Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Selamat jalan, Bapa Suci Fransiskus, engkau yang telah menapaki dunia dengan langkah ringan penuh kasih, kini memasuki kebahagiaan abadi dalam pelukan Allah yang Mahabelaskasih.
Engkau telah mengajarkan kami bahwa hidup tidak harus megah untuk menjadi agung, cukup dengan cinta yang tulus, hati yang rendah, dan langkah yang menyatu dengan debur tanah dan nyanyian angin.
Jadilah pendoa kami di Surga, agar kami yang masih berziarah di bumi ini terus setia berjalan dalam cara hidup yang holistik, penuh simplicitas, mencintai bumi sebagaimana mencintai sesama, dan memanusiakan yang terluka.
Bimbinglah kami dengan roh kasihmu, agar kami pun turut menenun kebahagiaan yang berkelanjutan, demi dunia yang lebih damai, lebih adil, lebih penuh cinta—seperti yang selalu kau doakan, dan kini kau saksikan dalam cahaya kekal.
Lonceng Basilika Santo Petrus
Dentangan lonceng dari Basilika Santo Petrus menggema pelan namun dalam, menandakan momen suci ketika Bapa Suci Paus Fransiskus berpulang, menghadap Sang Bapa dalam Kerajaan Surga, dibalut cahaya damai yang tak terkatakan.
Dunia seakan berhenti sejenak—langit menunduk, angin berbisik lirih, dan jiwa-jiwa yang pernah disentuh kasihnya larut dalam dukacita.
Telah pergi sang gembala yang berjalan dengan langkah sederhana, yang memeluk bumi dalam doa dan menjaga ciptaan seperti saudara kandung.
Ia yang mengajarkan kita bahwa bumi ini bukan tempat singgah yang dingin, tapi rumah bersama yang suci, harus dirawat dengan cinta seperti di surga.
Kini ia diam dalam damai kekal, namun gema kasih dan warisannya akan terus mengalun dalam hati dunia—menghidupi harapan bahwa hidup yang holistik, ekologis, dan humanis adalah jalan menuju langit yang baru dan bumi yang baru.
Pada pagi yang hening, 21 April 2025 pukul 07.35, kabar suci menjalar ke seluruh penjuru dunia: Paus Fransiskus, sang gembala umat yang lemah lembut dan penuh kasih, telah kembali ke pangkuan Allah Bapa Yang Maha Belaskasih.
Dalam bisikan angin dan denting lonceng dari Basilika Santo Petrus, dunia mengheningkan cipta untuk seorang pemimpin yang tidak agung karena mahkota, melainkan karena kesederhanaannya yang tak tergoyahkan.
Ia bukan hanya Paus bagi Gereja Katolik, melainkan suara hati nurani bagi kemanusiaan yang terluka, yang rindu akan damai dan keadilan sejati.
Hidupnya adalah puisi yang ditulis dengan jejak kaki di tanah yang berdebu dan tangan yang merangkul yang terbuang.
Ia meneladankan simplicitas dalam setiap gerak dan kata, memilih yang kecil, memeluk yang tersisih, dan memuliakan yang rapuh.
Dalam pandangannya yang teduh, dunia diajak melihat secara holistik—bahwa manusia, alam, dan Sang Pencipta terikat dalam simpul cinta yang tak terpisahkan.
Ia mengajarkan kita bahwa menjadi bahagia bukanlah soal memiliki lebih banyak, tetapi soal memberi lebih dalam, mencintai lebih luas, dan hadir lebih utuh bagi sesama dan semesta.
Kini ia pulang, bukan dengan gemuruh, tetapi dengan damai yang merambat seperti cahaya pagi yang lembut.
Paus Fransiskus telah menorehkan warisan spiritual yang ekologis dan humanis, membasuh luka-luka bumi dengan doa dan keteladanan hidupnya.
Di tengah dunia yang sering sibuk membangun tembok dan menjual harapan, ia membangun jembatan dan menanam benih sukacita yang berkelanjutan.
