Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Tidak dapat disangkal lagi, tungku politik pesta demokrasi yang sedang berlangsung sekarang ini, khususnya pemilihan kepala daerah (pilkada) di seluruh wilayah Indonesia yang akan dilakukan secara serempak beberapa bulan ke depan, semakin hari terasa semakin membara. Hal itu dikarenakan paket pemimpin yang ikut berpartisipasi sebagai kandidat dengan iringan rombongan tim suksesnya berlomba-lomba mengunjungi akar rumput siang-malam.
Sesuai konteks politik yang melatarinya, kunjungan itu dilakukan dengan tujuan melakukan sosialisasi diri sembari menguber mimpi melalui taburan janji-janji manis dengan mengusung perubahan sebagai tema utama. Arah dan muara capaian ditujukan dan disasarkan pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak dan rakyat kebanyakan.
Demi meyakinkan warga masyarakat sebagai akar rumput dalam menentukan pilihan politiknya, janji-janji manis yang mereka lontarkan dikemas sedemikian rupa melalui rumusan visi dan misinya yang begitu indah. Banyak kenyataan di sekitar kita selama ini menunjukkan, satuan kebahasaan yang digunakan dalam rumusan visi dan misinya beraroma profetis dengan selalu mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan rakyat kebanyakan di atas segala-galanya.
Satuan kebahasaan yang dipilih dan digunakan tidak hanya mengandung keindahan bentuk dalam tataran mukaan, tetapi juga mengundang kenikmatan inderawi ketika dituturkan dan disimak akar rumput. Kristalisasi keinginan dan harapan utama yang tergurat di balik komunikasi politik dengan akar rumput melalui satuan kebahasaan beraroma profetis dan bercorak estetis tersebut adalah meraih kemenangan dengan suara terbanyak dalam kontestasi pesta demokrasi yang berlangsung.
Berdasarkan hasil penelusuran informasi yang tersebar di berbagai platform media sosial, suatu fenomena menarik yang ditemukan, bukan cuma kandidat pendatang baru yang begitu intens melakukan sosialisasi diri dan mengumbar janji-janji manis di tengah masyarakat sebagai akar rumput. Kandidat petahana juga begitu sibuk melakukan sosialisasi diri dan mengumbar janji-janji manis bedimensi baru disertai dengan penyajian cuilan-cuilan bukti selama masa bakti sebelumnya sehingga janji-janji manis yang dikoarkan itu tampak ibarat anggur lama dalam kemasan baru.
Fenomena itu menyebabkan nuansa persaingan politik antara kandidat pendatang baru dan kandidat petahana tampak terasa begitu ketat selama kontestasi pesta demokrasi berlangsung. Terlepas dari semua itu, kristalisasi keinginan dan harapan yang tergurat di benak kita semua sebagai warga masyarakat bangsa Indonesia yang terwadah secara politis di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kontestasi pesta demokrasi yang sedang berlangsung sekarang berjalan lancar dalam suasana aman dan damai.
Mengapa? Karena perbedaan pilihan politik adalah hal biasa dalam suatu kontestasi pesta demokrasi sehingga perbedaan pilihan politik tidak boleh menjadi alasan bagi kita sebagai akar rumput untuk hidup dalam suatu suasana keterpecahan dalam tata pergaulan di tengah masyarakat seusai kontestasi pesta demokrasi berlangsung.
Seandainya paket yang kita usung menderita kekalahan, maka terimalah kekalahan itu dengan lapang dada tanpa mengkambinghitamkan satu sama lain sebagai sumber pemicu kekalahan. Demikian pula jika paket yang kita usung meraih kemenangan, maka kita sambut kemenangan itu dengan euforia terukur sembari mengajak kelompok yang menderita kekalahan untuk kembali merajut keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dalam tata pergaulan di tengah masyarakat. Prinsip dasar yang menjadi pegangan bersama adalah kemenangan yang diraih dalam kontestasi pesta demokrasi itu merupakan kemenangan kita bersama.
Terkhusus untuk anggota tim sukses, sangat diharapkan tidak ada kelompok tertentu yang menobatkan dirinya sebagai pihak yang sangat berjasa dalam menentukan kemenangan paket bersangkutan dengan menampilkan lagak dan gaya rada arogan seolah-olah mereka adalah pemimpin terpilih. Harapan itu tentu bukan sekedar sebuah ironi karena banyak kenyataan yang kita saksikan selama ini, ketercorengan wajah pemimpin terpilih justru direcoki dan diulahi oleh lagak dan gaya anggota tim sukses yang lupa diri seusai pesta demokrasi berlangsung.
Mereka berlagak dan bergaya bak pemimpin-pemimpin kecil dalam tata pergaulan di tengah masyarakat padahal masing-masing mereka hanya menyumbang satu suara dalam pemilihan, sebagaimana halnya dengan sesama pemilih yang lain. Lagak dan gaya kelompok tim sukses seperti itu merupakan bumerang yang menyebabkan kandidat petahana jatuh terjungkal dalam kontestasi pilkada di sejumlah di Indonesia selama ini.
Gara-gara tiki-taka tim sukses yang lupa diri, peluang kandidat petahana meraih kemenangan dengan raupan suara terbanyak dalam kontestasi pesta demokrasi hanya sebuah mimpi di siang bolong. Pungkas kata, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Demikian sebuah ironi di balik kenyataan yang mewarnai belanga politik dalam kontestasi pesta demokrasi selama ini.