Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Dan ketika dunia bertanya di mana jalan keluar dari krisis global, suara lembut Bapa Suci menggema dari ujung bumi: belajarlah mencintai, sebab hanya cinta yang menyelamatkan planet bumi sebagai rumah kita bersama. Itulah kebahagiaan berkelanjutan.
Di bawah langit Roma yang pagi itu berselimut duka dan doa, Paus Fransiskus, pemangku Gereja Katolik sejak 2013, telah kembali ke rumah Bapa di Surga pada Senin, 21 April 2025 dan dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore pada Sabtu 26 April 2025—namun jejak kasihnya tak lekang oleh waktu.
Ia pergi sebagai Gembala Agung yang lembut dan murah hati, yang mewariskan gaya hidup tentang kepemimpinan yang holistik, humanis, dan ekologis jauh melampaui batas agama dan negara—sebuah jalan menuju kebahagiaan berkelanjutan yang berakar dalam pada cinta kasih Injil.
Dalam setiap langkahnya yang bersahaja, Sri Paus menaburkan benih harapan lewat ajaran suci tentang kebebasan batin, perdamaian abadi, dan keadilan yang menyatu antara sosial dan ekologis.
Paus Fransiskus menyerukan agar konflik dan perang segera diakhiri, karena keduanya bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga luka mendalam bagi bumi yang seharusnya menjadi rumah damai bagi semua ciptaan.
Ia membimbing umat manusia untuk melihat satu sama lain sebagai saudara seziarah, memanggil dunia untuk bangkit dari keserakahan menuju kesederhanaan, dari perpecahan menuju persaudaraan, dari kerusakan menuju pemulihan.
Kini, di setiap hati yang pernah disentuh oleh sapa senyumnya, dalam setiap doa yang bergema di antara umat yang ia kasihi, warisannya hidup—sebagai undangan abadi untuk terus melangkah bersama menuju langit dan bumi baru, tempat di mana damai dan kasih bukan hanya impian, tetapi kenyataan yang dijanjikan.
Dalam setiap kata dan langkahnya, terukir hasrat untuk membebaskan manusia dari belenggu sistem yang menindas, agar setiap insan dapat bernapas dalam damai, berjalan dalam martabat, dan hidup dalam keutuhan bersama alam.
Ia bukan hanya pemimpin umat Katolik, tapi juga suara hati bumi yang menyerukan bahwa martabat setiap manusia harus dijunjung, bahwa bumi harus dijaga, dan bahwa cinta adalah kekuatan paling revolusioner yang dimiliki manusia.
Semangat holistik yang diusung Paus Fransiskus adalah napas dari planet bumi yang saling terhubung, di mana manusia, alam, budaya, dan spiritualitas tak bisa dipisahkan.
Ia mengajak umat manusia untuk melihat krisis bukan sebagai persoalan yang terpisah—entah itu sosial, ekonomi, atau lingkungan—melainkan sebagai satu tubuh yang sakit karena lupa pada keharmonisan.
Ia mewariskan sosok pemimpin yang holistik, humanis -ekologis demi kebahagiaan berkelanjutan.
Ia mengajarkan bahwa bumi bisa menjadi rumah yang damai jika setiap pemimpin mau mencintai, bukan menguasai.
Di bawah langit Vatikan yang luas dan tenang, Paus Fransiskus melangkah perlahan, membawa serta napas dunia yang resah dalam jubahnya yang putih.
Ia bukan sekadar pemimpin rohani, tetapi sosok lembut yang mengajarkan umat manusia untuk mencintai bumi seperti mencintai diri sendiri.
Dalam setiap khotbah dan senyumannya yang tulus, ia menanamkan benih cinta pada kesederhanaan—sebuah gaya hidup yang menolak kemewahan berlebihan demi keutuhan ciptaan.
Dalam bisikan doanya yang lirih, ia menyelipkan harapan agar manusia kembali mendekap alam, hidup bersahaja, dan bersyukur atas yang kecil namun berarti.
Paus Fransiskus menulis dengan hati pada lembaran dunia yang gersang, dan dalam ensiklik Laudato Si’, ia mewariskan bukan hanya kata-kata, tetapi getaran jiwa yang menyerukan perubahan.
