Oleh: Emilianus Julio
Mahasiswa IFTK Ledalero Semester III
Apakah sebenarnya philosophia itu? Pertanyaan ini merupakan sesuatu yang seringkali dilontarkan, dan didengar oleh penulis dalam studinya di IFTK (Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero).
Philsophia yang berasal dari Bahasa Yunani, dan bila dimengerti dalam Bahasa Indonesia adalah filsafat.
Sebagian pengetahuan tentang philosophia itu telah didapat dan ditemukan oleh penulis dalam studinya di IFTK Ledalero.
Namun sampai saat ini tidak pernah ada jawaban yang dapat memuaskan bagi penulis.
Dalam studi penulis, banyak yang mengatakan bahwa banyaknya jawaban yang diberikan justru semakin membingungkan masalah yang dijelaskan.
Oleh karena itu, penulis pun berpikir, bahwa hal itu dapat menyebabkan persoalan yang sangat rumit.
Apakah ia? Di era sekarang yang semakin maju secara signifikan, masih banyak orang yang berasumsi bahwa “filsafat itu sesuatu yang serba misteri, aneh dan rahasia”.
Tidak hanya itu, banyak pula yang mengatakakan bahwa filsafat itu merupakan sesuatu ilmu yang istimewa dan ilmu yang menduduki tempat pengetahuan dari segala yang ada.
Sejarah Philosophia
Secara history, “Philosophia” merupakan sebuah kata yang berasal dari Yunani, dan dalam masyarakat Indonesia seringkali disebut filsafat.
Filsafat dipandang sebagai ilmu yang diistimewakan. Menurut artinya filsafat terdiri dari “dua kata majemuk, yakni (philos) dan (sophia)”.
Kata philos yang berarti kekasih, cinta atau juga sahabat, dan sophia yang berarti kebijaksanaan ataupun pengetahuan.” Secara harfiah dapat disimpulkan bahwa “PHILOSOPHIA” berarti “mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan”.
Dewasa ini, seringkali filsafat dipahami sebagai suatu ilmu berpikir yang radikal dan kritis. Mengapa? Berfilsafat tidak hanya terpaku pada fensomena atau realitas tertentu, tetapi berfilsafat memiliki suatu dorongan bagi kita untuk berpikir dan menemukan akar dari seluruh kenyataan.
Mengapa demikian? bagi penulis akar realitas begitu penting untuk ditemukan dan dipahami dalam sebuah kehidupan. Realitas yang dimaksut ialah segala sesuatu yang akan dipikirkan secara radikal dengan mendalam, untuk mencapai dasar permasalahan atau persoalan.
Dalam pembahasan ini penulis akan mengangkat Philosophia, yang dianggap sebagai ilmu berpikir dengan radikal, bukan untuk seorang manusia yang tidak berpikir semata-mata, tetapi juga seorang indifidu yang berkelakuan, berperasaan, berpengalaman, berada dan bertanya.
Sesuatu yang membingungkan bagi kita untuk mencari tahu akan dasar dari segalah sesuatu yang ada. Seringkali manusia berpikir, bahwa segala sesuatu berasal dari wujud yang ada, yakni yang telah menciptakan segala sesuatu.
Dalam hal ini, filsafat akan mencari tahu dalam-dalam tentang dari segala sesuatu. Ada begitu banyak manusia, yang menjadi pemikir dalam filsafat, atau sering disebut filsuf (orang yang pakar tentang filsafat). Filsuf dimengerti sebagai pemikir yang radikal dalam filsafat.
Manusia sebagai Makhluk yang Dipertanyakan
Siapakah Manusia?
Pada mulanya adalah firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan firman itu adalah Allah (Yoh.1:1). Allah berfirman maka semunya terjadi.
Allah sebagai kepercayaan umat katolik merupakan wujud tertinggi dalam kehidupan beragama, yakni sebagai sang pencipta alam semesta, serta awal dan akhir kehidupan manusia.
Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang berada, sebagaimana ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri.
Titik tolak dari tulisan ini ialah tentang manusia yang dicipta oleh Allah yang berada.
