Pada 20 Desember 2024, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-66 tahun. Seumpama manusia, 66 tahun bukan usia muda lagi.
Provinsi yang sebelumnya bernama ‘Sunda Kecil’ ini resmi berganti nama menjadi provinsi NTT pada tahun 1958 berdasarkan UU Nomor 64 tahun 1958.
Jika kita melihat lagi ke belakang untuk mengenali wajah pembangunan di NTT, kita bisa melihat bagaimana para pemimpin dari masa ke masa membangun NTT dengan programnya masing-masing.
W.J Lalamentik yang menjabat pada 1958-1966 misalnya dikenal dengan program Komando Operasi Gerakan Makmur, kemudian dilanjutkan dengan program Tanam, Tanam dan Sekali Lagi Tanam oleh Gubernur Elias Tari yang menjabat pada 1966-1978.
Gubernur Ben Mboi dikenal dengan beberapa program kesohornya seperti Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Sehat (ONS), dan Operasi Nusa Makmur (ONM) selama memimpin 1978-1988.
Hendrikus Fernandez yang menjabat 1988-1993 dengan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar).
Hendrikus Fernandez kemudian digantikan Herman Musakabe yang menjabat 1993-1998 dengan mengusung 7 (tujuh) program strategis yakni; pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), penanggulangan kemiskinan, pembangunan ekonomi, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK, penataan ruang, pengembangan sistem perhubungan, dan pengembangan kepariwisataan.
Piet A Talo yang menjabat 1998-2008 dengan Program Tiga Batu Tungku yaitu Ekonomi Rakyat, Pendidikan Rakyat, dan Kesehatan Rakyat.
Lalu Frans Lebu Raya, Gubernur NTT pertama yang dipilih melalui demokrasi langsung yang menjabat selama 2008-2013 dikenal dengan gerakan provinsi jagung, provinsi cendana, provinsi ternak hingga provinsi koperasi yang dikemas dalam satu tagline Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera).
Kemudian, Viktor Bungtilu Laiskodat dengan program Kelorisasi, Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS), Pembangunan Pariwisata, Budidaya Kerapu hingga Sophia.
Dari program -program setiap pemimpin ini, kita bisa melihat bagaimana orientasi pembangunan yang membentuk wajah NTT pada hari ini.
Pada zamannya NTT pernah dikenal sebagai Provinsi Kepulauan yang sangat tersohor dengan julukan Sumba sebagai Pulau Sandelwood, Flores sebagai Nusa Bunga dan Timor sebagai Pulau Cendana Wangi.
Semua ini dalam rangka upaya mengentas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di masing-masing wilayah.
Namun seperti yang kita ketahui, kemiskinan, ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi terus menjadi PR yang seolah tidak bisa diselesaikan di tengah kelimpahan sumber daya seperti pertanian, peternakan dan perikanan kelautan yang dimiliki daerah ini.
Di sisi lain, proyek-proyek bersekala besar yang dikemas dalam bentuk proyek strategis nasional (PSN), dengan dalil ingin mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan justru membuat masyarakat di wilayah sasaran proyek kian terpuruk.
Di sana terjadi perampasan lahan warga, pengabaian hak-hak masyarakat adat hingga terjadi konflik sosial akibat pro kontra dengan kehadiran proyek tersebut.
WALHI NTT dalam efleksi perjalanan NTT di usia yang ke 66 tahun ini mengangkat sejumlah konflik Sumber Daya Alam dan konflik agraria yang berkontribusi meningkatnya angka kemiskinan dan kerusakan lingkungan di Bumi Flobamoratas.
Selamat satu dekade terakhir masyarakat di Pulau Timor terancam kehilangan matapencaharian, akses terhadap hutan dan ruang-ruang penghidupan mereka.
Beberapa kasus seperti masalah Hutan Adat di Pubabu Besipae, TTS dan juga izin-izin tambang ilegal yang masif beroperasi di wilayah Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Kupang.
Pembabatan liar yang terjadi di kawasan hutan untuk kepentingan proyek sonokeling di Timor Tengah Utara dan Malaka, pemanfaatan wilayah pesisir di Kota Kupang untuk investasi berskala besar dan pembangunan sejumlah hotel yang kemudian menutup akses bagi nelayan dala mencari matapencaharian.
Juga masyarakat umum yang kehilangan akses terhadap pantai dan ruang terbuka Hijau yang terdapat di wilayah pesisir.