Ia mengajak manusia untuk mendengar tangisan bumi dan jerit sunyi kaum miskin—dua luka yang saling berpaut dan memanggil nurani.
Kebahagiaan, menurutnya, bukanlah tumpukan benda atau kilauan gemerlap, melainkan harmoni antara manusia, Sang Pencipta, dan ciptaan lainnya.
Gaya hidup berkelanjutan bukan sekadar pilihan moral, melainkan jalan menuju sukacita yang murni—sebuah kebahagiaan yang tak lekang oleh waktu dan tak rapuh oleh mode.
Dan kini, warisan itu mengalir seperti sungai yang jernih, mengundang setiap hati untuk menyelami maknanya. Di tengah dunia yang hiruk pikuk, gaduh rsah dan lelah oleh ambisi, ajaran Paus Fransiskus adalah pelita yang lembut, membisikkan: bahwa mencintai secara sederhana adalah revolusi paling radikal.
Ia tak meninggalkan istana, tetapi meninggalkan jejak kasih dalam cara hidup yang rendah hati dan peduli. Warisannya adalah puisi hidup yang terus bergema, mengajak kita untuk memilih cinta, merawat bumi, dan hidup dalam kebahagiaan yang tak hanya untuk hari ini, tetapi untuk selamanya.
Suara Hati Nurani Bumi
Paus Fransiskus hadir sebagai sosok revolusi mental yang lembut namun mengguncang akar-akar ketidakpedulian dunia modern.
Ia tidak datang membawa pedang atau teriakan, tetapi menghadirkan perubahan dengan kekuatan welas asih yang menyentuh hati dan menggugah nurani.
Dalam senyumnya yang tulus dan pelukannya yang hangat bagi yang terbuang, ia menyatakan bahwa kasih bukan sekadar ajaran, melainkan tindakan nyata yang menembus batas ruang dan waktu.
Ia mengubah wajah kepemimpinan spiritual menjadi cermin belas kasih, mengajarkan bahwa kekuatan seorang pemimpin terletak pada keberaniannya untuk peduli dan mengampuni.
Sebagai figur inklusif yang radikal, Paus Fransiskus meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia atas nama doktrin, dogma, atau perbedaan identitas. Ia membuka pintu-pintu Gereja, dan lebih dari itu, membuka hati umat manusia agar melihat sesama bukan sebagai “yang lain”, melainkan sebagai saudara sejiwa.
Ia berbicara dalam bahasa yang dipahami semua kalangan—bahasa kasih, keadilan, dan perdamaian—mengajak dunia untuk menerima, bukan menghakimi; untuk merangkul, bukan mencurigai.
Dalam keberaniannya merangkul mereka yang terpinggirkan—kaum miskin, imigran, kaum LGBT, bahkan mereka yang tidak beriman—ia menjadi simbol cinta Tuhan yang tak terikat pada batas buatan manusia.
Paus Fransiskus adalah teladan sempurna dari seorang tokoh pembela kemanusiaan, bukan karena ia tanpa cela, melainkan karena ia memilih menjadi pelindung mereka yang tak bersuara.
Ia berdiri di garis depan perjuangan moral global—melawan ketidakadilan sosial, kerusakan ekologis, dan budaya konsumtif yang membutakan nurani.
Dalam dirinya, spiritualitas bertemu keberanian, dan keimanan bersatu dengan aksi nyata.
Ia bukan hanya pemimpin umat Katolik, tapi juga suara hati bumi yang menyerukan bahwa martabat setiap manusia harus dijunjung, bahwa bumi harus dijaga, dan bahwa cinta adalah kekuatan paling revolusioner yang dimiliki manusia.
Humanisme Baru
Paus Fransiskus memimpikan lahirnya tatanan langit dan bumi baru, bukan yang dibangun di atas fondasi kekuasaan dan keuntungan semata, tetapi yang berakar pada humanisme baru—sebuah pandangan yang menempatkan martabat manusia dan keutuhan ciptaan di pusat kehidupan.