Manusia merupakan pribadi atau indifidu yang memiliki perbedaan dengan makluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal paling utama atau mendasar yang dimiliki oleh manusia adalah akal budi (rasio).
Selain itu, manusia juga merupakan makhluk yang dapat mengenal Allah dengan lebih baik menggunakan akal pikiran. Manusia memiliki hati, dengan hati ia mampu menyimpan rahasia orang lain, dan perasaan diri sendiri.
Dalam hal ini, pun penulis beranggapan bahwa manusia merupakan smahkluk yang berkelakuan, berperasaan, dan bertanya akan hidupnya sendiri.
Hal- hal inilah yang dapat membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Manusia disini dapat dikatakan sebagai makhluk yang diistimewakan oleh Allah.
Dalam pembahasan ini pun penulis mengungkapkan pemikiran dari St. Agustinus yang mengatakan, bahwa “manusia terdiri dari dua substansi, yakni badan dan jiwa”.
Jiwa dan badan yang dianggap adalah manusia, tetapi harus dipertahankan, bahwa kedua-duanya memiliki perbedaan. Sebenarnya “badan bukan manusia jika jiwa tidak menjiwainya, sebaliknya jiwa bukan manusia jika badan tidak dijiwai olehnya”. St. Agustinis, berkenalan dengan definisi dari orang-orang yang bijaksana pada zaman dahulu, bahwa manusia adalah makhluk berakal budi yang dapat mati.
Secara harfiah jiwa dimengerti sebagai sesuatu yang kekal dan tidak dapat mati. Sedangkan badan itu sesuatu yang berada dan dapat mati.
Dari sini penulis berasumsi bahwa manusia benar-benar makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna. “Namun di sisi lain manusia seringkali jatuh dalam keseharian, dan karena itu terasing dari ada-nya”.
“Tidak hanya itu, di sisi lain juga manusia adalah makhluk pe-nanya ada-nya”. Sebagai makhluk pe-nanya, manusia seringkali merasa tidak puas atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikirannya.
Dan salah satu prtanyaan yang seringkali muncul yaitu kata, ada. Dalam kehidupan setiap hari mungkin kata “ada” digunakan oleh manusia sebagaimana manfaatnya, tanpa tahu asal mula dan maknanya. Secara harafiah “Ada dimengerti sebagai dasar yang terdalam dari segala sesuatu”.
Pemahaman penulis tentang ada, hanya terlihat dan dipahami dari segi yang praktis, bahwa ada itu sesuatu yang berada, dan memiliki wujud yang dapat dirasakan.
Contohnya: Ketika saya melihat buku. Buku jika dilihat dalam kehidupan realitas merupakan sebuah benda yang dapat diraba, delihat, dan dirasakan. Namun dalam ilmu filsafat, itu akan di gali dan dicari lebih dalam lagi, mengapa ia ada.
Oleh karena itulah penulis senang akan ilmu filsafat, karena sejatinya ia sebagai ilmu kritis yang bisa mencari tahu kebenaran dans realitas hingga ke akar-akarnya.
Sebagai pencinta akan ilmu filsafat, dan haus akan pengetahuan, penulis pun sangat kagum dan bangga atas para filsuf, sebagai pemikir-pemikir filsafat yang bijak.
Siapakah Filsuf Itu?
Setelah diteliti dan dilihat, bahwa filsafat terdiri dari dua aspek yaitu sebagai pandangan hidup dan sebagai ilmu, dalam artian luas.
Filsafat yang berawal dari rasa keheranan dan kekaguman yang banyak menimbulkan pertanyaan dalam diri manusia.
Oleh karena itu, untuk menguatkan dan memperjelas secara signifikan, “manusia yang memiliki semua aspek manusiawi yang lengkap adalah seorang filsuf.
Merekalah manusia yang mampu melontarkan pertanyaan, dan juga mampu untuk menjawabi semua pertanyaan itu”.
Mereka adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas dan bijaksana dalam ilmu filsafat. Selain itu, mereka juga dipandang sebagai penemu sesuatu yang baru”.