Selain pemanfaatan wilayah pesisir untuk kepentingan para pebisnis hotel dan properti dan menutup akses bagi warga Kota Kupang, juga masalah tata kelola sampah yang merugikan warga secara kesehatan, seperti kasus kebakaran Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Alak Kota Kupang yang menyebabkan warga sekitar terserang sakit Ispa dan gangguan pada paru-paru.
Persoalan kekeringan dan akses air bersih yang semakin sulit hingga bisnis air yang tak terkendalikan di Kota Kupang dan sejumlah wilayah di daratan Timor.
Rencana kelanjutan Proyek Strategis Nasional (PSN) pembangunan bendungan Kolhua dengan merampas tanah, merusak hutan satu-satunya yang tersisa di Kota Kupang serta mengalihfungsikan wilayah kelola rakyat.
Saat ini yang juga sedang ramai dipersoalkan ialah terkait perubahan status kawasan Gunung Mutis Timau dari Cagar alam menjadi Taman Nasional tanpa persetujuan masyarakat adat yang berada di lingkar Mutis, juga sejumlah persoalan besar lainnya yang harus segera dituntaskan pemerintah NTT di Pulau Timor.
Selain di Timor, Pulau Flores juga ada dalam ancaman yang sama dengan hadirnya sejumlah proyek raksasa yang mulai masif.
Selain penataan Labuan Bajo sebagai pusat wisata Super Premium, di Pulau Flores juga hadir sejumlah proyek berskala besar dalam rangka menyokong pariwisata di Flores yang terus meresahkan warga.
Kasus rencana relokasi ata modo, warga asli yang tinggal berdampingan dengan Komodo di sekitar wilayah Taman Nasional Pulau Komodo akibat adanya perubahan zonasi dan zona pemanfaatan Taman Nasional Komodo.
Minimnya akses publik di wilayah pesisir yang diprivatisasi untuk pembangunan hotel-hotel skala besar hingga pembabatan hutan dan alih fungsi kawasan yang berakibat pada masalah kekeringan dan akses air bersih yang minim di Labuan Bajo.
Ini semua mengorbankan masyarakat adat dan penduduk lokal di Kota super premium.
Ancaman terhadap masyarakat adat dan penduduk lokal kian meresahkan sejak pemerintahan Jokowi menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi (Geothermal) melalui keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM melalui keputusan menteri No. 2268/K/MEM/2017.
Terdapat 21 titik kawasan potensial yang ditetapkan sebagai lokasi wilayah pembangunan proyek geothermal yang tersebar dari Flores Barat hingga Flores Timur dan Lembata.
Selain di Flores Lembata, juga 6 (enam) titik di Pulau Alor dan 1 (satu) titik di Kabupaten Kupang (Data Dinas ESDM Prov. NTT)
Sejak penetapan lokasi pengembangan proyek panas bumi ini, WALHI NTT mencatat ada sejumlah konflik yang terjadi antar pemerintah beserta investor dengan masyarakat adat hingga kerusakan lingkungan dan lahan produksi warga akibat dari eksploitasi panas bumi tersebut.
Misalnya konflik yang terjadi di Pocoleok pasca pengembangan proyek PLTP Ulumbu ke sejumlah titik di wilayah Poco Leok. Di sana terjadi perampasan tanah adat, intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang berjuang mempertahankan tanahnya.
Sejumlah warga bahkan mengalami trauma berat setelah mendapat kekerasan dari aparat kepolisian di Polres Manggarai yang diduga bersekutu dengan pemerintah dan PLN sebagai pelaksana proyek.
Selain konflik, dengan pemerintah dan PLN, di Poco Leok juga terjadi konflik horizontal akibat pro kontra yang diciptakan oleh pemerintah dan PLN demi memuluskan proyek tersebut.
Selain konflik seperti yang terjadi di Poco Leok dan sejumlah wilayah lain di Manggarai. Panas bumi juga telah menimbulkan bencana ekologi akibat kerusakan lingkungan dan lahan produktif warga dengan munculnya semburuan panas dari dalam tanah seperti yang terjadi di Daratei, Mataloko, Kabupaten Ngada.
Semburuan lumpur panas itu mengakibatkan warga mulai dari gagal panen hingga gagal tanam sampai pada kehilangan lahan produksi pertanian, seperti sawah, jagung dan sejumlah lahan pertanian tanaman karena tidak dapat berfungsi lagi.
