Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Di pagi Paskah yang dibasuh cahaya lembut, rempah-rempah di tangan perempuan menjadi lambang kasih yang tak pernah lelah merawat kehidupan, bahkan dalam sunyi duka.
Dalam wangi yang mereka tabur, tersimpan kekuatan menjaga semesta—melembutkan luka, memulihkan bumi, dan menyalakan kembali harapan yang nyaris padam.
Mereka adalah penjaga kehidupan kebahagiaan berkelanjutan, titisan cinta ilahi yang menjadikan planet ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah yang penuh pelukan cinta kasih.
Di ufuk zaman yang patah, perempuan-perempuan masa kini melangkah seperti para peziarah dahulu, menggendong rempah-rempah harapan dalam pelipatan luka.
Seperti Maria dan kawan-kawannya di pagi Paskah, mereka membawa persembahan cinta di tengah dunia yang mengubur banyak suara dalam diam.
Di pagi yang masih dibasahi embun, langit berselimut kelabu dan angin membawa harum samar dari tanah yang digenggam doa.
Perempuan-perempuan itu datang membawa rempah-rempah, bunga harum penghiburan bagi Sang Terkasih yang disemayamkan dalam diam.
Dengan hati penuh duka namun tangan tetap setia, mereka berjalan pelan menuju kubur yang sunyi, menyulam harapan dalam setiap langkah.
Rempah-rempah itu bukan sekadar wangi-wangian—mereka adalah bahasa kasih, persembahan cinta dari jiwa-jiwa yang tak ingin berpaling, bahkan dalam kematian.
Namun, batu telah terguling. Kekosongan menyambut mereka bukan dengan kehampaan, tapi dengan cahaya yang melampaui pengertian.
Malaikat berseru, dan hati mereka gemetar oleh kabar yang mengoyak batas antara duka dan sukacita: “Ia telah bangkit, seperti yang dikatakan-Nya.” Maka rempah-rempah itu jatuh tak berguna, bukan karena kasih mereka sia-sia, tetapi karena kasih itu telah dijawab oleh kehidupan yang lebih besar dari maut.
Di sana, di antara debu dan terang, mereka menjadi saksi pertama dari kebangkitan yang mengubah segalanya.Rempah itu penjaga aroma kehidupan.
Hari itu, cinta seorang perempuan menjadi jalan bagi kabar keselamatan menyebar ke seluruh bumi. Di tangan-tangan mereka yang lemah namun penuh iman, aroma rempah menjadi simbol pengharapan yang tak mati.
Dan di hari Paskah, Tuhan Yesus bangkit bukan hanya dari kubur, tetapi juga dalam hati setiap orang yang percaya, terutama mereka yang membawa kasih dengan lembut dan setia seperti para perempuan itu—pembawa rempah, pembawa kabar, pembawa harapan yang harum sepanjang masa.
Bahasa Hati Nurani Bumi
Dalam senyap waktu yang dilipat angin, rempah-rempah hadir bukan sekadar rasa atau wewangian, melainkan bahasa rahasia yang mengalir dari hati nurani bumi ke pelataran jiwa manusia.
Rempah adalah ingatan purba akan cinta yang merawat—aroma yang menyentuh sebelum tangan sempat menyapa. Ia mewakili kehadiran yang lembut, seperti pelukan ibu, seperti doa yang dibisikkan dalam gelap.
Dalam setiap taburannya, tercium pesan persaudaraan: bahwa kita dicipta bukan untuk mendominasi, melainkan untuk memahami, mencintai, dan hidup berdampingan.
Rempah mengikat manusia dalam meja makan yang penuh tawa dan cerita, menyatukan perbedaan dalam satu cita rasa yang melampaui bahasa.
Seperti perempuan-perempuan yang membawa rempah ke makam Tuhan, perempuan sejak dahulu adalah penjaga aroma kehidupan.
Dalam kelembutan yang kerap disalahpahami sebagai kelemahan, mereka menyimpan kekuatan paling sunyi namun paling kokoh—kemampuan untuk mencintai tanpa syarat, untuk menyembuhkan tanpa pamrih.
Aroma rempah melekat dalam gerak mereka—dalam cara mereka merawat luka, membesarkan kehidupan, memelihara damai di tengah deru dunia.
Dan dari sana, lahirlah peradaban cinta kasih, tempat manusia belajar kembali bahwa kelembutan adalah bentuk tertinggi dari kekuatan.
Rempah adalah puisi yang tak ditulis, tapi ditanam, dipetik, dan ditaburkan ke dalam kehidupan. Dalam wangi cengkeh, kayu manis, bunga pala, cendana, kita menemukan jejak sejarah perjumpaan dan pertukaran antarbangsa, tetapi juga jejak tangan perempuan yang sejak dulu meracik cinta dalam dapur kecilnya untuk dunia.
Maka, dalam aroma yang sederhana itu, tersembunyi impian besar tentang persaudaraan manusia semesta: dunia yang tidak hanya hidup bersama, tapi juga saling mencintai.
Di sanalah rempah menjadi saksi, bahwa yang paling harum bukanlah yang paling mewah, melainkan yang paling tulus—dan dari tangan perempuanlah, keharuman itu menyebar, mengubah dunia, setahap demi setahap.
Aroma Rempah Pengharapan
Di ufuk zaman yang patah, perempuan-perempuan masa kini melangkah seperti para peziarah dahulu, menggendong rempah-rempah harapan dalam pelipatan luka.
