[Sebuah Catatan Psikologis]

Oleh: Florentina Ina Wai
Staf Publikasi dan Jurnal Ilmiah Stipar Ende

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena prostitusi online di kalangan remaja mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai wilayah di Indonesia.

Di Batam, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Batam mengidentifikasi praktik Open BO yang dilakukan oleh remaja, yang setelah melalui asesmen lebih lanjut, diduga kuat berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Sementara itu, di Jakarta Selatan, pihak kepolisian berhasil mengungkap jaringan prostitusi online yang beroperasi melalui aplikasi MiChat.

Kasus ini melibatkan pelaku yang masih berstatus di bawah umur, serta korban eksploitasi seksual anak, yang mengaku menjalani aktivitas tersebut untuk memenuhi tuntutan gaya hidup.

Temuan ini menyoroti urgensi perlindungan terhadap remaja dari risiko eksploitasi digital serta pentingnya edukasi mengenai dampak dan konsekuensi dari fenomena tersebut.

Di belantara kehidupan yang tak selalu bersinar terang, bayang-bayang perdagangan tubuh menyelinap hingga ke sudut-sudut yang dulu terkesan jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Kasus Open BO di Kupang, yang terkuak dalam Operasi Pekat Turangga 2025, menjadi cerminan betapa fenomena ini telah merambah hingga ke pelosok negeri.

Bukan hanya sekadar transaksi, tetapi jejak sunyi dari luka yang tersembunyi di balik layar. Sementara itu, di Mataram, NTB, laporan demi laporan mengalir ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, lima di antaranya mencuat ke permukaan, empat telah memasuki ranah hukum.

Di balik angka-angka ini terselip kisah keluarga yang renggang, hubungan yang rapuh, serta pertemanan yang menjelma menjadi jerat. Dalam pergulatan antara kebutuhan dan harapan, realitas sosial ini menggugah tanya: di mana seharusnya perlindungan itu berpijak?

Fenomena Open BO di kalangan remaja mencerminkan dinamika sosial yang kompleks, di mana kebutuhan ekonomi, tekanan lingkungan, serta pengaruh media sosial berkelindan membentuk pilihan-pilihan yang mengkhawatirkan.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2021 mencatat bahwa dari 234 anak korban eksploitasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sebanyak 67% masih bersekolah, sementara 33% terpaksa putus sekolah.

Inilah sebuah statistik yang mencerminkan keterasingan dan minimnya perlindungan bagi mereka yang terjebak dalam lingkaran eksploitasi.

Tahun 2025, KPAI kembali menggarisbawahi bahwa masih banyak kasus eksploitasi anak yang tidak tersampaikan kepada penegak hukum. Stigma sosial dan kurangnya pemahaman akan hak-hak anak menjadi hambatan besar dalam upaya perlindungan dan pencegahan.

Fenomena ini sekaligus menyoroti bagaimana media sosial dan tuntutan gaya hidup dapat memengaruhi psikologi remaja, menciptakan jurang yang dalam antara pemenuhan kebutuhan, pencarian identitas, dan eksistensi dalam dunia maya.

Dalam pusaran ini, muncul pertanyaan mendasar: apa yang benar-benar memicu keterlibatan remaja dalam Open BO, dan bagaimana luka psikologis yang mereka bawa dalam perjalanan hidup mereka? Mungkinkah ada jalan yang bisa menjembatani harapan dan kenyataan agar mereka tak lagi terperangkap dalam siklus yang membelenggu?

Open BO (Open Booking Online) merupakan fenomena kompleks yang mencerminkan eksploitasi anak dan remaja di ranah digital, dengan dampak serius terhadap kesehatan mental, fisik, serta perkembangan sosial mereka.

Berdasarkan definisi KPAI, praktik ini termasuk dalam kategori perdagangan orang, di mana anak dan remaja dijajakan secara online untuk tujuan seksual. Dari perspektif psikologis, keterlibatan dalam praktik ini berisiko tinggi, memengaruhi kesejahteraan emosional dan membentuk pola perilaku yang destruktif.

