membosankan, akhirnya saya sudah mendapatkan kelas saya. Saya di kelas X-A.
Awal berkenalan dengan warga kelas itu, kesan orang-orang kelas ini sangat kaku. Namun, sepertinya saya salah.
Karena pada nyatanya kelas ini dipenuhi oleh warga kelas yang memiliki sifat yang sangat freak. Dimulai dari si paling heboh, tapi menyimpan banyak luka, si introvert yang aslinya extrovert, si pintar yang banyak tekanan, dan si bodoh yang malas tahu. Itu adalah definisi warga kelas saya.
Meskipun begitu, entah mengapa saya merasakan adanya keluarga kedua yang saya dapat dari kelas itu
Definisi solidaritas itu ternyata benar-benar ada, dan saya mendapatkan semuanya di kelas ini. Banyak hal yang kami lakukan bersama.
Seperti lomba-lomba yang kami ikuti bersama dengan begitu semangat meskipun tak pernah menang, selalu merasa kelas yang paling membanggakan, kelas yang paling heboh, nyatanya sangat jauh dari kalimat-kalimat itu. Ha-ha-ha but, its ok yang penting pede, kan?
Kami sadar, kelas kami memang kelas yang sangat di cap buruk oleh guru-guru. Mungkin karena kelas kami tidak sepintar kelas-kelas lain? Ya sepertinya begitu.
Ayah wali kelas tercinta adalah satu-satunya guru yang begitu peduli pada kami. Dia adalah orang di balik kompaknya kelas kami.
Dia yang mengajarkan kami tentang keluarga yang didapat selain dari rumah. Dia jugalah orang yang membuat saya dan teman-teman saya tetap bertahan di sekolah yang penuh tekanan ini.
Sudah tak terhitung motivasi-motivasi yang ia berikan pada kami agar kami tetap tahan berada di sekolah ini.
Sudah tak terhitung juga malu yang ditanggung olehnya karena kelas kami, begitu banyak keluahan-keluhan dan cibiran yang guru-guru lain berikan untuk kami. Tapi, ia bak tembok penahan yang selalu siap melindung dan membengtengi kami.
Semuanya bejalan begitu menyenangkan sampai satu persatu anggota kelas saya harus pergi. Begitu sakit merasakan kehilangan sosak teman sekaligus saudara-saudari bagi saya.
Di saat saya sudah nyaman dengan lingkungan yang sekarang, saya harus siap kehilangan kebahagian yang telah susah payah kami bangun bersama.
Hancur, semuanya hancur begitu saja. Semuanya berantakan. Ini adalah awal kehancuran bagi saya.
Saya kehilangan teman, nilai saya benar-benar hancur begitu juga dengan teman-teman yang tersisa. Semuanya menghilang, kini kelas begitu sepi. Sudah lama sekali saya tidak mendengar suara tawa, nyanyi, di kelas ini. Perlahan-lahan semua pergi
Ingin hati berteriak pada sang semesta. Mengapa? Mengapa kebahagian selalu datang sesaat?
Mengapa setiap orang harus merasakan kehilangan? Jika akhirnya harus dipisahkan, mengapa harus dipertemukan?
Ending