Oleh: Goldy Ogur

Alumnus Institut Filsafat dan
Teknologi Kreatif Ledalero, NTT

Proyek geotermal mulai dijalankan di berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT), disebabkan oleh pemerintah dan investor yang menegaskan bahwa itu merupakan wujud pembangunan berkelanjutan, energi bersih, dan jawaban atas krisis iklim.

Namun masyarakat di sekitar wilayah tak henti-hentinya melakukan demonstrasi, penolakan, dan gugat. Tanah dan beserta masyarakat dirampas, dan dicaplok tanpa dialog.

Apa yang disebut pembangunan berkelanjutan menurut pemerintah dan investor, bagi masyarakat adat bisa terasa sebagai bentuk perampasan. Di sinilah letak paradoks geotermal di NTT.

Ilusi Janji Pembangunan

Setiap kali sebuah proyek besar hadir dengan janji “pembangunan”, sering kali kita lupa bertanya: pembangunan untuk siapa dan seperti apa? Apakah pembangunan itu menyejahterakan yang selama ini tertinggal, atau justru memperluas ketimpangan dengan cara baru yang lebih halus?

Geotermal, sebagai energi terbarukan, tentu memiliki potensi besar. Namun, ketika pelaksanaannya menyingkirkan dan merampas masyarakat lokal, merusak ekosistem, dan mengabaikan hak-hak adat, maka pembangunan itu bukan lagi sebuah kemajuan, melainkan wajah baru kolonialisme.

Ia datang bukan membawa keadilan ekologis, melainkan logika ekonomi pasar yang mengeruk dan menghancurkan keutuhan ekologis, membungkam nilai-nilai lokal dan mendesakralkan yang kultural-spiritual.

Dalam konteks ini, istilah “perampasan” bukan sekadar retorika emosional. Ia mencerminkan realitas di mana tanah leluhur—yang diwariskan dengan penuh hormat dari generasi ke generasi—diambil alih demi kepentingan yang tidak sepenuhnya dijelaskan kepada warga.

Skema perizinan sering tumpang tindih, tidak transparan, dan minim partisipasi yang bermakna.

Perampasan ini bahkan lebih menyakitkan karena dibalut dalam narasi “kebaikan”—bahwa proyek dilakukan demi listrik pada tingkat daerah, demi pembangunan nasional, demi planet yang lebih hijau.

Tapi masyarakat lokal tak mendapat ruang untuk menentukan: apa arti “baik” bagi mereka?

Melawan Cara Pandang yang Memisahkan

Filsuf Prancis, Bruno Latour, dalam gagasannya tentang actor-network theory, mengkritik cara pandang modern yang memisahkan manusia dan alam

Dalam paradigma dominan saat ini, alam hanyalah objek yang bisa dikelola, dieksploitasi, dan diukur.

Geotermal pun dilihat semata sebagai sumber daya yang harus dimaksimalkan, bukan sebagai bagian dari lanskap hidup yang memiliki hak untuk dihormati.

Pandangan ini diperkuat oleh kritik Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology, bahwa teknologi modern menjebak manusia dalam cara berpikir instrumentalis—di mana segala sesuatu, termasuk tanah dan manusia, diperlakukan sebagai “alat” belaka, bukan “sesama” dalam keberadaan.

Masyarakat adat memiliki pandangan yang berlawanan. Bagi mereka, alam bukan “sumber daya”, melainkan “sumber kehidupan”—sebuah relasi yang tak terpisahkan antara manusia, tanah, roh-roh leluhur, dan generasi mendatang.

Inilah filsafat ekologis yang tumbuh dari tanah itu sendiri—lebih tua dari filsafat Eropa manapun—yang kini terancam disingkirkan oleh proyek-proyek berbalut kemajuan.

Vandana Shiva, dalam tulisannya tentang earth democracy, menyebut bahwa krisis ekologis terbesar saat ini bukan hanya soal teknologi atau emisi karbon, melainkan krisis relasi antara manusia dan alam.

Kita kehilangan rasa hormat terhadap tanah, dan menganggap segala sesuatu bisa diganti, dibeli, atau dijual. Padahal tidak ada pengganti untuk hutan adat atau mata air leluhur.

Ketika mereka hilang, yang hilang bukan hanya ekosistem, tapi juga sejarah, identitas, dan masa depan komunitas.

Seruan yang senada datang dari Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’, yang menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah krisis moral dan spiritual.

“Bumi, rumah kita, mulai tampak lebih seperti tumpukan kotoran daripada taman,” tulisnya. Paus menyerukan ekologi integral—sebuah pendekatan yang menggabungkan keadilan sosial dengan keutuhan ciptaan.

Dalam konteks geothermal di NTT, ini berarti tidak bisa ada “pembangunan berkelanjutan” jika masyarakat disingkirkan dan alam dihancurkan.

Pembangunan yang Memanusiakan

Pembangunan seharusnya memuliakan manusia—bukan justru mengorbankan martabat dan hak-haknya atas nama kemajuan.

Ketika proyek geothermal hadir di NTT tanpa keterlibatan utuh masyarakat lokal, kita melihat pola pembangunan yang lama dalam bungkus baru: sentralistik, teknokratis, dan meminggirkan komunitas sebagai pelengkap belaka.