Sementara itu, dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial dan tekanan gaya hidup berkontribusi pada perubahan norma sosial di kalangan remaja.

Oleh karena itu, Open BO tidak hanya mencerminkan tantangan dalam perlindungan anak, tetapi juga menyoroti perlunya pendekatan holistik dalam edukasi digital, intervensi sosial, serta kebijakan hukum yang lebih ketat untuk mencegah eksploitasi lebih lanjut.

Akan hal ini beberapa catatan bisa diajukan. Media sosial memiliki peran signifikan dalam membentuk perilaku dan sikap remaja melalui mekanisme pembelajaran sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Albert Bandura.

Remaja yang terpapar pada konten yang tidak sesuai dengan usia mereka berisiko mengalami gangguan identitas, perubahan konsep diri, serta peningkatan kecenderungan kecanduan digital.

Proses observasi dan imitasi dalam interaksi sosial di dunia maya dapat menyebabkan normalisasi perilaku berisiko, termasuk fenomena Open BO, yang berpotensi dipersepsikan sebagai hal yang dapat diterima.

Dalam konteks psikologi sosial, pengaruh media digital terhadap perkembangan remaja menunjukkan urgensi edukasi literasi digital serta intervensi sosial untuk mencegah dampak negatif terhadap kesejahteraan mental mereka.

Di sisi lain, remaja berada dalam fase perkembangan krusial yang ditandai oleh pencarian identitas dan peran sosial, sebagaimana dijelaskan dalam teori psikososial Erik Erikson pada tahap identitas vs kebingungan.

Dukungan keluarga dan lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk identitas yang sehat, karena tanpa bimbingan yang memadai, remaja berisiko mengalami gangguan identitas serta kecenderungan perilaku berisiko.

James Marcia memperjelas bahwa individu yang belum mencapai identitas yang stabil dapat mengalami krisis identitas, yang sering kali mendorong mereka untuk mencari validasi melalui perilaku yang menyimpang.

Oleh karena itu, intervensi berbasis dukungan sosial dan edukasi psikologis menjadi fundamental dalam membantu remaja membangun identitas yang kuat dan positif.

Hal lain yang perlu diperhatikan secara secara serius adalah adanya gangguan identitas pada remaja yang terlibat dalam Open BO mencerminkan krisis psikososial yang dapat berdampak pada regulasi emosi dan perilaku mereka.

Berdasarkan teori Erik Erikson, remaja yang gagal menemukan identitas yang stabil berisiko mengalami kebingungan dan mencari validasi melalui interaksi online.

Dalam konteks ini, media sosial dan aplikasi digital menjadi ruang bagi mereka untuk memperoleh pengakuan, yang terkadang berujung pada eksploitasi diri melalui transaksi virtual.

Daniel Siegel menekankan bahwa gangguan identitas dapat menghambat kemampuan remaja dalam mengontrol emosi, meningkatkan ketergantungan pada validasi eksternal, serta memperkuat pola perilaku berisiko.

Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap dinamika identitas remaja diperlukan dalam upaya pencegahan eksploitasi digital, dengan pendekatan yang berorientasi pada dukungan psikologis dan edukasi sosial.

Perlu disadari pula bahwa trauma pada remaja yang terlibat dalam Open BO dapat menyebabkan gangguan psikologis yang berdampak pada regulasi emosi dan perilaku mereka.

Menurut teori psikologi trauma, pengalaman traumatis dapat memengaruhi struktur otak, meningkatkan risiko depresi, kecemasan, serta penurunan harga diri.

Bessel van der Kolk menekankan bahwa trauma mengganggu mekanisme kontrol emosional, membuat individu lebih rentan terhadap stres dan perilaku destruktif.

