Kajian Ilmu Komunikasi pada Peringatan Hari Komunikasi Sedunia 2025

Oleh: Dr. Jonas Klemens Gregorius Dori Gobang, S.Fil.,M.A.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa

Buku Modul Pokok Kuliah Komunikasi Antarpribadi (Modul 1-9) yang ditulis oleh Dr. Jenny Ratna Suminar, M.Si telah memberikan inspirasi bagi saya untuk melihat secara khusus namun ringkas tentang relasi diri atau pribadi antara “Aku” dan “Yang Lain” (Yang Bukan Aku). Relasi ini secara filosofis disebut sebagai relasi intersubyektivitas.

Artinya “Aku” dan “Yang Lain” saling mengada dan saling memaknai satu terhadap yang lain. Filsuf Reně Descartes (1596-1660) menyebut manusia sebagai mahkluk yang selalu berkomunikasi dan merasa “ada” sebagai manusia karena keyakinan diri akan keberadaannya (Cogito ergo sum = saya berpikir maka saya ada) (Suminar, 2013: 14).

Manusia menjadi diri (pribadi/person) dengan mengembangkan relasi “aku” dan “yang lain” dalam satu dunia yang sama (baca: komunikasi antarpribadi).

Manusia dapat berdiri sendiri sebagai satu pribadi yang unik tetapi dalam relasinya dengan “yang lain” baik dengan manusia lain (human) maupun dengan yang bukan manusia (alam, lingkungan, tumbuhan, binatang atau mahkuk infrahuman).

Relasi antara “aku” dan “yang lain” adalah relasi subyek – subyek (intersubyektivitas). Relasi ini akan saling mengada dan saling memaknai.

Sebaliknya relasi tersebut akan bersifat destruktif apabila hubungannya adalah subyek – obyek atau obyek – obyek (relasi yang menegasikan yang lain atau relasi yang saling menegasikan satu terhadap yang lain).

Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi Antarpribadi sebagai sebuah disiplin ilmiah yang dipelajari di kampus memberikan banyak hal, tidak hanya definisi tetapi juga komponen dan kriteria serta media/alat yang memediasi (EMIC) tentang bagaimana membangun hubungan antarpribadi yang saling mengada dan saling memaknai.

Komunikasi Antarpribadi merupakan suatu proses sosial di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi dengan berbagai model dan simbol baik verbal maupun non-verbal (Suminar, 2013: 61-72). Komponen yang penting di sini adalah proses, pertukaran pesan dan makna bersama (West dan Turner dalam Suminar, 2013: 15).

Komunikasi Antarpribadi akan membantu kita untuk menemukan diri kita sebagai “aku” (subyek) yang dapat berkembang sebagai pribadi berkat relasi dengan “yang lain”. Apabila “aku” semakin menjadi pribadi, maka aku juga semakin memperkembangkan relasi-relasi dengan “yang lain” (Snijders, 2004: 94).

Manusia adalah mahkluk paradoksal. Sumber tindakanku berasal dari diriku sendiri, tetapi aku membutuhkan sesama untuk menjadi seseorang yang otonom.

Aku menjadi dewasa yang bertanggungjawab dengan pertolongan sesama.

Melalui interaksi dengan sesama, aku menjadi pribadi yang unik dan bebas serta ikut menciptakan suasana di mana orang lain pun dapat menjadi pribadi yang unik dan bebas pula.

Teknologi Komunikasi

Berbicara tentang arus kemajuan teknologi komunikasi, kita tentu akan mengacu kepada pandangan dari berbagai ahli yang secara sadar ingin mengupas tentang sejauh mana pengaruh teknologi itu bagi manusia.

Tentu saja ada banyak perspektif yang boleh disimak dari aneka konsep dan pendapat serta teori tentang komunikasi. Namun penulis ingin mengungkapkan bahwa dari sekian pandangan yang ada, secara common sense, penulis melihat adanya ambiguitas teknologis, artinya di satu sisi teknologi itu sebagai hasil cipta atau karsa manusia dan berguna bagi manusia, namun di sisi lain teknologi itu sebagai satu entitas (alter human) yang mampu mengirasionalkan manusia.
Kajian ini sesungguhnya ingin merefleksikan sejauh mana manusia memposisikan dirinya atau bagaimana posisi yang tepat bagi manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi agar ia tidak terjebak dan terjerumus dalam dua tegangan dari ambiguitas teknologis tersebut.

Sebab pada dasarnya manusia harus tahu posisinya yang jelas berhadapan dengan berbagai kemajuan dunia di antaranya kemajuan teknologi komunikasi.

Karena secara filosofis, manusia akan mengalami “penderitaan” jika teralienasi oleh ambiguitas teknologis.

Manusia seolah terus berjalan sambil “mengangkangi dua dunia”. Manusia secara etis-humanis harus mampu memilih yang terbaik bagi dirinya dan keturunannya.

Untuk melengkapi refleksi atas diri manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi ini, kita sejenak melihat pendapat beberapa ahli yang secara metodis akademis telah membuat studi ilmiah perihal media dan teknologi komunikasi.

Sandra Ball Rokeach dan  Melvin DeFleur misalnya menjelaskan pemanfaatan media sebagai alat dalam teori ketergantungan media (Media Dependency Theory).

Menurut teori ini, orang menggunakan media dengan berbagai alasan. Media adalah alat yang dipakai untuk mendapatkan informasi, hiburan dan untuk membangun relasi sosial. Peran media menjadi sangat penting.

Namun media tetap menjadi instrumen (alat) yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi, hiburan dan relasi sosial (Liliweri, 2002).

Lain lagi dengan apa yang dijelaskan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam Media Equation Theory (1996). Dalam teori tersebut mereka menjelaskan: “This theory predicts why people respond unconsciously and automatically to communication media as if it were human.”

Teori ini memprediksikan bagaimana manusia pada suatu tahapan dalam membangun komunikasi akan secara tidak sadar dan spontan menganggap media seolah-olah sebagai manusia. Media bukan menjadi “alat” lagi tetapi seolah-olah menjadi seperti manusia (alter human).

Peringatan Hari Komunikasi Sedunia tahun 2025 juga merefleksikan relasi dialektis antara manusia dengan sesamanya manusia, juga relasi dialektis antara amnesia dengan alam lingkungan tempat ia hidup.

Manusia sesungguhnya perlu mengembangakan relasi subyek – subyek antara dirinya dengan yang lain, baik sesame manusia maupun yang infra-human atau makhluk hidup lainnya yang bukan manusia bahkan relasinya dengan benda-benda di sekelilingnya agar dunia tetap menjadi kosmos yakni tempat hidup yang indah, aman dan damai bagi semua.***