Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Di balik popok dan tumpukan mainan, balita menyimpan cara pandang yang jujur dan murni terhadap dunia, bertanya tanpa takut, tertawa tanpa alasan, dan menangis tanpa pura-pura.

Kebijaksanaan mereka terletak pada keberanian untuk merasakan sepenuhnya dan mempertanyakan segalanya, sesuatu yang sering hilang seiring bertambahnya usia.

Alison Gopnik memperkenalkan konsep The Philosophical Baby bahwa bayi dan anak-anak bukanlah makhluk pasif yang hanya belajar secara mekanis, melainkan individu dengan kapasitas luar biasa untuk berpikir.

Inti dari konsep The Philosophical Baby adalah anak berpikir, merasa, bertanya sejak dini, memahami, dan bahkan merenung secara filosofis tentang dunia di sekitar mereka.

Gopnik, seorang psikolog perkembangan, menunjukkan bahwa bayi memiliki kemampuan belajar yang sangat canggih;
Bayi dan anak kecil  menggunakan metode yang menyerupai eksperimen ilmiah dan pemikiran abstrak, seperti menguji hipotesis, membuat prediksi, dan memahami sebab-akibat.

Dengan kata lain, anak-anak kecil adalah “filosof mini” yang aktif mengeksplorasi realitas, membentuk teori tentang pikiran, moralitas, dan keberadaan, sering kali dengan cara yang lebih terbuka dan fleksibel dibandingkan orang dewasa.

Konsep ini menantang pandangan tradisional yang meremehkan kapasitas intelektual bayi dan menempatkan mereka sebagai pusat penting dalam pemahaman tentang pembelajaran, kesadaran, dan bahkan esensi manusia itu sendiri.

Tujuh Alasan

Menurut Alison Gopnik, ada tujuh alasan pokok mengapa bayi atau anak kecil sering tidak dilihat sebagai filsuf, meskipun mereka sebenarnya menunjukkan kapasitas berpikir yang mendalam.

Pertama, ada anggapan budaya bahwa bayi dan anak-anak belum matang secara intelektual dan emosional, sehingga dianggap belum mampu berpikir secara abstrak atau filosofis.

Kedua, perkembangan bahasa yang masih terbatas membuat anak-anak sulit mengungkapkan ide-ide kompleks yang sebenarnya mereka miliki, sehingga orang dewasa cenderung meremehkan kedalaman pemikiran mereka.

Ketiga, fokus utama orang dewasa terhadap kebutuhan fisik anak seperti makan, tidur, dan keamanan, membuat sisi kognitif dan filosofis anak sering kali diabaikan.

Keempat, ilmu psikologi perkembangan tradisional lebih banyak menekankan pada apa yang belum bisa dilakukan anak dibandingkan pada apa yang sudah mereka kuasai, sehingga menciptakan kesan bahwa anak-anak lebih inferior secara kognitif.

Kelima, adanya perbedaan cara berpikir antara anak dan orang dewasa yang lebih intuitif dan imajinatif pada anak, membuat pemikiran mereka tidak selalu dikenali sebagai bentuk rasionalitas.

Keenam, sistem pendidikan formal yang menekankan hafalan dan standar menghambat ekspresi eksploratif dan reflektif alami yang dimiliki anak-anak.

Ketujuh, masyarakat cenderung mengaitkan filsafat dengan bahasa formal dan logika orang dewasa, sehingga tidak mampu mengenali bentuk pemikiran filosofis yang unik dan nonverbal pada anak-anak.

Gopnik berargumen bahwa ketujuh alasan ini telah menutup mata kita terhadap potensi intelektual anak sebagai “filosof mini” yang luar biasa.

Strategi Guru dan Orangtua

Menurut Alison Gopnik, terdapat sembilan strategi yang dapat diterapkan oleh guru dan orang tua hebat untuk melihat dan mendukung anak atau bayi sebagai “filosof mini” yang memiliki potensi berpikir kritis dan reflektif sejak dini.

Pertama, mereka harus bersikap penuh rasa ingin tahu dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan anak, tidak langsung memberikan jawaban tetapi mendorong eksplorasi dan pemikiran lebih lanjut.

Kedua, menciptakan lingkungan yang kaya stimulasi dan bebas dari tekanan berlebihan, sehingga anak merasa aman untuk bereksperimen dan mengungkapkan ide-ide mereka tanpa takut salah.

Ketiga, mengamati dengan cermat dan menghargai cara anak belajar serta berpikir secara alami, daripada memaksakan metode pembelajaran yang kaku dan seragam.

Keempat, memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan percobaan dan menguji hipotesis mereka sendiri dalam kegiatan sehari-hari, sehingga proses belajar menjadi aktif dan kontekstual.

Kelima, mendorong dialog dua arah yang penuh rasa hormat, di mana anak merasa didengar dan dihargai pendapatnya.

Keenam, mengajarkan anak cara berpikir kritis dengan membimbing mereka untuk menganalisis sebab-akibat dan mempertanyakan asumsi.

Ketujuh, memperkuat kemampuan refleksi diri anak melalui aktivitas yang menstimulasi kesadaran tentang pikiran dan perasaan mereka sendiri.

Kedelapan, memfasilitasi pengalaman sosial yang memungkinkan anak memahami perspektif orang lain dan membangun empati.

Kesembilan, guru dan orang tua hebat juga harus terus belajar dan berkembang, menjadi model yang menunjukkan bahwa belajar dan berpikir kritis adalah proses sepanjang hayat.

Dengan menerapkan strategi-strategi ini, anak-anak dapat berkembang menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga bijaksana dan kreatif dalam menghadapi dunia.

