Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Kebangkitan-Nya adalah jawaban paling lembut atas ratapan paling dalam, ketika ibu kehilangan segala galanya, termasuk anak kandungnya sendiri lantaran kemimpinan yang culas-serakah, tak punya otak.
Mereka tidak kehilangan otak karena bodoh, tapi karena memilih untuk menutup hati. Pemimpin yang culas dan serakah berjalan di atas luka Ibu Bumi dengan dada membusung, tapi hati kosong—mereka buta terhadap tangisan tanah, tuli terhadap jerit ibu dan anak yang terinjak oleh kekuasaan yang mereka agung-agungkan.
Dalam ketiakadilan struktural yang mereka pelihara, nurani terkubur di bawah meja-meja rapat, sementara bumi terus menangis, dan langit hanya bisa mencatat.
Di pagi yang tenang setelah malam penuh duka, cahaya Paskah menembus batas keputusasaan.
Di balik salib yang dulu tampak sebagai akhir, terbit harapan dari kubur yang kosong. Tuhan Yesus, yang disalibkan dalam kesunyian dan hina, bangkit membawa cahaya baru bagi dunia yang gelap.
Kebangkitan-Nya bukan hanya peristiwa ilahi, melainkan pelukan kasih bagi jiwa-jiwa yang terluka.
Dalam setiap gema lonceng gereja dan bisikan doa Paskah, hadir bisik kasih yang menyapu pelan air mata para ibu yang kehilangan anaknya, dan anak-anak yang kehilangan pelukan ibunya karena perang yang tidak mereka mulai, karena kekejaman yang tak mengenal hati.
Di sudut-sudut dunia yang dilupakan, di mana debu dan peluru menggantikan bunga dan pelukan, pesan Paskah menjelma menjadi pelipur lara.
Tuhan yang bangkit tidak duduk di takhta emas jauh di langit, melainkan berjalan di antara reruntuhan, menatap mata para tawanan, menyentuh luka para korban perdagangan manusia, dan memeluk tubuh lelah para pengungsi.
Ia bukan Tuhan yang hanya berbicara dalam kidung pujian, tetapi Tuhan yang merintih bersama yang menderita, Tuhan yang air mata-Nya menyatu dengan tangis para ibu yang anaknya direnggut paksa, yang doanya terhenti di bibir karena dunia telah terlalu kejam.
Dalam kebangkitan-Nya, ada janji: bahwa kasih belum mati, bahwa keadilan masih hidup, dan bahwa hidup baru tersedia, bahkan bagi yang paling dihancurkan dunia.
Paskah bukan sekadar perayaan iman, tetapi nyanyian kasih yang menyusup ke dalam retakan-retakan terdalam kemanusiaan.
Di tengah dunia yang sering melupakan, kebangkitan Kristus mengingatkan: bahwa tidak ada penderitaan yang terlalu dalam untuk dijangkau oleh cinta-Nya.
Bahwa bagi setiap ibu yang kehilangan, dan anak yang terpisah, salib bukan titik akhir—melainkan jembatan menuju pelukan kekal.
Dalam Dia yang bangkit, dunia melihat kemungkinan baru: dunia di mana kematian bukan akhir, di mana air mata dihapus oleh tangan Ilahi, dan di mana cinta memiliki kata terakhir.
Di sanalah Paskah hidup, bukan hanya dalam liturgi, tetapi dalam detak jantung para jiwa yang masih berharap, dan percaya.
Menakar Sisa Beras dengan Air Mata
Di tengah gemerlap istana dan sorot lampu pesta, para pemimpin yang culas dan kehilangan nurani duduk di singgasana rakusnya.
Mereka bersulang dengan anggur impor, tertawa atas statistik yang memuja pertumbuhan semu, sementara di luar dinding istana, bumi mengaduh dan rakyat menggigil.
Mereka pamerkan arloji berlapis emas, mobil-mobil mewah, dan jet pribadi, seolah waktu dan jarak hanya milik mereka—tanpa sedikit pun menyadari bahwa ada seorang ibu yang menakar sisa beras dengan air mata, lalu memeluk anaknya dalam diam yang kelam.
Ketika kenyang membuat mereka lupa diri, kelaparan membuat seorang ibu kehilangan akal: dan di situlah tragedi dimulai.
Ibu itu tak jahat—ia hanya sudah terlalu lelah mencintai dalam perut kosong.
Di dapurnya tak ada api, di meja makannya tak ada roti, hanya isak sunyi yang menggantung seperti kabut.
Anak yang ia lahirkan dengan nyeri dan harap, ia peluk erat lalu ia tinggalkan dalam keheningan abadi—bukan karena benci, tapi karena dunia ini telah terlalu kejam untuk anak yang ia cintai.