Dalam konteks eksploitasi digital, tekanan sosial dan pengalaman negatif yang dialami remaja dapat memperparah dampak psikologis, sehingga intervensi berbasis dukungan psikososial menjadi esensial dalam pemulihan mereka.

Berhadapan dengan fenomena ini, saya menawarkan beberapa solusi sebagai berikut.

Pertama, perlu adanya pendidikan seksual yang memadai. Pendidikan seksual yang komprehensif berperan penting dalam membentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja terkait seksualitas serta hubungan yang sehat.

Dalam teori psikologi kognitif, pembelajaran bertahap memungkinkan individu memahami konsep abstrak, termasuk seksualitas, secara lebih matang.

Jean Piaget menekankan bahwa perkembangan kognitif remaja berada pada tahap operasi formal, di mana mereka mulai berpikir lebih logis dan abstrak, sehingga pendidikan seksual yang tepat dapat membantu mereka menavigasi aspek sosial dan emosional dari hubungan interpersonal.

Dengan demikian, pendekatan edukatif yang berbasis informasi ilmiah, etika, serta kesehatan reproduksi sangat penting untuk mendukung perkembangan psikososial remaja dan mencegah risiko perilaku berisiko akibat kurangnya pemahaman.

Kedua, pengawasan online. Pengawasan online memiliki peran krusial dalam memantau aktivitas digital remaja dan memberikan intervensi bagi mereka yang berisiko terlibat dalam perilaku bermasalah seperti Open BO.

Berdasarkan teori psikologi behavioral, pengkondisian operan yang dikembangkan oleh B.F. Skinner menunjukkan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui reinforcement positif maupun negatif.

Dalam konteks ini, pengawasan dan kontrol yang bijaksana dapat membantu mengarahkan remaja ke lingkungan digital yang lebih sehat, mencegah akses mereka ke konten berbahaya, serta memperkuat perilaku yang positif melalui edukasi dan komunikasi terbuka.

Oleh karena itu, strategi pengawasan harus disertai pendekatan edukatif, sehingga remaja tidak merasa dikendalikan, tetapi lebih diarahkan untuk memahami konsekuensi dan tanggung jawab dalam penggunaan teknologi digital.

Ketiga, dukungan dan perhatian. Pendekatan psikologi humanistik menekankan bahwa dukungan emosional dan perhatian berperan penting dalam membantu remaja yang terlibat dalam Open BO untuk keluar dari situasi tersebut dan memulihkan kesejahteraan psikologis mereka.

Carl Rogers menggarisbawahi bahwa kebutuhan akan cinta dan pengakuan adalah aspek fundamental dalam perkembangan manusia, dan tanpa itu, individu dapat merasa terasing serta kehilangan arah.

Dalam konteks pemulihan, pendekatan berbasis empati, komunikasi terbuka, serta lingkungan yang aman memungkinkan remaja untuk membangun kembali harga diri mereka, merefleksikan pengalaman yang dialami, serta mengembangkan identitas yang lebih sehat.

Oleh karena itu, dukungan keluarga, pendidik, serta komunitas menjadi elemen krusial dalam proses rehabilitasi psikologis dan sosial mereka.

Sebagai catatan akhir, pendekatan yang berbasis teori psikologi menjadi kunci dalam pencegahan dan intervensi terhadap fenomena Open BO.

Pendidikan seksual yang komprehensif berperan dalam membentuk pemahaman yang sehat tentang seksualitas dan hubungan, sementara pengawasan online dapat membantu meminimalisir paparan terhadap risiko eksploitasi digital.

Selain itu, dukungan emosional dan perhatian dari keluarga, pendidik, serta komunitas sangat penting dalam memulihkan remaja dari dampak psikologis yang mereka alami.

Dengan strategi yang holistik dan berbasis edukasi, perlindungan, serta rehabilitasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perkembangan remaja dan mencegah mereka terjerumus dalam perilaku berisiko.