Hemat penulis, filsuf merupakan figure yang dapat mendorong kaum muda untuk selalu berpikir kritis dan mencari tahu akan kebenaran yang sejati dalam kehidupan realitas.
Dalam pembahasan ini, penulis akan mengungkapakan salah satu manusia yang disebut filsuf, yakni “Aristoteles”.
Ia merupakan seorang filsuf yang terkenal yang “lahir pada tahun 384 SM di Stragia, salah satu kota yang ada di Yunani Utara”.
Begitu banyak karya-karya yang dibuat oleh filsuf ini. Salah satu karya yang menarik menurut saya adalah tentang “teleologi yang artinya tujuan pengetahuan”.
Jika “Aristoteles menguraikan teleologi ini, seringkali ia membedakan alam semesta dengan manusia yang berakal budi.
Misalnya ia mengatakan, bahwa alam merupakan sosok tuan rumah yang baik, karena tidak membuang apa-apa yang dapat digunakan lagi dan alam tidak membuang apa-apa yang dapat digunakan”.
“Alam tidak membuat apapun dengan sia-sia dan tidak membuat sesuatu yang berkelebihan”. “Alam bertindak seolah-olah dia tahu konsekuensi perbuatannya”.
Ungkapan dari Aristoteles sangatlah bijak, dan ia memiliki niat untuk mendorong manusia secara khusus penulis, bahwa alam itu merupakan suatu tempat dan sebagai seorang sahabat persinggahan bagi kita.
Tidak hanya itu, alam pun sangat memiliki peran penting bagi perjalanan hidup manusia.
Dalam ungkapan tersebut, hemat penulis Aristoteles merupakan seorang pemikir yang secara terang-tarangan dan terbuka berbicara tentang pokok-pokok pkiran akan kehidupan praktis dan konkret.
Selain itu, Ia juga merupakan sosok figure yang tidak hanya mementingkan pribadinya sendiri, tetapi ia juga sangat mengutamakan kepentingan manusia lainnya.
Kesimpulan
Filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang kritis sangat banyak digemari dan di disukai oleh banyak orang.
Karena ia mencari tahu akan segala kebenaran dalam realitas hidup sampai kepada akar-akarnya.
Filsafat juga tidak hanya berperan sebagai ilmu yang kritis, tetapi ia juga mendorong kita, agar selalu berpikir secara bijak.
Sebagai pecinta filsafat, penulis berasumsi bahwa filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang haus akan pertanyaan.
Apabila kita belajar tentang filsafat semuah masalah yang kita hadapi dapat kita hadapi dengan bijak.
Seperti para filsuf, yang selalu bijaksana dalam berpikir. Kebijaksanaan merupakan sebuah predikat yang hanya digunakan untuk manusia yang hanyalah makhluk rasional dengan kapasitas kemampun berpikir secara bijak, bertanggung jawab, mengambil keputusan dan sebagainya.
Sebagai penutup saya ingin menegaskan, bahwa tulisan ini bermaksud untuk memuaskan para pembaca bahawa mencari tahu kebenaran dari segala seseuatu itu baik, serta berpikir seperti orang bijak yang dapat berguna bagi kehidupan sesama.
Refrensi
[1] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta, PT Kanisius, 2019). hal 1.
[2] Ibid. hal 14.
[3] Ibid. hal 21.
[4] Jacques Veuger MSF. Hubungan Jiwa-Badan menurut St. Agustinus. (Yogyakarta, PT KANISIUS,2005). Hal.19-20.
[5] Ibid.Hal 44.
[6] Fransisco Budi Hardiman. Heideger dan Mistik Keseharian. (Jakarta; KPG Kepustakaan Kompas Gramedia, 2020). Hal 1-2.
[7] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta, PT Kanisius, 2019). Hal.45.
[8] Ibid. hal. 47.
[9] Prof. Dr. Bertens. Sejarah filsafat Yunani. (Yogyakarta: PT. Kanisius 2022). Hal.154.