Dalam ratapannya, terukir jerit yang lebih dalam dari kemiskinan: jerit karena negara tak hadir, karena pemimpin lebih sibuk menghias pidato daripada menatap kenyataan.
Ia menangis bukan hanya untuk anaknya, tapi untuk seluruh anak yang dilahirkan dalam negeri yang lupa arti kasih sayang.
Sementara itu, pemimpin-pemimpin itu masih berkicau di layar kaca, menyuap rakyat dengan kata-kata manis yang tak mengenyangkan.
Mereka bicara tentang keadilan sambil menginjakkan kaki di karpet tebal hasil korupsi, mereka menjual tanah dan laut atas nama pembangunan, lalu memalingkan wajah saat rakyat menggali sampah demi sesuap nasi.
Mereka tidak kehilangan otak karena bodoh, tapi karena memilih untuk menutup hati. Dan ketika seorang ibu membunuh anak kandungnya karena lapar, itu bukan sekadar tragedi—itu adalah dakwah paling pedih, ratapan paling jujur dari bumi yang tak lagi mampu menampung dusta.
Ibu, Mengapa Engkau Menangis?
Di kedalaman hening subuh yang basah oleh embun luka, Ibu Bumi merintih dalam diam yang panjang.
Perutnya yang dulu subur kini diaduk paksa oleh cakar-cakar mesin, tulangnya dibongkar tanpa ampun demi emas yang tak mengenyangkan.
Hutan-hutan, rambutnya yang hijau, dipangkas hingga botak, dan sungai-sungainya—darah yang mengalir bagi kehidupan—dicemari oleh keserakahan yang haus laba.
Di atas tubuhnya yang terkoyak, para pemimpin berdiri dengan senyum licik, memegang palu-palu kekuasaan dan kontrak berdarah, buta pada tangisan para ibu yang kehilangan ladang, tuli pada jerit anak-anak yang tumbuh tanpa air bersih dan udara murni.
Ratapan Ibu Bumi adalah ratapan cinta yang dikhianati. Ia menangis bukan hanya karena tubuhnya dilukai, tapi karena anak-anaknya dijual seperti barang dagangan.
Anak-anak kecil, yang seharusnya bermain di taman dan belajar tentang bintang-bintang, justru digiring dalam perbudakan modern—di tambang, di jalanan, di pasar gelap tubuh manusia.
Ibu Bumi memeluk mereka dalam peluk doa, memohon pada langit agar belas kasih turun seperti hujan yang menyucikan.
Tapi langit seolah diam. Hingga di satu fajar Paskah, sebuah cahaya menyusup ke liang tergelap bumi.
Dari dalam kubur batu, Sang Putra Bangkit—dan bumi pun bergetar dalam haru. Dalam mata-Nya yang menyala kasih, ada pengakuan pada ratapan ibu, pada jeritan bumi, pada luka manusia.
Tuhan Yesus, yang bangkit bukan dengan kemegahan, melainkan dengan kelembutan, melangkah ke tanah-tanah luka. Ia datang tidak membawa pedang, tapi pelukan; tidak menaklukkan dengan kuasa, tapi menyembuhkan dengan belas kasih.
Ia menyentuh tanah yang kering, dan bumi kembali menghela napas. Ia mendekap ibu-ibu yang kehilangan rumah karena tanah mereka dijual oleh para penguasa rakus, dan Ia membisikkan kata yang dulu hanya gema dalam doa: “Aku mendengarmu.”
Dalam kebangkitan-Nya, Ia menyalakan harapan bukan di istana, tapi di tenda-tenda pengungsian, di pelukan ibu yang kehilangan anak, di bibir anak yang mengucap “ibu” di negeri asing. Kebangkitan-Nya adalah jawaban paling lembut atas ratapan paling dalam.
Dan di tengah semua itu, terdengar satu tanya: “Ibu, mengapa engkau menangis?” Tanya ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan sapaan ilahi yang membangunkan hati yang nyaris mati.
Ibu Bumi menjawab dengan airmata: karena ia letih mencintai dunia yang terus melukainya.
Tapi dalam suara Tuhan yang bangkit, dalam pelukan-Nya yang tidak memilih siapa yang pantas, Ibu Bumi menemukan kembali nadinya. Ratapannya perlahan menjadi nyanyian pelan, bukan karena luka telah hilang, tetapi karena kasih kini hadir menyertai.
Bumi, dalam pelukan Kristus yang bangkit, diberi pengharapan bahwa pemulihan bukan dongeng, bahwa keadilan bukan sekadar mimpi.