Implikasinya

Konsep The Philosophical Baby memberikan implikasi penting terhadap sistem pendidikan modern di abad ke-21, terutama dalam cara kita memahami potensi anak-anak dalam proses belajar.

Gagasan bahwa bayi dan anak-anak memiliki kapasitas berpikir yang mendalam, eksperimental, dan reflektif menuntut perubahan paradigma pendidikan: dari pendekatan yang kaku dan seragam menjadi lebih fleksibel, eksploratif, dan berpusat pada peserta didik.

Hal ini menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang menghargai rasa ingin tahu, kreativitas, dan kemampuan anak untuk berpikir kritis sejak usia dini.

Sistem pendidikan modern perlu mengakui bahwa anak bukan hanya objek pendidikan, tetapi subjek aktif yang mampu membentuk makna dan pengetahuan mereka sendiri.

Dalam manajemen ruang kelas, implikasinya adalah perlunya menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi dan kebebasan intelektual.

Kelas seharusnya tidak lagi dipandang sebagai ruang yang diatur secara hierarkis dan statis, melainkan sebagai ekosistem dinamis yang mendorong kolaborasi, partisipasi, dan penemuan.

Ruang kelas yang baik harus memungkinkan anak-anak untuk bergerak bebas, berinteraksi satu sama lain, dan mengakses beragam sumber belajar sesuai minat mereka.

Guru berperan bukan sebagai pusat otoritas tunggal, tetapi sebagai fasilitator yang membimbing proses belajar anak berdasarkan kebutuhan dan potensi unik masing-masing individu.

Dalam proses pembelajaran, pendekatan yang didasarkan pada The Philosophical Baby menuntut metode yang aktif dan konstruktif, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), inkuiri, dan eksplorasi terbuka.

Anak-anak harus diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, mengembangkan hipotesis, melakukan eksperimen, dan merefleksikan temuan mereka, mirip dengan cara ilmuwan bekerja.

Proses pembelajaran ini menghargai kesalahan sebagai bagian dari proses berpikir, mendorong dialog dan pemecahan masalah bersama, serta memperkuat keterampilan metakognitif.

Guru dituntut untuk lebih responsif terhadap minat dan ide-ide anak, bukan sekadar menyampaikan kurikulum secara linier.

Dalam hal penilaian atau assessment, pendekatan tradisional yang menitikberatkan pada tes standar dan skor kuantitatif menjadi kurang relevan.

Sebaliknya, penilaian autentik yang menilai proses berpikir, kreativitas, dan perkembangan konseptual anak menjadi lebih penting.

Penilaian formatif yang berkelanjutan, refleksi diri, portofolio, observasi, dan dokumentasi pembelajaran merupakan cara-cara yang lebih tepat untuk mengukur kemajuan anak sesuai dengan semangat The Philosophical Baby.

Sistem penilaian ini juga membantu guru dan orang tua memahami bagaimana anak-anak berpikir dan belajar, bukan sekadar apa yang mereka tahu.

Secara keseluruhan, The Philosophical Baby mengajak kita untuk merekonstruksi sistem pendidikan agar lebih menghargai potensi intelektual anak-anak sejak dini.

Ini berarti menyusun ulang strategi pengelolaan kelas, metode pengajaran, dan sistem evaluasi agar sesuai dengan cara alami anak-anak dalam belajar, yakni lewat eksplorasi, eksperimentasi, dan refleksi.

Di abad ke-21, ketika kreativitas, pemikiran kritis, dan kemampuan adaptif menjadi kunci keberhasilan, pendekatan pendidikan yang berpijak pada filosofi ini menjadi semakin relevan dan mendesak untuk diterapkan.

Pengamat yang Peka

Pemahaman guru terhadap potensi anak secara holistik merupakan fondasi penting dalam pendidikan modern.

Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang membantu peserta didik tumbuh sesuai dengan potensi alaminya.

Konsep ini menuntut guru untuk memperhatikan berbagai aspek perkembangan anak (kognitif, emosional, sosial, fisik, dan moral)  bukan sekadar capaian akademis semata.

Howard Gardner menekankan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang beragam, dan guru perlu memahami keunikan ini agar pembelajaran menjadi bermakna.

Dengan begitu, guru bisa menciptakan pendekatan pembelajaran yang bersifat personal dan responsif terhadap kebutuhan individu.

Konsep The Philosophical Baby yang diperkenalkan oleh Alison Gopnik  mengafimasi bahwa bayi dan anak kecil bukanlah makhluk pasif yang harus “diisi” dengan pengetahuan, melainkan pemikir aktif yang sejak dini telah memiliki rasa ingin tahu, empati, dan kemampuan berfilsafat.

Gopnik menunjukkan bahwa anak-anak memproses dunia di sekitar mereka dengan cara yang sangat kompleks dan mendalam.

Oleh karena itu, guru dan orang tua perlu menciptakan ruang belajar yang memberi kebebasan eksplorasi, mendukung dialog terbuka, dan menumbuhkan rasa ingin tahu anak sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah.

Menerapkan pendekatan ini dalam ruang belajar berarti guru harus menjadi pengamat yang peka terhadap tanda-tanda minat dan kebutuhan anak, serta berani meninggalkan pendekatan seragam yang sering mengabaikan keragaman cara anak belajar.

Dengan memahami potensi anak secara menyeluruh, guru bisa merancang aktivitas pembelajaran yang menstimulasi kemampuan berpikir kritis dan reflektif, sebagaimana dijelaskan Gopnik.

Ruang belajar yang menghargai rasa ingin tahu dan pemikiran orisinal anak tidak hanya menciptakan lingkungan yang inklusif, tetapi juga membentuk anak menjadi pembelajar seumur hidup yang berpikir bebas, etis, dan bermakna.