Oleh: Yosef Valdo Leso

Mahasiswa semester II IFTK Ledalero

Salah satu fenomena yang mewarnai transformasi global sejak abad ke-20 hingga saat ini adalah meningkatnya tuntutan terhadap demokrasi, khususnya di negara-negara berkembang.

Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa demokrasi merupakan sistem yang mampu menjamin keteraturan publik sekaligus mendorong transformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya menuju struktur yang lebih ideal—lebih manusiawi, egaliter, dan berkeadilan (Umaridin Masdar, 1999).

Demokrasi adalah sistem politik yang paling diminati oleh masyarakat karena dianggap mampu membawa perubahan kompleks dalam tatanan kehidupan. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi.

Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos atau kratein (pemerintahan). Dalam pengertian modern, demokrasi dapat dirumuskan sebagai sistem politik atau pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) (Wiliam Ebestein, 1998).

Hilangnya Panggung Aspirasi Rakyat dalam Demokrasi

Indonesia menganut sistem demokrasi karena merupakan negara yang berdaulat dan memiliki masyarakat yang multikultural.

Tujuan utama demokrasi adalah menolak konsep pemerintahan monarki atau otoriter yang dipimpin oleh satu orang.

Demokrasi juga menjamin hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, berpendapat, dan memperoleh perlindungan dari negara.

Namun demikian, dalam realitasnya, rakyat semakin kehilangan panggung untuk menyampaikan aspirasi dalam ranah demokrasi. Hilangnya ruang tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami berbagai krisis, antara lain:

Pertama, krisis hakikat demokrasi, di mana demokrasi yang seharusnya menjadi wadah perubahan justru kehilangan esensinya. Unjuk rasa dari masyarakat melakukan demonstrasi  secara terus-menerus mau menunjukkan bahwa demokrasi telah mati dan keluar dari relnya.

Kedua, krisis kepemimpinan, di mana para pemimpin lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok dibanding kesejahteraan rakyat. Hal demikian dapat dilihat dari kasus korupsi yang semakin hari semakin menjadi isu krusial dalam ranah kepemerintahan.

Ketiga, krisis kesejahteraan, akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Keempat, krisis konsistensi hukum, di mana hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Revisi Undang-undang dari tahun ke tahun, namun implementasi dari hukum masih jauh dari kata optimal.

Hal demikian dapat dilihat dari kasus yang sering terjadi seperti  korupsi, kolusi, dan  nepotisme serta praktik lainnya.

Kasus-kasus ini menjadi hal yang marak di perbincangkan dalam kalangan masyarakat. Terjadinya kasus ini mau menunjukkan para pemegang tambuk kekuasaan masih belum konsisten.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia telah menjamin hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Yosi Yusandra, 2021).

Namun, meskipun terdapat legalitas hukum yang kuat, kenyataannya aspirasi rakyat sering kali diabaikan oleh pemerintah dan elit politik.

Aspirasi merupakan kritik, masukan, serta harapan rakyat terhadap pemerintah dan lembaga terkait. Tujuan aspirasi adalah untuk menguji kualitas demokrasi dan hukum sebagai pedoman. Tanpa aspirasi kualitas demokrasi dan hukum akan terlihat kumpul.

Ada berbagai cara untuk menyampaikan aspirasi, seperti melalui media sosial, pertemuan langsung (face to face), atau melalui perwakilan rakyat yang duduk di pemerintahan.

Sayangnya, banyak dari perwakilan rakyat justru mengabaikan aspirasi masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Aspirasi menjadi alas kaki kaum elit politik. Masa depan bangsa menjadi suram, membuat anak-anak bangsa melarat.

Anomali dalam Demokrasi dan Politik Elit

Dalam bukunya Membaca Pikiran, Amien Rais dan Gus Dur tentang Demokrasi, Amien Rais mengungkapkan bahwa salah satu akar persoalan sosial dan politik adalah disfungsionalnya kekuasaan akibat tidak berjalannya regenerasi politik yang sehat.

Hal ini menyebabkan berbagai masalah seperti kesenjangan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme, serta praktik politik yang tidak etis.

Saat ini, praktik politik kotor semakin marak terjadi, seperti politik uang (money politics), politik identitas, serta janji-janji kampanye yang tidak ditepati.

Akibatnya, muncul asumsi bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami keterpurukan.

Demokrasi kehilangan esensinya sebagai sistem yang menjamin aspirasi rakyat, sementara praktik politik justru menunjukkan bahwa negara ini mengalami krisis moralitas dan kepemimpinan.

Partai politik, yang seharusnya menjadi wadah perjuangan rakyat, justru berubah menjadi alat kompetisi bagi para elit untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Jika melihat hakikatnya, partai politik adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela dengan tujuan memperjuangkan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum (Umi Zuhriyah, 2022).

Namun, dalam praktiknya, partai politik lebih berorientasi pada kepentingan kelompok dan persaingan internal dibanding menjalankan fungsi utamanya sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Secara leksikal, kader politik merujuk pada individu yang memegang peran penting dalam pemerintahan dan partai politik.

Kader politik seharusnya menjadi mediator antara rakyat dan penguasa.

Namun, dalam realitas politik saat ini, kader partai justru sering memanfaatkan posisinya untuk meraih keuntungan pribadi.

Contoh nyata dari tidak dijalankannya aspirasi rakyat adalah: pertama, kurangnya pembangunan  infrastruktur di daerah terpencil, yang menyebabkan ketimpangan pembangunan.

Kedua, minimnya akses pendidikan, padahal pendidikan merupakan fondasi utama dalam menciptakan masyarakat yang intelektual dan bermartabat.

Ketiga, keterbatasan akses listrik (PLN) di beberapa wilayah, yang menghambat perkembangan ekonomi masyarakat.

Rakyat semakin sadar bahwa demokrasi saat ini lebih berpihak kepada pemilik modal dan bukan kepada rakyat.

Demokrasi yang seharusnya menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat kini justru dikendalikan oleh elit politik dan partai-partai besar. Siapa yang memiliki modal dan suara terbanyak, dialah yang berkuasa.

Demokrasi Indonesia saat ini mengalami pergeseran dari konsep yang sesungguhnya.

Kekuasaan yang seharusnya berada di tangan rakyat kini dikendalikan oleh elit politik dan pemilik modal.

Rakyat kehilangan panggung aspirasi karena suara mereka tidak lagi didengar. Sebagai generasi penerus, pemuda harus berani bersuara dan mengkritisi kondisi ini.

Demokrasi harus dikembalikan kepada esensinya yang sejati, yaitu menjadi media untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka demokrasi hanya akan menjadi slogan tanpa makna—sekadar formalitas tanpa substansi.