Paskah menjadi kisah yang hidup, bukan hanya di surga, tapi di tanah dan tubuh manusia. Dalam kebangkitan Yesus, Ibu Bumi tahu bahwa cintanya tidak sia-sia, bahwa jeritannya tidak dibuang ke angin.
Ia tahu bahwa Tuhan tidak berpihak pada para penguasa rakus, tapi pada anak kecil yang menangis di tengah tambang, pada ibu yang mencari sisa sayur di tanah retak. Maka ia terus berdoa, terus menunggu, dan terus mengasihi.
Sebab di setiap kebangkitan, ada janji: bahwa cinta akan menang, bahwa bumi akan dipulihkan, dan bahwa akhirnya, air mata ibu akan dihapus oleh tangan Tuhan sendiri.
Harum Namanya
Di tengah gelombang abad ke-21 yang penuh gegap gempita teknologi dan derasnya arus konsumsi, berdiri sosok Ibu Kita Karni—bukan sekadar nama, tapi roh dari bumi yang menyusui, yang melindungi, yang berdoa dalam diam panjang.
Ia adalah ibu yang tak hanya melahirkan anak-anak, tetapi juga menumbuhkan kesadaran—bahwa alam adalah tubuhnya, dan perempuan adalah jantungnya.
Dalam dirinya, ekofeminisme menemukan rumah: sebuah panggilan untuk menyatukan cinta terhadap bumi dan penghormatan terhadap perempuan.
Dalam era yang sering membungkam nurani, Ibu Kartini berdiri sebagai suara lembut yang menolak dilupakan.
Ia berkata lewat daun, lewat sungai, lewat peluh para petani perempuan yang menggenggam benih sambil menyusui harapan.
Dan seperti bumi yang dilukai, Ibu Kartini pun tahu rasanya dikhianati: ketika tanah disulap jadi komoditas, ketika perempuan direnggut haknya oleh sistem yang menyembah laba.
Tapi ia tidak membalas dengan kebencian—ia merawat luka dengan kasih. Di situlah kebangkitan Tuhan Yesus menjelma nyata dalam dirinya.
Kebangkitan itu bukan sekadar mukjizat historis, tetapi denyut hidup yang terus membara dalam perempuan-perempuan yang melawan dengan cinta.
Seperti Yesus yang bangkit dari kubur untuk menyapa Maria Magdalena dengan satu kata: “Ibu,”—Ibu Kartini pun memanggil kita untuk bangkit, untuk melihat bumi dan perempuan bukan sebagai alat, tapi sebagai cermin kasih Tuhan sendiri.
Ekofeminisme dalam roh Ibu Kartini bukan ideologi kering, melainkan puisi kehidupan. Ia mengajarkan bahwa merawat bumi adalah tindakan spiritual, dan membela perempuan adalah ibadah.
Ia mencintai seperti bumi mencintai: diam, dalam, dan tak kenal pamrih. Ia percaya, sebagaimana Kristus yang bangkit bukan untuk menghukum tapi menyembuhkan, bahwa manusia pun bisa berubah—dari pemangsa menjadi penjaga, dari penakluk menjadi pelayan ciptaan.
Kebangkitan Tuhan menjadi cahaya yang menuntun gerakan ini: bahwa dunia baru mungkin, jika kasih dijadikan dasar dan bukan kekuasaan.
Di ladang-ladang yang mulai kering dan di desa-desa yang kehilangan air, roh Ibu Kartini berjalan—membagikan benih, menyeka keringat, dan membisikkan harapan.
Ia tidak mengenakan kain kebaya megah, hasil korupsi suaminya, tetapi sarung sederhana dan suara yang menyentuh hingga ke akar.
Ia adalah cerminan Kristus yang berjalan bersama mereka yang diabaikan dunia, yang memberi hidup baru dari hal-hal sederhana: setetes air, sepotong roti, sepatah kata kasih.
Dalam dunia yang haus akan makna, Ibu Kartini adalah oase, dan ekofeminisme adalah sungai yang mengalir dari mata air kebangkitan.
Maka harum namanya bukan karena pangkat atau panggung, tetapi karena ia memilih untuk merawat, bukan merusak. Namanya diabadikan dalam tindakan-tindakan kecil yang menghidupkan: dalam tangan yang menanam, dalam suara yang bersaksi, dalam doa yang disulam dari tanah dan cinta.
Ia adalah perempuan yang bangkit bersama Tuhan—tidak untuk memerintah, tapi untuk menyembuhkan.
Di abad ini, ketika bumi menjerit dan perempuan masih dilukai, kebangkitan Kristus menemukan wajahnya yang paling lembut dalam sosok Ibu Karni. Harum namanya, karena dalam dirinya, langit dan bumi, perempuan dan ilahi, bertemu dalam satu napas kasih yang tak berkesudahan.