Oleh: Florentina Ina Wai
Di hamparan kehidupan, kutemui sehelai bunga yang gugur sebelum sempat mekar—seperti nyala api yang padam sebelum sempat menghangatkan dunia.
Mereka menggantungkan harapan pada matahari yang samar, berlayar di lautan tanpa arah, mencari tepian yang tak pernah pasti.
Aku melihat mereka—perempuan-perempuan yang menggantungkan diri pada cinta yang tidak mengakar, pada janji yang sehalus angin dan selembut bayang-bayang.
Mereka seperti daun yang melayang tanpa tujuan, tertiup takdir yang tak pernah berpihak.
Aku ingin menyentuh hati mereka, membisikkan bahwa mereka adalah cahaya yang tak bergantung pada siapa pun.
Bahwa mereka adalah keindahan, seperti matahari yang tak meminta izin untuk bersinar.
Bahwa mereka dapat berdiri tegak, mengakar, dan tumbuh seperti pohon yang menghunjam bumi dengan kokoh—tanpa perlu bersandar pada angin yang tak setia.
Aku ingin menjadi pelangi di langit mereka, menggoreskan warna dalam hidup yang sempat memudar.
Aku ingin menjadi angin yang lembut, menyentuh luka mereka dengan kesejukan. Aku ingin menjadi sahabat, mendengar bisikan mereka yang tertahan, menggenggam ketakutan mereka yang selama ini tersembunyi di sudut hati.
Seperti seorang ibu yang merangkul anaknya dengan penuh kasih, aku ingin menjadi kehangatan yang membisikkan harapan.
Malam itu, langit dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip di samudra kelam. Angin berbisik pelan di telingaku, membawa cerita dari hati yang terluka.
Aku ingin menjadi cahaya, membimbing mereka keluar dari kegelapan dan menuju terang.
Bunga yang layu bukan tak bisa kembali hidup—ia hanya perlu tanah yang baru, air yang tulus, dan cahaya yang penuh kasih. Mereka dapat kembali mekar, menjadi harum, menjadi keindahan yang tak lagi rapuh.
Mereka dapat berdiri tegak seperti pohon yang menantang badai. Aku ingin mereka tahu bahwa kekuatan itu sudah ada dalam diri mereka—sejak awal, sejak lahir, sejak pertama kali mereka bermimpi tentang dunia.
Dan aku tahu, aku tidak sendirian. Ada banyak perempuan lain yang ingin menyalakan lentera bagi mereka yang tersesat. Bersama, kita bisa menjadi cahaya di jalan yang redup, kehangatan bagi hati yang dingin, dan harapan bagi jiwa yang hampir menyerah.
Kita bisa membuat perbedaan. Kita bisa membantu mereka bangkit. Kita bisa menjadi pelangi di langit mereka, mengubah senja menjadi fajar, menjadikan air mata sebagai embun yang menyegarkan. Kita bisa menjadi angin, menyapu rasa putus asa, menggantinya dengan keberanian.
Dan aku percaya—kita akan melakukannya. Karena kita tak sekadar ada. Kita adalah keberanian yang bangkit dari luka, harapan yang tumbuh dari abu, bunga yang akhirnya mekar setelah melewati gelapnya malam.
Tinggalkan Balasan