Ruteng, Vox NTT – Camat Reok Barat, Tarsi Asong melantik penjabat kepala desa pada Senin, 25 November 2024. Pelantikan ini berlangsung di tengah masa tenang Pilkada 2024.
Penjabat kepala desa yang dilantik Camat Asong yakni, Desa Kajong Timur, Vinsensius Joko dan Desa Benteng Loce, Frans Demam.
Pelantikan kedua penjabat kepala desa ini mendapat sorotan dari pengacara Edi Hardum. Ia bahkan menduga pelantikan ini dilakukan atas perintah Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit.
“Tindakan Camat Reok Barat, Tarsi Asong melantik pejabat yakni penjabat kepala desa di masa tenang, mau menunjukkan ke masyarakat Manggarai bahwa ia sebagai orang yang konsisten sebagai perusak atau salah satu orang yang merusak Manggarai,” kata Edi kepada wartawan, Selasa, 26 November 2024.
Ia kemudian mengungkit kembali kisah masa kelam Camat Asong yang sempat menuai banyak sorotan akibat kebijakannya.
Edi bilang, beberapa tahun lalu Asong mengangkat aparat desa di sejumlah desa di Reok Barat dengan cara-cara yang tidak benar secara hukum, yakni meluluskan orang tak lulus tes dan menganulir orang yang lulus tes.
“Kemarin Senin 25 November 2024 di masa tenang ia melakukan pelantikan penjabat kepala desa, menandakan ia konsisten sebagai perusak Manggarai. Merusak dalam arti tatanan birokrasi dan asas-asas pemerintahan yang baik tidak ditegakkan serta tak menaati UU Pilkada,” tegas Advokat di Kantor Hukum Edi Hardum dan Partners ini.
Menurut dia, ada larangan pelantikan dan pengangkatan pejabat oleh bupati menjelang proses Pilkada.
Hal ini diatur untuk mencegah adanya potensi penyalahgunaan wewenang atau praktik politik yang dapat memengaruhi hasil pemilihan.
Larangan tersebut tentu saja bertujuan untuk menjaga netralitas dan keadilan selama masa kampanye dan masa tenang.
Aturan mengenai larangan pelantikan dan pengangkatan pejabat menjelang Pilkada di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan, antara lain:
Pertama, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Edi menjelaskan, pada asal 71 mengatur tentang larangan pengangkatan pejabat selama masa kampanye Pilkada.
Secara khusus, disebutkan bahwa bupati atau wali kota tidak diperkenankan untuk melakukan pelantikan atau pengangkatan pejabat struktural atau pejabat daerah yang baru menjelang Pilkada.
“Larangan ini berlaku pada masa kampanye, yaitu selama 6 bulan sebelum pemungutan suara,” ujar Edi.
Kedua, lanjut dia, terdapat pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dalam peraturan ini, dijelaskan bahwa selama masa kampanye dan masa tenang, tidak boleh ada pelantikan pejabat publik yang bisa mempengaruhi keputusan politik pemilih.
Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya praktik “politik uang” atau penyalahgunaan kekuasaan, di mana pejabat baru yang dilantik dapat dipandang sebagai upaya untuk mengarahkan dukungan kepada calon tertentu.
Edi menegaskan, tujuan larangan pelantikan pejabat antara lain, untuk mencegah politik praktis dan menghindari pejabat yang baru dilantik memberikan dukungan kepada calon tertentu selama masa kampanye.
Lalu, menjaga netralitas agar pejabat daerah tetap netral dan tidak terlibat dalam proses kampanye atau pemilihan.
Kemudian, mencegah pengaruh terhadap pemilih. Pelantikan pejabat baru dapat dipandang sebagai iming-iming atau balas jasa yang berpotensi memengaruhi pilihan pemilih.
Edi mengatakan, dalam kondisi tertentu, pelantikan dan pengangkatan pejabat bisa dilakukan jika dianggap mendesak, seperti untuk mengisi posisi yang sangat diperlukan demi kelancaran pemerintahan. Namun, pengecualian ini harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak boleh berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Ia menambahkan, jika pelantikan atau pengangkatan pejabat oleh bupati dianggap melanggar aturan ini, maka pihak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif atau bahkan pidana, tergantung pada tingkat pelanggarannya.
Edi kembali mengingatkan bahwa larangan pelantikan pejabat oleh bupati menjelang Pilkada bertujuan untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat memengaruhi hasil Pilkada.
Aturan ini tentu saja untuk melindungi proses demokrasi agar tetap adil dan transparan tanpa adanya campur tangan kekuasaan yang tidak seharusnya terjadi.
Dorong Proses secara Hukum
Di balik pelantikan penjabat kepala desa tersebut, Edi pun meminta Bawaslu Manggarai dan Polri agar memeroses Camat Asong secara hukum.
“Ia (Camat Asong) harus diberi sanksi setimpal,” ujarnya.
Masyarakat Manggarai menurut Edi, tentu bisa menilai bahwa Asong adalah orang yang diangkat Bupati Hery Nabit dan membiarkannya “melakukan pelanggaran”.
“Oleh karena itu kalau ingin Manggarai maju jangan pilih orang yang pernah jadi bupati tapi justru gagal bahkan menghancurkan, memelihara anak buah yang melanggar hukum,” tegas alumnus S3 Ilmu Hukum Universitas Trisakti ini.
Salah satu bukti bupati Hery Nabit telah merusak Manggarai menurut Edi, adalah tindakan Asong yang mengangkat pejabat untuk beberapa desa di Reok Barat secara tak benar beberapa tahun lalu, dan masih banyak yang lain, seperti janji-janji yang tak dipenuhi.
Sementara itu, hingga berita ini dirilis VoxNtt.com belum mengkonfirmasi Bupati Hery Nabit dan Camat Asong seputar kritikan Edi Hardum. Media ini masih terus berupaya mengkonfirmasi keduanya. [VoN]