Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Di fajar yang lembut dan berembun, saat embusan angin menyapa dengan bisikan rahasia dari surga, tergulinglah batu besar yang selama ini menutup harapan.
Bukan hanya pintu makam yang terbuka, tetapi langit pun terbelah oleh cahaya baru—cahaya kebebasan.
Batu itu, yang dulu menjadi tanda akhir, kini menjadi awal dari kehidupan yang tak lagi diikat rantai kematian.
Ia terguling bukan oleh kekuatan tangan manusia, tetapi oleh kasih yang tak mengenal batas.
Dan di sela-sela kesunyian pagi itu, jiwa-jiwa yang pernah dipenjara mulai menyanyikan nyanyian baru: nyanyian bangkitnya cinta, nyanyian terbukanya jalan pulang.
Namun lihatlah—di tanah-tanah yang lain, batu-batu lain ditegakkan tinggi. Batu yang bukan membuka, melainkan menindih.
Tiang-tiang beton menjulang ke langit seolah hendak mencakar surga, tapi di balik megahnya mereka menumpuk nama-nama yang hilang, tubuh-tubuh yang tak disebutkan, pengorbanan yang tak pernah diperingati.
Kota-kota tumbuh, tapi tanah-tanah retak oleh air mata mereka yang digusur, yang dilupakan.
Kebebasan yang diwartakan oleh batu terguling itu kini tenggelam di antara lalu lintas dan bunyi mesin, diliputi debu dari pembangunan yang tak mengerti makna bangkit.
Paskah berbicara tentang hidup yang menang atas maut, tentang kasih yang meruntuhkan kubur. Tapi setiap kali sebuah batu dijatuhkan demi gedung yang tinggi, kita harus bertanya: untuk siapa kebangkitan ini dirayakan? Sebab kebebasan sejati tidak membangun dari tubuh yang ditumbalkan.
Batu yang terguling di hari itu bukanlah hanya tanda mukjizat, tapi juga pengingat: bahwa cinta tidak membangun dengan darah mereka yang tak bersuara, melainkan dengan ruang bagi semua untuk hidup, untuk bernapas, dan untuk bangkit bersama.
Tubuh Manusia Organik
Kebebasan, di abad ke-21 ini, bukan lagi sekadar semboyan yang diteriakkan di alun-alun, tapi sesuatu yang mengalir bersama darah, berdenyut dalam setiap nadi tubuh manusia organik.
Ia bukan hadiah, bukan pula hasil rundingan, tapi hakikat yang menempel pada kulit seperti cahaya pagi pada embun.
Di dunia yang sibuk membangun jaringan nirkabel dan sistem tanpa wajah, tubuh manusia tetap membawa getar purba: hasrat untuk memilih, untuk menyentuh, untuk menjadi.
Di balik layar dan algoritma, masih ada jantung yang berdetak menuntut makna, dan kebebasan itu hidup dalam setiap tarikan napas, tak bisa diprogram, tak bisa disingkirkan ke pojok server.
Lihatlah: tangan manusia masih ingin menggenggam, bukan sekadar mengetuk layar; mata manusia masih ingin menatap dalam, bukan hanya menggeser potret.
Tubuh organik ini—dengan segala luka, peluh, dan gairahnya—adalah altar kebebasan itu sendiri.
Ia bukan mesin yang dikendalikan, tapi taman liar yang terus tumbuh, melampaui pagar-pagar norma dan ketetapan digital.
Dalam tubuh inilah kebebasan menari: saat seorang perempuan memilih kata-katanya, saat seorang lelaki menari tanpa rasa takut, saat seorang anak tertawa tak sesuai jadwal.
Tak ada sistem yang bisa menahan gelombang itu, sebab ia berasal dari dalam: dari tulang, dari sel, dari kerinduan manusia untuk menjadi dirinya sendiri.
Dan mungkin itulah revolusi paling sunyi di abad ini: bukan perang, bukan parade, tapi kesadaran pelan-pelan bahwa tubuh ini tak bisa dimiliki siapa pun selain dirinya sendiri.
Bahwa kebebasan bukan lagi sesuatu yang dicari di luar, tapi ditemukan kembali dalam gerak tubuh yang jujur, dalam detik-detik kecil di mana seseorang memilih untuk berkata: aku ada, aku bebas, aku utuh.
Dunia boleh mengikat dengan kontrak, dengan aturan, dengan pixel—tapi tubuh manusia organik tetap menjadi puisi pertama dan terakhir tentang kebebasan.
Sebab tak ada teknologi yang bisa meniru rasa, dan tak ada kekuasaan yang benar-benar bisa memenjarakan jiwa yang telah sadar akan dirinya sendiri.
Di tengah hutan beton dan bayang-bayang gedung menjulang, tubuh manusia organik masih berdiri—rapuh namun berdenyut, lembut namun tak terkalahkan.
Ia adalah tanah liat pertama yang dibentuk oleh cinta, napas pertama yang ditiupkan oleh kasih.
Dalam tubuh ini, tertulis puisi-puisi purba yang tidak bisa dihapus oleh mesin atau digantikan oleh algoritma.
