Labuan Bajo, Vox NTT- Aktivis pergerakan Yosef Sampurna Nggarang menegaskan, pihak yang ‘menyerang’ fungsionaris adat Nggorang di Manggarai Barat diduga kuat para penjahat dalam pertanahan alias mafioso tanah.
Yos menegaskan hal itu sebagai reaksi atas pemberitaan sengekta lahan di Labuan Bajo yang dinilainya sudah sangat bias dan bisa menghambat laju investasi pertumbuhan industri pariwisata Labuan Bajo.
“Saya sudah teliti satu-satu mereka, semuanya diduga penjahat. Mereka ingin kaya dengan bermain kotor dalam pertahanan dengan meniadakan fungsionaris adat Nggorang yang selama ini kuat dan sah keberadaannya secara hukum,” ujar Yos dalam keterangan yang diterima awak media, Kamis (4/7/2024).
Putra Manggarai Barat yang konsen meneliti persoalan agraria ini mengikuti dinamika pemberitaan sengketa tanah antara pribadi yang sedang berproses sidang di Pengadialn Negeri (PN) Labuan Bajo.
Yos menyoroti narasi pemberitaan yang dimunculkan oleh beberapa oknum. Narasi mereka menyerang fungsionaris adat yang bukan bagian dalam perkara tersebut, baik sebagai pengguggat, tergugat atau pun turut tergugat.
“Faktanya, fungsionaris adat bukan bagian dari perkara yang sedang bergulir. Serangan ini diduga bagian dari kerja mafioso tanah,” ujar Yos.
Mengapa ‘Serang‘ Fungsionaris Adat?
“Saya menduga ada lokasi tanah lain yang mereka sasar, tapi mereka hanya menunggangi sengketa lahan Kerangan ini,” pungkas Yos.
Ia menyoroti berita surat terbuka kepada fungsionaris adat yang mengaku diri mereka sebagai tokoh masyarakat ulayat Nggorang. Ketika ditelusuri nama yang mengaku sebagai tokoh ini, ternyata bukan orang Nggorang.
“Dari tujuh poin yang disampaikan, seolah-olah ada masalah publik, padahal itu masalah pribadi. Membaca setiap poin yang disajikan tercium aroma kepentingan dari setiap oknum kelompok tersebut, tapi mereka menarasikan seolah ini kepentingan publik,” beber Yos.
“Mewakili kepentingan publik, tapi terbaca juga ada poin yang ingin membatasi kewenangan fungsionaris adat yang mana kewenangan itu bukan hal baru, tapi sudah turun temurun seperti yang sudah menjadi kebiasaan,” tegas Yos.
Pada poin pertama, surat terbuka tersebut, jelas dia, berpegang teguh pada surat pernyataan anak dan cucu ketua/ wakil fungsionaris adat yang dibuat pada 1 Maret 2013. Prihal kedaulatan fungsionaris adat Nggorang atas tanah adat ulayat Nggorang, wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Sekjen Pergerakan Kedaulatan Rakyat ini meminta agar poin surat tersebut tidak boleh disalahgunakan. Yos menelusuri berdasarkan dokumen, bahwa latar belakang surat ini terkait penolakan tambang, di mana saat itu Pemkab Mabar sedang berperkara dengan perusahaan tambang, PT Grand Nusantara di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
“Surat itu bermakna bahwa lokasi tambang itu berada di tanah masyarakat. Karena itu fungsionaris adat Nggorang berupaya mengeluarkan surat dukungan kepada Pemkab Mabar dan bertujuan melindungi hak masyarakat,” jelas Yos.
Ia menyebut surat ini bukan untuk menyerahkan wewenang apalagi menghilangkan fungsi tugas pokok dan wewenang fungsionaris adat Nggorang.
“Sekali lagi surat itu maknanya untuk melindungi hak kepemilikan dan surat itu atas dasar permintaan Pemkab Mabar,” tegasnya.
Sengaja Tak Paham
Surat terbuka itu juga memuat poin membatasi peran wewenang fungsioanaris adat. “Agak aneh, mereka sepertinya sengaja tidak paham bahwa peran ahli waris itu hanya melanjutkan. Tidak ada hal yang baru. Dan sifatnya mereka pasif.”