Kepergiannya bukanlah akhir, melainkan kelanjutan dari pesan kasih yang abadi: bahwa hidup yang paling luhur adalah hidup yang dijalani dengan cinta, kesederhanaan, dan pengharapan akan dunia yang lebih baik—di bumi seperti di surga.
Di Bumi seperti di Surga
Paus Fransiskus, pemimpin umat yang bersahaja, telah meninggalkan warisan spiritual yang melampaui batas-batas agama dan keyakinan.
Ia tidak hanya memimpin melalui kata-kata, tetapi lebih dalam lagi melalui cara hidup yang mencerminkan spiritualitas yang ekologis dan humanis.
Dalam setiap pesannya, ia menyerukan bahwa bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi rumah bersama yang suci, yang harus dijaga dengan kasih, bukan dieksploitasi dengan rakus.
Ensklikalnya Laudato Si’ menjadi nyanyian rohani bagi dunia modern—sebuah seruan mendalam untuk menyatukan iman, ilmu, dan tanggung jawab ekologis demi menjaga ciptaan Allah.
Cara berpikir Paus Fransiskus tidak dilandasi oleh kuasa atau kekuasaan, tetapi oleh simplicitas—kesederhanaan yang murni, seperti Injil yang diteladankan Kristus.
Ia memilih untuk tinggal di rumah tamu Vatikan, bukan istana kepausan, menolak kemewahan dan lebih suka naik mobil kecil daripada kendaraan mewah.
Namun dari kesederhanaan itulah terpancar kekuatan moral yang luar biasa. Ia menyampaikan pesan bahwa spiritualitas bukan berada di tempat tinggi yang jauh, melainkan hadir dalam keseharian yang jujur, peduli, dan bersahabat terhadap yang lemah—baik manusia maupun alam semesta.
Gaya hidupnya yang rendah hati mencerminkan kasih Kristus yang memihak pada yang miskin dan tertindas.
Paus Fransiskus menolak jarak antara pemimpin dan rakyat; ia berjalan bersama mereka, menyentuh luka mereka, dan mendengarkan tangis mereka.
Ia percaya bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh status sosial, melainkan oleh keberadaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Dalam dunia yang semakin terkotak dan kompetitif, ia mengajak kita untuk melihat satu sama lain sebagai saudara, bukan pesaing.
Itulah inti dari spiritualitas humanis yang ia wariskan: menjadi manusia bagi manusia lain, dengan penuh kasih dan penghormatan.
Dalam konteks ekologis, ia menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah juga krisis moral.
Ketika bumi dirusak, yang paling menderita adalah mereka yang paling miskin. Oleh karena itu, ia mengajak dunia untuk tidak memisahkan keadilan sosial dari keadilan ekologis.
Melalui gaya hidup yang sederhana dan penuh hormat terhadap alam, ia menyampaikan bahwa spiritualitas sejati bukanlah pelarian dari dunia, tetapi keterlibatan penuh cinta terhadap dunia yang Allah ciptakan.
Ia menghidupkan kembali kesadaran bahwa mencintai bumi adalah bagian dari mencintai Allah.
Kini, meski raganya telah kembali ke Sang Pencipta, semangat Paus Fransiskus terus berhembus di hati banyak orang.
Warisannya adalah jalan hidup yang membumi namun terarah ke langit—sebuah jembatan antara bumi dan surga.
Ia mengajarkan kita bahwa kita bisa menciptakan secercah Surga di bumi ini, bukan dengan membangun menara-menara tinggi, tetapi dengan membangun kasih, kepedulian, dan rasa syukur atas segala ciptaan.
Dalam kesederhanaannya, ia meninggalkan pesan abadi: bahwa hidup yang penuh cinta, rendah hati, dan selaras dengan alam adalah bentuk tertinggi dari ibadah kepada Allah yang Maha Belaskasih.
Sekolah Cinta Kasih
Di sebuah sudut bumi yang letih oleh persaingan dan luka-luka sejarah, lahirlah sebuah harapan bernama Sekolah Cintakasih.