Proyek-proyek ini sering mengklaim telah melakukan sosialisasi dan konsultasi publik, namun pada praktiknya lebih mirip monolog daripada dialog.

Masyarakat tidak diberikan waktu, ruang, dan informasi yang cukup untuk membuat keputusan sadar.

Bahkan ketika ada penolakan, suara itu dianggap hambatan, bukan sebagai panggilan untuk refleksi.

Inilah yang dikritik oleh Ivan Illich, filsuf dan kritikus sosial asal Austria, dalam gagasannya tentang counterproductivity —bahwa institusi modern sering kali menjadi kontraproduktif ketika mereka mengambil alih proses kehidupan yang sebelumnya dikuasai oleh komunitas.

Ketika pembangunan dipaksakan dari luar, ia tidak hanya menghapus kedaulatan komunitas, tapi juga mematikan kreativitas dan daya hidup lokal.

Pembangunan yang memanusiakan mestinya lahir dari bawah, bersifat dialogis, dan menghormati nilai-nilai komunitas yang sudah teruji dalam menjaga relasi harmonis dengan alam.

Dalam konteks NTT, ini berarti memberi tempat utama pada hukum adat, prinsip musyawarah, dan pandangan spiritual masyarakat tentang tanah dan alam.

Jika pembangunan justru menghancurkan ruang hidup, merusak sumber air, atau menciptakan ketakutan, maka yang dibangun bukanlah peradaban, melainkan luka kolektif.

Luka yang tak mudah dipulihkan dengan kompensasi uang atau janji infrastruktur.
Filsuf Emmanuel Levinas berbicara tentang etika sebagai “wajah yang lain”—kewajiban etis kita dimulai ketika kita berhadapan dengan wajah sesama, khususnya mereka yang rentan dan terpinggirkan.

Dalam konteks geotermal, pembangunan harus bertolak dari wajah masyarakat lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan alam. Jika kita buta terhadap wajah-wajah itu, maka pembangunan kehilangan nurani.
Menyalakan Keadilan

Retorika menyalakan negeri atau membawa terang ke desa-desa memang menarik, namun terlalu sering menjadi pengalihan dari kenyataan bahwa banyak masyarakat justru kehilangan kontrol atas tanah dan alamnya setelah proyek dimulai.

Ya, listrik mungkin menyala, tapi bagaimana dengan keadilan? Keadilan yang dimaksud di sini bukan hanya soal pembagian keuntungan atau kompensasi materi. Ini tentang keadilan historis, ekologis, dan kultural.

Proyek geotermal di NTT menyentuh wilayah-wilayah yang secara historis telah berabad-abad dijaga oleh komunitas adat.

Mengubah tanah leluhur menjadi lokasi industri tanpa persetujuan tulus adalah bentuk kekerasan simbolik dan ekologis yang tak bisa dihapus dengan CSR atau pembangunan jalan desa.

Kita perlu bertanya: mengapa masyarakat yang menjaga hutan disebut “penghambat pembangunan”? Mengapa suara yang mempertahankan alam disebut “anti kemajuan”? Ini adalah bentuk pembalikan logika yang menindas.

Dalam logika seperti ini, siapa pun yang mempertanyakan proyek besar dicap irasional atau mengganggu kepentingan umum, padahal merekalah penjaga keseimbangan yang sebenarnya.

Filsuf ekofeminis seperti Val Plumwood mengingatkan bahwa dominasi terhadap alam sering berjalan seiring dengan dominasi terhadap kelompok rentan—perempuan, komunitas adat, dan kelas bawah.

Proyek geotermal yang tidak sensitif terhadap relasi kuasa ini berisiko memperkuat ketidakadilan struktural yang selama ini melukai wilayah timur Indonesia.

Menyalakan keadilan berarti memberi ruang bagi suara-suara kecil. Berarti memastikan bahwa mereka yang terdampak punya hak untuk menolak, untuk bertanya, untuk menentukan sendiri masa depannya.

Ini lebih penting dari sekadar menyuplai energi ke jaringan listrik nasional. Karena listrik bisa dinyalakan oleh mesin, tetapi keadilan hanya bisa dinyalakan oleh nurani.

Keadilan bukan produk sampingan dari pembangunan. Ia harus menjadi fondasi utamanya. Jika geothermal di NTT ingin menjadi proyek yang berkelanjutan secara moral dan sosial, maka ia harus dibangun bukan hanya dengan tenaga, tapi juga dengan empati, refleksi, dan penghormatan terhadap kehidupan yang sudah lebih dulu ada di sana.

Kita sedang hidup di tengah krisis iklim global. Energi bersih memang penting. Tapi dalam upaya menyelamatkan planet, jangan sampai kita merusak komunitas. Jangan sampai demi “menyalakan listrik hijau”, kita justru memadamkan keadilan.

Geotermal di NTT bisa jadi contoh
pembangunan yang adil dan lestari—jika ia berangkat dari dialog, dari kearifan lokal, dan dari penghormatan terhadap tanah sebagai sesama.

Tapi jika tidak, maka kita harus berani menyebutnya bukan sebagai pembangunan, melainkan bentuk baru perampasan.

Kita tidak sedang anti-teknologi. Kita sedang memperjuangkan kemanusiaan. Sebab masa depan yang kita inginkan bukan hanya yang bertenaga, tapi yang beradab.