Ia hidup, berkeringat, mencinta, dan bermimpi—dan oleh karena itu, ia bebas. Tak ada batu sebesar apa pun yang dapat menimbunnya, sebab tubuh ini bukan hanya daging, melainkan jiwa yang menyala. Love is Radiant Light.
Tubuh Bukan Komoditas
Tapi lihatlah dunia yang kini sibuk membangun: kota demi kota ditancapkan seperti bendera penaklukan.
Jalan-jalan dipadatkan, sungai-sungai disumbat, langit ditusuk tiang-tiang baja. Manusia dikemas dalam unit-unit kerja, direduksi menjadi angka, data, dan target.
Tubuh organik—yang penuh makna dan misteri—dipaksa tunduk pada ritme yang tak ia ciptakan.
Pembangunan itu, batu demi batu, kadang menjadi altar pengorbanan: menumbalkan waktu, jiwa, dan bahkan makna kemanusiaan itu sendiri.
Ini bukan lagi pembangunan demi kehidupan, tapi dehumanisasi yang membungkam getar hati.
Namun di balik semua itu, gema dari sebuah pagi purba masih terdengar: pagi Paskah, saat batu penutup sudah diambil dari kubur.
Di situlah letak revolusi sejati: bukan dengan kekerasan, bukan dengan gemuruh mesin, tapi dengan kehadiran yang lembut dan terang dari Sang Guru Kehidupan.
Yesus dari Nazaret, yang tubuh-Nya diremukkan oleh kekuasaan dan ditolak oleh sistem, bangkit tidak untuk membalas, tapi untuk membebaskan.
Kebangkitan-Nya adalah nyala yang menyatakan: tubuh manusia tidak bisa dikuburkan oleh kekuasaan, tidak bisa dibungkam oleh proyek-proyek yang melupakan cinta.
Relevansi Paskah hari ini bukan hanya kisah iman, tapi seruan abadi kepada dunia modern: bahwa tubuh manusia organik, dengan segala luka dan cinta di dalamnya, adalah suci.
Ia tak bisa dikorbankan untuk kemajuan yang buta arah, tak bisa dipaksa diam oleh dunia yang tak mengerti diam. Paskah adalah ajakan untuk menggulingkan batu-batu yang membatasi empati, yang menindih kebenaran, yang menumpuk demi keuntungan tanpa jiwa.
Dalam kebangkitan itu, Tuhan sendiri memberi teladan: bahwa cinta lebih kuat dari kematian, dan tubuh manusia lebih mulia dari batu paling kokoh.
Tubuh manusia, ciptaan yang lembut namun penuh kekuatan, adalah syair ilahi yang ditulis oleh tangan Sang Pencipta.
Dalam setiap detak jantung, dalam setiap hela napas, tersembunyi nyanyian kehidupan yang tak terkatakan.
Ia bukan sekadar daging dan tulang, melainkan wadah dari misteri surgawi—suatu bait hidup yang membawa rupa Allah.
Ketika Kristus menjelma menjadi manusia, Ia tidak hanya mengenakan tubuh seperti kita, melainkan menguduskannya; dari situ, tubuh menjadi sakral, menjadi rumah Roh Kudus, dan bukan lagi barang dagangan dunia.
Dalam Kristus, tubuh bukan milik pribadi yang egois, melainkan milik kasih yang menyatukan.
Ia adalah bagian dari tubuh Kristus yang Esa—di mana setiap orang, setiap luka, setiap senyum, menjadi bagian dari tubuh yang lebih besar.
Maka, menjual atau memperdagangkan bagian tubuh seperti memperdagangkan cinta: suatu penodaan terhadap kasih itu sendiri.
Di dalam tubuh yang saling melengkapi ini, tidak ada yang lebih berharga dari yang lain, dan karena itu, tidak ada yang layak diperjualbelikan.
Tubuh bukan komoditas; ia adalah pernyataan kasih Tuhan yang menghidupkan dan mempersatukan.
Dengan pandangan yang holistik, kita belajar melihat tubuh bukan hanya secara fisik, tetapi juga spiritual dan sosial. Dalam Kristus, hidup bukan tentang kepemilikan, tetapi tentang persekutuan.
Maka tidak lagi ada tempat bagi pasar yang menjajakan organ manusia, karena tubuh bukan benda mati—ia adalah kesaksian dari kehidupan yang telah ditebus.
Kita adalah milik-Nya, dan dengan itu, setiap bagian dari kita, setiap organ, setiap sel, bukan untuk dijual, tapi untuk dipersembahkan dalam cinta, dalam pelayanan, dalam hidup yang kudus.
Alleluia! Maka mari kita rayakan tubuh kita, hidup kita, sebagai perayaan dari kasih yang menang. Mari kita tolak logika dunia yang menilai hidup dari produktivitas dan ukuran.
Mari kita rawat satu sama lain—dalam pelukan, dalam tatapan, dalam keberanian untuk tetap menjadi manusia.
Karena tubuh ini, seperti tubuh Sang Guru, adalah tempat Allah berdiam. Dan tak ada batu, seberapa pun besar dan megahnya, yang bisa menahan kebebasan yang lahir dari cinta yang telah bangkit.