Oleh: Wilibaldus Kuntam
Ketua Lembaga Kajian Politik dan Hukum pada Lembaga Nusantara Centre
Pemilihan paus baru masih menjadi topik hangat banyak kalangan. Tak hanya kalangan Katolik tapi juga agama lain, bahkan kalangan ateis pun bincang serupa.
Paus Leo XIV tentu punya otoritas dan kekuasaan sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan kepala negara Vatikan. Ini tak bisa disangkal lagi.
Selain itu, paus yang baru adalah teolog Katolik. Sebagai teolog, dirinya tidak bisa tidak terlibat mengatasi masalah kontekstual. Mengapa? Sebabnya sederhana. Teologi hanya bisa dibilang teologi kalau kontekstual.
Apa contoh masalah kontekstual? Ambillah contoh korupsi. Setiap masalah korupsi selalu terhubung dengan kekuasaan dan otoritas. Kekuasan yang tidak dibuat beradab dengan nilai-nilai moral.
Padahal kekuasaan harus diberadabkan agar tidak korup. Persis di sini peran paus baru ditunggu publik.
Peran dan gerakan paus baru tidak bisa terlepas dari spirit Santo Agustinus. Itulah kiranya, teolog ini memasuki Ordo Santo Agustinus (OSA) pada 1 September 1977 di saint louis.
Memilih ordo ini dari sekian banyak pilihan ordo bukan kebetulan tapi kesengajaan. Paus Leo XIV tentu ingin mengabdi dan berkarya seturut spirit, nilai dan ajaran Santo Agustinus.
Banyak karya cemerlang ditulisnya. Satu karya penting adalah soal korupsi, meski Agustinus sendiri tidak membuat buku berisi teori khusus soal korupsi.
Teologisasi Kemerosotan
Sebelum Agustinus, korupsi diartikan sebagai kemerosotan. Kemerosotan dalam banyak hal (Herry B.Priyono, 2018).
Agustinus tak menolak idiom semacam itu tapi Agustinus menyuntikan hormon teologi pada arti korupsi. Dia melihat korupsi sebagai satu bentuk dosa asal.
Dosa asal berarti tindakan manusia menolak kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah kondisi dunia yang penuh dengan cinta, damai dan adil.
Agustinus ingin agar orang hidup dalam kerajaan Allah. Inilah yang disebutnya kota Tuhan atau civitas Dei.
Namun, rupanya, ia pun sadar bahwa kota semacam ini sulit ditemukan di dunia ini dan hanya ada di dunia lain. Karenanya, Agustinus tak mau menjadi teolog yang tinggal di menara gading.
Hanya berteori tanpa praktek, selagi memang teori tanpa praktek itu bagai akar tanpa pohon. Itu alasannya, ia mengisi kekosongan kekuasaan pada masa kekaisaran Romawi lalu mencari sebab keruntuhannya.
Ia pun bersuara nyaring: kekaisaran Romawi runtuh karena korupsi! Kota Romawi dihuni para pecundang yang gunakan kekuasaan untuk kepentingan diri. Korupsi yang dulu meruntuhkan kekaisaran Romawi kini terjadi secara global.
Arus Globalisasi Korupsi
Korupsi sudah menjadi persoalan global. Paus Leo XIV memimpin di tengah persoalan krusial seperti ini. Sebagaimana Santo Agustinus terlibat dalam mengatasi masalah korupsi, demikian pula paus yang baru.
Ini mudah, asalkan ada persatuan seperti dalam mottonya “Dalam dia yang satu, kita menjadi satu”. Karenanya, para biarawan dan biarawati secara personal dan instirusi gereja mesti menjadi agen pemberantas korupsi.
Dari struktur paling bawah sampai dengan paling atas berpacu melawan korupsi. Dari jabatan terkecil hingga jabatan yang besar.
Apakah ini bisa? Tentu saja bisa. Apa syaratnya? Syaratnya adalah para biarawan/i dan institusi Gereja Katolik sendiri tidak korup. Bolehlah dibilang bahwa mereka menjadi saksi dan teladan pemberantasan korupsi.
Saya dan Anda tentu tak ingin kisah di abad kegelapan itu terulang. Bagaimana kisahnya? Konon, ada seorang teoritisi moral berteori secara mengagumkan.
Namun, suatu ketika, catatan harian pelacur ditemukan di bawah bantalnya. Ketika dipersoalkan, teoritisi itu hanya bisa beralibi bahwa dirinya hanya bisa menunjukkan panah moralitas tapi tak bisa melakukannya.
Tinggalkan Balasan