Seperti Maria dan kawan-kawannya di pagi Paskah, mereka membawa persembahan cinta di tengah dunia yang mengubur banyak suara dalam diam.
Aroma rempah itu kini bukan hanya untuk tubuh yang telah pergi, melainkan untuk jiwa-jiwa yang tertinggal—untuk anak-anak yang kehilangan pelukan, untuk tubuh perempuan yang dihakimi, dilukai, dilenyapkan oleh tangan kekuasaan yang beku.
Namun mereka tetap berjalan, sebab harapan bukanlah warisan orang kuat, melainkan milik hati yang terus mencintai meski terus disakiti.
Di tengah reruntuhan berita femicide, kekerasan, dan ketidakadilan, langkah mereka menjadi litani diam yang menggema ke langit. Setiap tetes minyak dan wewangian di tangan mereka adalah tindakan rekonsiliasi—pengurapan terhadap luka dunia yang belum sembuh.
Di abad ke-21 ini, rempah mereka bukan hanya mur dan gaharu, cendana tapi juga suara, pendidikan, perlindungan, dan keadilan.
Mereka berdiri di kaki salib modern: pengadilan yang tak berpihak, rumah yang bukan lagi tempat aman, kebijakan yang lamban menyentuh jiwa.
Dan di tengah semua itu, mereka merintis jalan baru menuju kebangkitan, bukan hanya dari kematian, tapi dari ketakutan dan keterpurukan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Maka Paskah kini bukan hanya kisah makam kosong, tapi seruan untuk hidup yang penuh makna dan martabat. Dalam setiap langkah perempuan yang memilih untuk mencintai dan membela kehidupan, Yesus bangkit kembali—di ruang sidang, di ruang kelas, di meja makan yang sederhana.
Rempah-rempah itu, yang dahulu disiapkan untuk tubuh yang mati, kini menjadi lambang tubuh yang dilindungi dan dihargai.
Perempuan masa kini adalah para murid yang pertama melihat cahaya, dan mereka berseru dengan keberanian baru: “Ia hidup, maka aku pun harus hidup—dengan utuh, dengan hak, dengan cinta yang tak bisa dibungkam.”
Rempah Gema Kehidupan
Paskah bukan semata kisah tentang batu yang terguling dan makam yang kosong. Ia adalah kisah cinta yang tak pernah lelah menunggu fajar.
Di pagi yang masih remang, perempuan-perempuan datang membawa rempah-rempah, bukan untuk meratap, melainkan untuk merawat, untuk mengasihi hingga akhir.
Namun yang mereka temui bukan tubuh diam, melainkan gema kehidupan. Dari mata yang berkaca, lahirlah pesan pertama tentang kebangkitan—bukan hanya kebangkitan Sang Mesias, tetapi kebangkitan kasih, kebangkitan harapan, kebangkitan perempuan yang selama ini dikaburkan dari sejarah kemenangan.
Di tengah dunia yang semakin riuh oleh kekerasan, kebencian, dan ketidakadilan, Paskah tampil bukan sebagai ritual, tapi sebagai revolusi lembut.
Perempuan-perempuan pembawa rempah kini hadir dalam rupa para ibu yang memperjuangkan keadilan bagi anaknya, para guru yang mengajarkan nilai, para aktivis yang menggugat sistem, dan para penyintas yang tetap memilih hidup.
Mereka adalah saksi baru dari kebangkitan, yang tidak terucap dalam doktrin, tetapi terlihat dalam tindakan nyata untuk membebaskan yang tertindas, menyembuhkan yang terluka, dan memeluk mereka yang selama ini dikucilkan.
Paskah di abad ke-21 memanggil bukan hanya kepada iman, tapi kepada keberanian untuk menghidupi kasih secara radikal. Kebebasan yang dibawa oleh Kristus bukanlah kebebasan yang liar, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab—untuk berdiri bagi mereka yang dibungkam, untuk menyuarakan yang benar ketika sunyi lebih aman, untuk menjadi lilin kecil dalam dunia yang kadang terlalu gelap.
Perempuan-perempuan pertama yang berlari membawa kabar sukacita adalah gambaran awal tentang pembebasan yang dimulai dari hati yang percaya, lalu menjelma menjadi dunia yang berubah.
Dalam aroma rempah yang mereka bawa, ada pesan damai yang melampaui waktu. Damai yang tidak datang dari senjata atau perjanjian, melainkan dari perjumpaan yang tulus, dari pengampunan yang lahir dari luka.
Paskah menawarkan kedamaian abadi, yang menyentuh relung-relung paling dalam dari jiwa manusia dan mengajak kita semua—perempuan dan laki-laki, tua dan muda—untuk menjadi peziarah perdamaian dalam keseharian kita.
Ia mengubah setiap rumah menjadi taman kebangkitan, setiap pelukan menjadi doa, setiap langkah menjadi liturgi.
Inilah relevansi Paskah yang sesungguhnya: sebuah kabar sukacita yang mengundang kita untuk membangun dunia yang lebih adil, lebih manusiawi, lebih penuh cinta.
Bukan hanya mengenang kebangkitan Kristus, tetapi menghidupinya di setiap sudut dunia—di pasar, di pengadilan, di sekolah, di jalanan.
Dan para perempuan, yang dahulu dianggap saksi yang tak layak, kini berdiri di garis depan sebagai pembawa pengharapan.
Mereka adalah pengingat abadi bahwa Paskah bukan akhir cerita, melainkan awal dari segala kemungkinan akan hidup yang lebih baik—bagi semua, untuk selamanya.