Oleh: Stefanus Charles Tarung
Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng
Aborsi, atau penghentian kehamilan, adalah isu yang kompleks dan sensitif, baik dari perspektif medis, etis, maupun religius. Dalam tradisi Kristiani, khususnya yang memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, aborsi seringkali dipandang sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak hidup.
Dari sudut pandang antropologi Kristiani, yang menekankan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei), setiap kehidupan memiliki nilai yang tidak tergantikan dan harus dihormati. Masalah aborsi saat ini sudah bukan merupakan rahasia lagi untuk dibicarakan karenaaborsi sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya sudah terjadi dimana-mana.
Misalnya saja dilakukan oleh sepasang remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas yang awalnya berpacaran biasa, setelah lama berpacaran mereka melakukan hubungan suami-istri, karena takut ketahuan maka mereka menggugurkan kandungannya secara sengaja.
Selain itu, masalah aborsi bisa terjadi dilakukan oleh seorang isteri yang sudah menikah dan tidak mau dibebani tanggung jawab dengan lahirnya seorang anak, maka digugurkanlah anak yang ada di dalam kandungannya.
Padahal kelahiran anak yang seharusnya dianggap sebagai sebuah anugerah yang terindah, tetapi hal ini dianggap sebagai suatu beban yang kehadirannya tidak diinginkan.
Tentunya hal ini sangat menyakitkan, karena disatu sisi orang menikah karena ingin mendapatkan keturunan, tetapi di sisi lain ada pasangan yang tega membuang anak yang masih ada dalam kandungannya tanpa adanya hati nurani kemanusiaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setia Pranata dan FX Sri Sadewo dalam Jurnal Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, menemukan bahwa angka kejadian keguguran secara nasional adalah 4%. Dari semua kejadian keguguran ada 6,54% di antaranya aborsi.
Aborsi lebih besar dilakukan oleh ibu berusia di atas 35 tahun, berpendidikan tamat SMA, tidak bekerja dan tinggal di perkotaan.
Cara yang dominan digunakan untuk menghentikan kehamilan adalah kuret, jamu, pil dan suntik merupakan tindakan alternatifnya.
Terkait dengan kejadian kehamilan yang tidak direncanakan, kasus yang ditemukan berkisar antara 1,6% dan 5,8%. Dari semua kejadian kehamilan tidak direncanakan, 6,71% di antaranya sengaja digugurkan (Pranata, Setia dan Sadewo, 2012).
Selanjutnya, menurut data yang dihimpun oleh Guttmacher Institute di Indonesia dari
seluruh kasus kehamilan yang tidak diinginkan paling banyak dialami oleh perempuan yang telah menikah (66%), sementara pada perempuan yang belum menikah hanya (34%).
Kehamilan tidak diinginkan paling banyak terjadi pada perempuan usia 20-29 tahun (46%) dan 30-39 tahun (37%), sementara pada rentang usia ≤19 tahun dan ≥40 tahun masing-masing hanya berkisar 8% dan 10% (Ocviyanti, 2018).
Aborsi dalam Perspektif Antropologi Kristiani
Dalam perspektif Antropologi Kristiani dengan jelas memaparkan bahwa nilai kehidupan manusia di dalam kandungan adalah sama dengan kehidupan manusia setelah lahir ke dunia.
Sebab itu, masalah aborsi adalah salah satu tindakan pembunuhan manusia yang secara tegas dilarang dalam Kitab Suci karena sangat bertentangan dengan perintah Allah.
Gereja Katolik dengan tegas menolak aborsi. Gereja selalu membela kehidupan anak di dalam kandungan. Melalui Konsili Vatikan II, gereja menyebut aborsi sebagai tindakan kejahatan yang durhaka (II, n.d.).
Aborsi sama dengan pembunuhan anak. Konsili Vatikan II mengatakan “sebab Allah, Tuhan kehidupan telah mempercayakan kehidupan mulia untuk melestarikan hidup manusia supaya dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat” (Gaudium et Spes, art.51).