“Jadi harus dipahami, orang atau institusi yang membutuhkan fungsionaris adat. Bukan sebaliknya,” tegas Yos.
Yang namanya masyarakat adat itu menurut Yos, ada pemimpinnya. Tetapi dalam poin- poin yang dikemukan itu kesannya mau menghilangkan peran pemimpinnya.
Lalu poin ketiga dalam surat terbuka tersebut, “bahwa jabatan ketua/ wakil ketua fungsionaris adat Nggorang bukan jabatan warisan yang berlaku secara turun-temurun. Maka bagi anak/cucu/ketua/wakil fungsionaris adat Nggorang perlu membatasi diri untuk tidak melakukan tindakan seperti yang dilakukan mendiang ketua/ wakil fungsionaris adat terdahulu atas dasar ahli waris.”
Menurut Yos, poin ini sangat mengingkari adat/ budaya Manggarai. Sebab kebiasaan adat Manggarai, tua adat atau tu’a golo diwariskan turun- temurun kepada mereka yang bagian dari lingkaran keluarga.
“Jadi yang namanya ahli waris itu tidak terputus garis keturunannya. Jika mengingkari kebiasaan adat seperti ini maka semakin kelihatan diduga ada motif kepentingan dari oknum kelompok ini,” beber Yos.
Bagi Lagi Tanah yang Sudah Dibagi
Yos pun menduga, surat terbuka ini diduga memiliki motif untuk melegalkan praktik mencurigakan dari oknum-oknum, yang mana mereka menata tanah masyarakat yang sudah ditata dan dibagi kepada 39 orang oleh fungsionaris adat Nggorang, Haji Ishaka (almarhum) dan Haku Mustafa (almarhum) pada tahun 1997 yang letak lokasinya di daerah Gusoh Ngea.
“Kegiatan oknum-oknum ini diduga dilakukan dengan diam- diam tanpa sepengetahuan ahli waris fungsionaris adat Nggorang.”
Dari penelusuran berdasarkan dokumen, penataan oleh oknum ini dilakukan sekitar awal Agustus 2003.
Padahal lahan di Gusoh Ngea tersebut sudah ditata dan diserahkan pada Mei 1997 kepada 39 orang penerima diantaranya; Christian Rotok, Fidelis Kerong, Frans Paju Leok dan 36 lainnya.
Dan dalam pelaksanaan penataan lahan pada Mei 1997 tersebut, Haji Adam Djudje (alamrhum) terlibat langsung di lapangan.
Lalu pada 2003 diduga almarhum Adam Djuje menata kembali lahan yang sudah ditata tersebut dan dikavling- kavling kepada 322 orang calon penerima tanah dan termasuk pemilik lama 39 orang.
Di penataan kavling lahan 322 orang ini diduga FA adalah salah satu ketua kelompok. FA juga, kata Yos, tercatat sebagai calon penerima pembagian kavling dari jumlah 322 orang. Dalam dokumen, FA tercatat menerima pembagian kavling nomor 70.
Namun, sampai dengan saat ini ahli waris fungsionaris adat Nggorang tidak bersedia menandatangani dokumen daftar penerima pembagian tanah adat Lengkong Gusoh Ngea dan Toroh Sitangga yang calon penerimanya 322 orang.
Jadi, sebagai bentuk tanggung jawab dan melindungi hak-hak penerima pada tahun 1997, ahli waris fungsionaris adat mengirim surat pada 28 Agustus 2003 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai. Inti suratnya adalah keberatan atas pengukuran tanah di Gusoh Ngea. Bahwa lokasi yang ditata lagi oleh oknum-oknum itu merupakan lahan yang sudah diserahkan kepada 39 orang.
Maksud dari surat yang dikirim oleh ahli waris fungsionaris adat ini tak lain untuk melindungi hak-hak kepemilikan dan menghindari terjadinyaa tumpang tindih kepemilikan dari penerima yang sudah diserahkan pada tahun 1997.
Setelah surat pemberitahuan ahli waris fungsionaris adat kepada BPN Mangagrai tahun 2003, diketahui tidak ada lagi aktivitas di lapangan.
“Namun, lagi-lagi berdasarkan dokumen yang saya baca, terjadi pertemuan pada tanggal 8 Oktober 2014 bertempat di rumah ketua panitia pembagian tanah, yaitu AH di Labuan Bajo,” kata Yos.