Ia bukan hanya bangunan tempat belajar, melainkan taman jiwa tempat benih-benih kasih disemai dan ditumbuhkan dengan kesabaran.
Di sekolah ini, ilmu tidak diajarkan sekadar untuk memahami dunia, melainkan untuk mencintainya.
Di antara tawa anak-anak dan sunyi doa para pendidik, sebuah proyek besar sedang dibangun—peradaban kasih, tempat manusia saling mengenal sebagai saudara, bukan sebagai lawan.
Sekolah Cintakasih berdiri di atas fondasi terdalam dari kemanusiaan: cinta yang tidak memilih, dan kasih yang tak menuntut balas. Ia menolak logika diskriminasi dan menolak kasta atas nama kecerdasan, status, atau kekuasaan.
Di ruang-ruangnya yang sederhana, anak-anak dari berbagai latar, iman, dan warna kulit duduk berdampingan, saling belajar satu sama lain.
Di sana, pelajaran tentang persaudaraan lebih utama dari persamaan matematika, dan pelajaran tentang empati lebih penting dari sekadar hafalan sejarah.
Ini bukan sekolah biasa—ini adalah rumah bagi jiwa-jiwa muda yang sedang bertumbuh menjadi penjaga damai dan pewaris bumi. Para guru di sekolah ini adalah penabur cinta; mereka mengajar bukan hanya dengan kata, tapi dengan pelukan, kesabaran, dan keteladanan hidup.
Di halaman sekolah, pohon-pohon ditanam bukan hanya untuk menghijaukan tanah, tetapi untuk mengajarkan bahwa hidup harus dirawat bersama. Setiap daun yang gugur pun dihargai sebagai bagian dari pelajaran besar tentang kehidupan yang saling terhubung.
Dalam Sekolah Cintakasih, dunia yang utopis itu terasa mungkin—sebuah dunia di mana persaudaraan bukan mimpi, melainkan kenyataan yang dipelajari sejak dini.
Proyek peradaban ini bukanlah proyek jangka pendek; ia adalah perjalanan panjang, lintas generasi, untuk membentuk manusia baru yang tidak sekadar cerdas, tapi juga penuh cinta.
Mereka yang keluar dari sekolah ini tidak hanya membawa ijazah, tetapi juga hati yang lebih lapang, mata yang lebih lembut melihat dunia, dan tangan yang siap membangun jembatan, bukan tembok.
Maka jika suatu hari dunia bertanya, di mana peradaban kasih itu pernah dimulai kembali, sejarah akan menunjuk kepada Sekolah Cintakasih—sebuah tempat kecil yang bermimpi besar.
Tempat di mana peradaban tidak dibangun dengan kekuatan senjata atau teknologi, melainkan dengan kelembutan hati manusia yang belajar saling mencintai.
Di sana, setiap anak diajarkan bahwa menjadi manusia sejati adalah menjadi saudara bagi seluruh ciptaan. Dan dari sanalah, cahaya peradaban kasih akan terus menyala, menerangi semesta yang rindu damai.
Warisan Paus Fransiskus adalah bisikan cinta yang terus bergaung di relung dunia, bahwa sekolah cinta kasih bukan sekadar tempat mengajar, melainkan taman suci di mana pribadi-pribadi yang diilhami oleh kasih Injil menanam benih harapan dengan tangan penuh kelembutan.
Di sana, pedagogi adalah ungkapan cinta—sebuah seni berjalan bersama, bukan dari atas mimbar, melainkan di jalan debu yang sama, seperti Yesus yang berjalan berdampingan dengan para murid-Nya, menyapa dengan mata yang memahami, mendengar dengan hati yang terbuka.
Guru dan murid saling menuntun, bukan untuk sekadar mencapai nilai, tetapi untuk menemukan Yerusalem baru—ruang batin yang damai, langit dan bumi baru di mana kasih menjadi bahasa utama, dan pendidikan menjadi ziarah menuju hidup yang lebih manusiawi, lebih ilahi.