Oleh karena itu, Gereja mengutuk dan menghukum setiap orang yang melakukan aborsi karena mereka menggugurkan kandungan dengan sadar dan sengaja yaitu membunuh janin yang tidak bersalah.
Dalam Ensiklik Evangelium Vitae yang dipromulgasikan pada tanggal 25 Maret 1995, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa perbuatan yang paling jahat adalah aborsi karena melangar kehidupan.
Ia menjelaskan bahwa segala kejahatan yang dapat dilaksanakan manusia melawan kehidupan terutama aborsi.
Dengan melakukan aborsi maka sama halnya telah mengambil alih hak dan kedaulatan Tuhan atas setiap makluk ciptaan-Nya (Belo, 2020). Dalam pandangan Gereja Katolik tidak dapat dibenarkan seorang Kristen melakukan aborsi. Karena sangatlah jelas aborsi itu sangat bertolak belakang dengan moral Kitab suci.
Hak Hidup: Sebuah Hak Asasi yang Tidak Dapat Diganggu Gugat
Dalam pandangan Kristen, hak hidup adalah hak asasi yang melekat pada setiap individu sejak saat ia diciptakan.
Hak hidup ini tidak hanya meliputi kehidupan individu yang sudah lahir, tetapi juga kehidupan mereka yang masih dalam kandungan.
Dalam konteks ini, aborsi dipandang sebagai tindakan yang merampas hak hidup yang sudah melekat pada janin.
Yesus Kristus dalam ajaran-Nya menunjukkan kasih dan perhatian terhadap setiap individu, baik yang lemah, terpinggirkan, maupun yang dianggap tidak berdaya oleh masyarakat.
Mengingat bahwa setiap hidup adalah milik Tuhan, dan bahwa Tuhan memanggil setiap individu untuk hidup dan berkembang, maka hak hidup adalah sesuatu yang harus dihormati dan dilindungi, baik oleh individu itu sendiri maupun oleh masyarakat luas.
Proses Kehidupan sebagai Rencana Tuhan
Menurut keyakinan Kristen, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu dan memiliki rencana yang sempurna bagi setiap kehidupan.
Setiap individu, termasuk mereka yang belum lahir, adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar.
Oleh karena itu, tindakan yang mengakhiri kehidupan sebelum waktunya, seperti aborsi, dilihat sebagai intervensi terhadap kehendak Tuhan.
Dalam Alkitab, ada banyak referensi yang mengingatkan kita bahwa Tuhan sudah mengenal kita sejak kita berada dalam kandungan (Yeremia 1:5, Mazmur 139:13).
Ini menunjukkan bahwa kehidupan itu dimulai sejak saat konsepsi, dan Tuhan sudah memiliki rencana yang indah bagi setiap jiwa yang Ia ciptakan.
Dalam terang ini, aborsi bukan hanya sebuah keputusan medis, tetapi juga sebuah tindakan yang menyimpang dari pemahaman Kristen mengenai hidup sebagai bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar.
Mengakhiri kehidupan yang baru berkembang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum kasih dan penghormatan terhadap ciptaan Tuhan.
Maka pada akhirnya, aborsi adalah suatu tindakan yang melanggar cinta Allah. Melakukan aborsi adalah membunuh manusia yang dibentuk, dicintai, dan diinginkan oleh Allah.
Dasar dari kesalahan terbesar aborsi ada pada pembunuhan yang jelas menjadi tindakan yang bertolak belakang dengan moral Kitab Suci “Jangan Membunuh” (Keluaran 20:13).
Dalam menghadapi masalah ini, kita harus mengingat bahwa kasih, pengorbanan, dan harapan adalah inti dari ajaran Kristiani yang mendorong kita untuk memberi kesempatan bagi kehidupan untuk berkembang dan penuh makna.