Ia menyerukan dunia untuk meninggalkan sistem yang menindas, yang membuat manusia menjadi angka dan alam menjadi barang dagangan.
Dalam doanya yang mendalam dan pesannya yang kuat, ia membayangkan dunia di mana setiap orang dihargai bukan karena status atau asal-usulnya, tetapi karena ia adalah manusia, ciptaan Tuhan yang tak ternilai.
Tatanan ini bukan utopia, tapi kemungkinan yang tumbuh dari keberanian untuk berubah dan mencintai lebih besar.
Semangat holistik yang diusung Paus Fransiskus adalah napas dari dunia yang saling terhubung, di mana manusia, alam, budaya, dan spiritualitas tak bisa dipisahkan.
Ia mengajak umat manusia untuk melihat krisis bukan sebagai persoalan yang terpisah—entah itu sosial, ekonomi, atau lingkungan—melainkan sebagai satu tubuh yang sakit karena lupa pada keharmonisan.
Dalam ensiklik Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, ia membangun jembatan antarbangsa, antariman, bahkan antara sains dan iman, demi membentuk masa depan yang lebih adil dan berbelas kasih.
Ia percaya bahwa hanya dengan pendekatan menyeluruh yang memulihkan relasi kita dengan Tuhan, sesama, dan alam, dunia bisa menemukan jalannya kembali menuju sukacita yang sejati.
Untuk itu, Paus Fransiskus mendorong kebangkitan kesadaran ekologis yang bukan sekadar gerakan pelestarian lingkungan, tetapi tindakan cinta yang melindungi kehidupan demi kebahagiaan berkelanjutan.
Ia mengajarkan bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah bersama yang harus dirawat dengan rasa syukur dan tanggung jawab.
Dalam visi humanis-ekologis ini, kita diajak hidup lebih pelan, lebih sadar, dan lebih peduli—bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang.
Dengan hati seorang bapa dan keberanian seorang nabi, Paus Fransiskus menyalakan obor harapan akan dunia baru yang lebih adil, lebih lembut, dan lebih penuh cinta.
Kebahagiaan Berkelanjutan
Paus Fransiskus mewariskan kepada dunia sosok pemimpin yang jauh melampaui batas-batas tradisional—seorang gembala yang tidak hanya mengurusi jiwa, tetapi juga tubuh dunia yang rapuh.
Dalam keheningan Vatikan dan hiruk-pikuk dunia, ia menanamkan benih kepemimpinan yang holistik: yang memandang manusia sebagai makhluk utuh—jiwa, raga, dan relasi dengan ciptaan.
Ia tidak memisahkan antara spiritualitas dan tindakan, antara doa dan aksi. Bagi Fransiskus, menjadi pemimpin berarti hadir secara penuh, menyelami penderitaan umat, merasakan jerit bumi, dan menjawabnya dengan kasih nyata yang menyeluruh.
Kepemimpinan yang diteladankan Paus Fransiskus bukanlah tentang dominasi, melainkan tentang pelayanan; bukan soal memerintah, tetapi menyertai.
Ia mendobrak model lama kekuasaan hirarkis dan mengubahnya menjadi kehadiran yang rendah hati, mendengar lebih banyak, dan memeluk lebih luas.
Ia menginspirasi dunia dengan gaya pastoral yang penuh kelembutan, menyapa umat dari berbagai latar belakang dengan bahasa cinta yang universal.
Dalam sikapnya yang sederhana dan keterbukaannya terhadap dialog, ia membuktikan bahwa seorang pemimpin sejati adalah jembatan antara yang berbeda, dan juru damai di tengah dunia yang mudah terbelah.
Sebagai tokoh yang mengusung semangat humanis-ekologis, Paus Fransiskus menegaskan bahwa keadilan bagi manusia tidak bisa dipisahkan dari keadilan bagi bumi.
Dalam ensiklik Laudato Si’, ia mengajarkan bahwa penderitaan alam adalah cermin dari ketimpangan sosial yang lebih dalam.
Ia menyadarkan kita bahwa eksploitasi lingkungan dan ketidakadilan sosial berasal dari akar yang sama: keserakahan dan pengabaian terhadap sesama.