Selain panas bumi, praktek tambang juga masih terjadi di Flores. Dampak buruk dari praktek ini kian masif bagi keberlangsungan hidup masyarakat di sekitar lokasi tambang.
Di Lambo Nagekeo, Proyek Strategis Nasional (PSN) juga hadir dengan pembangunan bendungan yang juga menimbulkan konflik dan pengabaian hak-hak masyarakat adat.
Persoalan tata kelola sampah yang buruk juga terjadi di Flores.
WALHI NTT dalam lensa krisis mencatat sejumlah persoalan sampah di seluruh wilayah di NTT. Dan di Pulau Flores, juga menunjukan bahwa pemerintah tidak serius dalam mengurus sampah sebagaimana perintah undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Flores sendiri memiliki sejarah bencana ekologi yang tidak dapat diabaikan.
Karena itu, harusnya segala jenis pembangunan dengan dalil demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat harus sejalan dengan analisis dampak ekologi dan kerentanan lingkungan.
Pengabaian terhadap salah satu di antaranya tentu hanya akan menambah kerentanan. Mengantisipasi agar kerusakan ini tidak terus meluas, maka pemerintah wajib berhati-hati dalam mengambil kebijakan pembangunan yang berpotensi konflik.
Di Lembata, WALHI juga mencatat ancaman proyek panas bumi di Atadei yang hari ini terus menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat setempat.
Di sana juga terdapat proyek-proyek besar pembudidayaan mutiara di wilayah pesisir. Itu juga mengorbankan hak nelayan dan masyarakat pesisir.
Di Sumba, Pulau Sandelwood yang juga kaya akan kebudayaan dan alam, kini mengalami ancaman besar atas proyek pariwisata dan proyek strategis nasional (PSN) dengan masifnya proyek Food Estate.
Juga pembangunan hotel-hotel berbintang yang merusak wilayah pesisir dan menutup akses bagi masyarakat adat dan penduduk lokal untuk mengakses wilayah pantai. Tidak hanya itu, proyek perkebunan monokultur dan tambang juga masif di wilayah Sumba.
Ancaman hama belalang yang masif terjadi di Sumba juga mengancam kehidupan dan produktivitas pangan masyarakat di Sumba.
Belum lagi, secara geografis, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan pulau-pulau kecil lainnya merupakan pulau terluar yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
Tentu, sejumlah persoalan pembangunan dengan kondisi geografis di NTT memiliki kerentanan wilayah tersendiri.
Untuk itu, di ulang tahun NTT yang ke-66 tahun ini, WALHI NTT mengajak Gubernur dan Bupati/Wali Kota terpilih di NTT untuk merefleksikan ini dan memberikan perhatian serius dalam menjalankan proyek-proyek pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana ekologi dan konflik dengan masyarakat adat serta tata kelola sampah yang berkelanjutan.
NTT berada di wilayah Ring Of Fire (Cincin Api), provinsi yang terdiri dari pulau-pulau kecil, daerah yang memiliki curah hujan rendah dan kita berada di wilayah terluar yang dekat dengan samudra Hindia.
Jika kita terlalu berambisi dengan pendapatan ekonomi dari proyek-proyek nasional yang berskala besar dengan mengabaikan ruang-ruang penghidupan masyarakat adat, proyek tambang dan panas bumi dengan daya rusak lingkungan yang luar biasa, tanpa mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan, kita akan tetap berada dalam kerentanan dan hidup di tengah ancaman bencana ekologi setiap saat.
Belum lagi alih fungsi kawasan hutan padahal kita tidak pernah bisa menciptakan hutan. Ketika pohon di hutan ditebang, maka dampaknya mama-mama di kampung tidak bisa lagi menenun.
Sudah tentu, itu hanya akan menambah kerentanan dan memberi beban ganda ekologi terhadap daerah kita, maka bersiaplah bencana besar akan kita tanggung sebagai akibatnya. Kita tidak hanya kehilangan alam, tetapi kita juga kehilangan budaya.
Selamat ulang tahun NTT!
Bumi kita semakin tua, rumah kita ini juga semakin rentah. Jangan biarkan anak cucu kita hanya mengenal NTT sebagai cerita bahwa kita pernah kaya akan Cendana, kita pernah menjadi provinsi yang meraih rekor muri atas parade tenun terbanyak di Indonesia, tetapi kita abai terhadap alam dan budaya yang akan hilang atas masifnya kerakusan dan ketamakan akibat kebijakan kita yang kita buat sendiri!***