Pertemuan pada 8 Oktober itu, kata Yos, bukan pertemuan pertama, tetapi pertemuan lanjutan sebagaimana bunyi redaksi dalam surat pada poin 11 hasil rapat tanggal 8 merupakan tindak lanjutan pertemuan tanggal 4 Oktober 2014. “Jadi, pertemuan panitia penataan lahan ini terjadi lebih dari sekali,” kata dia.
Jenjang waktu sebulan kemudian berdasarkan dokumen, pada 9 November 2014 ada surat penolakan dari 39 orang penerima tanah di tanggal 15 Mei tahun 1997 ditujukan kepada Haji Adam Djujde (alamarhum) yang prihalnya: Penolakan atas penataan ulang tanah Lengkong Gusoh Ngea dan Toroh Sitangga.
Bupati Keluarkan Surat
Yang menariknya, kata Yos, adalah Bupati Manggarai Barat mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kepala BPN Kabupaten Manggarai Barat dan Camat Komodo, dengan nomor surat: Pem 131/ 362/ XI/ 2014 tanggal 13 November 2014.
Prihal urat Bupati tersebut adalah Penataan Tanah Adat Nggorang di Gusoh Ngea dan Toroh Sitangga dan Tanah Hutan Negara.
“Dari redaksi pembuka surat bupati, ia menerima informasi dari masyarakat bahwa telah terjadi kegiatan penataan/ pembagian ulang tanah-tanah adat seperti yang tertera dalam prihal Surat oleh panitia pembagi tanah yang bukan oleh ahli waris fungsionari adat dari Dalu Nggorang,” ungkap Yos.
“Surat bupati ini keluar untuk mencegah keresahan dan konflik horizontal dimasyarakat Kota Labuan Bajo saat itu.”
“Jadi, kita lihat hari- hari kedepan, bukan tidak mungkin sebagian dari 322 orang yang dijanjikan itu menuntut haknya, sebab diduga mereka sudah memberi kewajiban kepada oknum- oknum sejumlah uang,” terang Yos.
“Soal ini saya sudah mengantongi bukti penyerahan uang, bahkan si calon penerima berdasarkan dokumen foto, penerima sempat dibawa ke lokasi.”
Yos mengatakan, serangan ke fungsionaris adat selama sekian minggu ini dengan narasi lahan Kerangan, bukan satu- satunya yang ingin dicapai, tetapi yang disasar adalah lokasi Gusoh Ngea dan lokasi lainnya seperti diduga wilayah Boe Batu dan sekitarnya.
“Dugaan saya ini terbaca dari narasi oknum-oknum yang sering muncul di publik dan adanya gerakan beberapa oknum yang berani mengatakan bahwa penerus ahli waris fungsionaris adat itu perusak,” tegas Yos.
Ia kembali menegaskan, narasi serangan ini bertujuan untuk melemahkan fungsionaris adat. Kemudian, bertujuan agar produk- produk dokumen yang mereka buat selama ini dilegalkan.
“Tentu ini sangat membahayakan bagi publik, dan juga bisa merusak tatanan adat,” tegas Yos.
Ia mengingatkan dalam pengusutan sengketa lahan Kerangan 30 hektare tahun 2021, peta lahan Gusoh Ngea tersebut turut disita oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi NTT dalam penggeledahan di rumah alamarhum Adam Djujde bersama barang bukti lain, yaitu beberapa mesin ketik.
“Saya menyaksikan langsung saat persidangan di Pengadilan Tinggi Tipikor di Kupang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka peta itu dalam persidangan,” tegasnya.
Untuk itu, Yos kembali mengimbau kepada masyarakat Mabar agar tidak terpengaruh dengan narasi opini- opini dari oknum kelompok yang “haus” ini.
Ia juga mengimbau kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat agar saling berkoordinasi dengan fungsionaris adat seperti yang dilakukan oleh bupati sebelumnya.
“Dan diingatkan agar hati- hati dalam memproses permohonan tanah. Dan sebisa mungkin tidak bagian dari kelompok “pemain” tanah,” tegas Yos.
“Ini imbauan moral, sebaikanya kita belajar dari kejadian Kerangan sebelumnya, beberapa pejabat dan beberapa masyarakat lainnya sudah menerima konsekwensi atas permainan mereka.”