Oleh karena itu, ia mengajak pemimpin dunia untuk melihat krisis global dengan kacamata baru—yang menghubungkan ekonomi, etika, dan ekologi dalam satu napas keberlangsungan hidup, kebahagiaan berkelanjutan.
Dalam setiap pidato, perjalanan, dan doa-doanya, Paus Fransiskus mewariskan visi kebahagiaan berkelanjutan—bukan sebagai kemewahan pribadi, melainkan sebagai kesejahteraan bersama yang hanya bisa dicapai lewat harmoni.
Ia menekankan pentingnya gaya hidup sederhana, hubungan yang sehat antar manusia, serta tanggung jawab moral terhadap alam.
Kebahagiaan yang ia maksud bukanlah kegembiraan sesaat, tetapi sukacita mendalam yang tumbuh dari cinta, dari keadilan, dan dari rasa syukur atas kehidupan itu sendiri.
Ia mengajarkan bahwa dunia bisa menjadi rumah yang damai jika setiap pemimpin mau mencintai, bukan menguasai.
Kini, warisan Paus Fransiskus hidup dalam hati mereka yang tergerak oleh kasih dan kesadaran.
Ia telah membuka jalan bagi generasi baru pemimpin—mereka yang berpikir secara menyeluruh, bertindak dengan belas kasih, dan bermimpi tentang masa depan yang layak bagi semua makhluk.
Kepemimpinan holistik dan humanis-ekologis yang ia wariskan adalah undangan bagi siapa saja yang rindu dunia yang lebih baik: dunia di mana cinta menjadi dasar kebijakan, dan bumi dirawat seperti tubuh sendiri.
Dalam dirinya, kita menemukan harapan bahwa masa depan tidak hanya bisa lebih adil dan lestari, tetapi juga lebih indah, karena dipimpin oleh cinta yang nyata.
Sekolah Peradaban Cinta
Di tengah dunia yang tercabik oleh keserakahan dan kesendirian, Paus Fransiskus melangkah sebagai suara hati nurani bumi—mewartakan cinta kasih sebagai jalan pembebasan, dan persaudaraan semesta sebagai jembatan harapan.
Dalam tatapan matanya yang penuh damai dan langkahnya yang bersahaja, lahirlah gerakan Sekolah Peradaban Cinta Kasih Persaudaraan Semesta, sebuah visi profetik di mana manusia dididik bukan hanya untuk berpikir, tetapi untuk mencintai, bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk peduli.
Sekolah ini bukan bangunan dari batu, melainkan ruang spiritual yang dibangun di atas kurikulum hidup kudus: hidup yang bersumber dari rahmat, dijalani dengan keheningan yang berbuah tindakan.
Kurikulum itu tidak tercetak di kertas, melainkan terukir di hati yang belajar bermurah hati hingga rela mati demi sesama, bersaudara melampaui suku dan agama, serta hidup inklusif yang menampung semua dengan tangan terbuka.
Di dalamnya, anak-anak bumi diajar bahwa damai bukan akhir, melainkan jalan; bahwa cinta bukan kata, melainkan keberanian untuk hadir di tengah luka dunia.
Di sekolah ini, umat manusia dilatih untuk menyembuhkan, bukan menaklukkan; untuk membangun, bukan menghancurkan. Setiap pelajaran adalah doa yang hidup, dan setiap tindakan adalah liturgi yang membawa terang bagi ciptaan yang bersedih.
Lewat gerakan ini, Paus Fransiskus tidak hanya mengajarkan jalan kasih, tetapi membangkitkan kesadaran bahwa kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang berkelanjutan—yang tidak meninggalkan siapa pun, dan tidak mencederai bumi.
Ia membayangkan umat manusia tumbuh sebagai satu keluarga besar yang saling memanggil dengan nama kasih, merayakan perbedaan sebagai harmoni, dan menata dunia sebagai rumah damai yang kudus.
Dan ketika dunia bertanya di mana jalan keluar dari krisis global, suara lembut Bapa Suci menggema dari ujung dunia: belajarlah mencintai, sebab hanya cinta yang menyelamatkan semesta.