Oleh: Fransiskus Bustan
Guru Besar Linguistik Universitas Nusa Cendana
Bukan rahasia lagi, sejak Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi dalam keseharian terpilih menjadi presiden ketujuh Indonesia untuk periode 2014-2019, dia hampir selalu dihujani dengan hujatan dan umpatan oleh sekelompok gelandangan politik yang membencinya.
Bentuk hujatan dan umpatan yang dilontarkan terhadap Jokowi begitu menyakitkan ketika disimak karena diwahanai melalui penggunaan kata-kata bernada sarkasme seperti plonga-plongo, ndeso, dungu, bajingan tolol, sampah, dan sederet kata-kata lain yang ensensi isinya menyiratkan penghinaan.
Hujatan dan umpatan yang dikoarkan gelandangan politik pembenci Jokowi itu diduga sebagai residu politik atas kekalahan mereka dalam konstestasi pesta demokrasi pemilihan presiden.
Mengapa? Karena Jokowi, seorang saudagar kayu asal Solo berperawakan kurus yang rekam jejak dan gaung kiprah dalam gelanggang politik tingkat nasional dan internasional belum banyak terdengar, justeru ke luar sebagai pemenang dalam kontestasi pesta demokrasi.
Resapan harapan mendapatkan jabatan tertentu sebagai sumber mata air jika jagoan mereka meraih kemenangan buyar tidak menentu.
Ibarat kambing kebakaran jenggot, kelompok gelandangan politik pembenci Jokowi terus berjingkrak kesana-kemari sembari menebar badai agitasi melalui berbagai bentuk dan cara guna menciptakan kegaduhan politik dengan maksud dan tujuan utama melengserkan Jokowi dari kursi kepresidenan.
Meski mereka mengatasnamakan seluruh lapisan dan kalangan masyarakat Indonesia sebagai tameng perjuangan, mereka tidak mampu melumpuhkan keperkasaan Jokowi dari kursi kepresidenan.
Semakin sering mereka menghujat dan mengumpat Jokowi melalui berbagai platform media komunikasi, keharuman nama Jokowi semakin hari justeru semakin melambung ke seluruh penjuru Indonesia dan bahkan manca negara dengan acungan jempol bertubi-tubi dari sejumlah tokoh dunia.
Mengapa? Karena meski dihujani hujatan dan umpatan setiap saat, Jokowi tetap tenang bekerja keras melalui slogan ‘kerja, kerja, kerja’ demi meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat banyak dan rakyat kebanyakan yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di wilayah Indonesia bagian timur yang selama beberapa dasawarsa hanya menikmati sedikit percikan pembangunan dengan porsi dan nilai rasa kurang memadai dalam aras keadilan dan kemerataan.
Karena begitu banyak kemajuan dan perubahan signifikan di seluruh pelosok Indonesia yang dicapai selama periode pertama masa jabatannya, tidak heran jika Jokowi melenggang bebas mereguk kemenangan dalam kontestasi pesta demokrasi pemilihan presiden Indonesia tahun 2019 untuk periode kedua, 2019-2024.
Berbagai jurus hujatan dan umpatan yang diperagakan kelompok gelandangan politik pembenci Jokowi ternyata tidak mempan menggerogoti kepiawaian Jokowi dalam menakodai Indonesia melalui pendekatan politik bidak.
Jokowi tidak pernah merenspons sepatah katap terhadap hujatan dan umpatan diumbar kelompok pembencinya.
Mengapa? Karena yang menjadi fokus perhatian utama Jokowi adalah kerja keras melalui slogan ‘kerja, kerja, kerja’ demi meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat banyak dan rakyat kebanyakan yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di wilayah Indonesia bagian timur yang selama beberapa dasawarsa hanya menikmati sedikit percikan pembangunan.
Sebagai manusia biasa, Jokowi niscaya merasa kesal dan sakit hati ketika menyimak secara cermat dan saksama hujatan dan umpatan yang dikoarkan gelandangan politik yang membencinya.
Mengapa? Karena mereka menggunakan kata-kata bernada sarkasme yang mengkangkangi kaidah kesantunan berbahasa dalam komunikasi, tidak terkecuali dalam komunikasi politik, dengan tujuan menciptakan kegaduhan politik yang dirayapi konflik berkepanjangan.
Akan tetapi, suatu fenomena unik dan menarik adalah, dengan jurus politik bidak, Jokowi menimpali beragam kicauan gelandangan politik yang membencinya dengan menampilkan sikap diam sehingga semakin hari mereka semakin ketar-ketir bak cacing kepanasan diterpa mentari siang dengan harapan mendapatkan reaksi Jokowi melalui kata-kata.
Ijazah Jokowi sebagai sarjana kehutan jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) diulik dan digoreng mereka sebagai ijazah palsu dengan tujuan merecoki kepercayaan seluruh lapisan dan kalangan masyarakat Indonesia.
Lalu yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah, “Mengapa Jokowi menampilkan sikap diam seribu bahasa terhadap hujatan dan umpatan gelandangan politik yang membencinya?”
Mencermati secara saksama respons Jokowi ketika diungkit awak media untuk memantik reaksinya terhadap hujatan dan umpatan yang begitu gencar dilontarkan gelandangan politik yang membencinya, Jokowi hanya tersenyum dan kemudian diam karena dia tidak mau menguras energi pikiran dalam mengurus masalah sepele tanpa bukti dari kaum sakit hati.
Bagi Jokowi, sebagaimana kata pepatah, speech is silver and silence is golden yang secara leksikal berarti, bicara itu perak dan diam itu emas.
Perak dan emas memang sama-sama termasuk dalam kelompok logam mulia, namun kualitas nilai emas jauh lebih tinggi dari pada kualitas nilai perak sehingga tidak heran jika harga jual emas selalu dipatok jauh lebih tinggi dari pada harga perak di pasaran.
Hujatan dan umpatan yang dikuak gelandangan politik pembenci Jokowi diibaratkan dengan serpihan perak yang meronai dagelan politik tidak bermutu di atas panggung politik Indonesia.
Mereka senang melakukan unjuk rasa tanpa solusi dan bukan unjuk akal demi meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat banyak dan rakyat kebanyakan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI.
Jokowi mengambil sikap diam karena diam sebagai berbicara tanpa kata-kata atau diam sebagai tidak mengatakan sesuatu dipandangnya sebagai jawaban paling baik dalam menengarai kegaduhan politik yang dipertontonkan kelompok sakit hati.
Jokowi bangun Indonesia dengan kerja keras dalam diam karena, bagi Jokowi, kesuksesan pembangunan yang dicapai selama masa jabatannya adalah senjata pamungkas yang membuat kegaduhan politik tandingan dalam menepis badai hujatan dan umpatan yang dilontarkan gelandangan politik pembencinya.
Luar biasa kepiawaian dan kehebatan Jokowi dalam menakodai NKRI selama dua periode jabatannya sebagai presiden ketujuh Indonesia.
Meskipun hujan hujatan dan umpatan menggelegar dengan petir kebencian terhadap diri dan keluarganya setiap saat, Jokowi tetap menampilkan sikap diam karena, bagi Jokowi, bicara itu perak dan diam itu emas.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahan sebagai manusia biasa, sikap diam Jokowi dalam menengarai kegaduhan politik yang diotaki gelandangan politik selama masa jabatannya diibaratkan dengan selentingan serpihan perak residu politik yang hanya sekedar mencari ruang untuk mencoba menantang emas sebagai logam mulia yang memiliki kualitas nilai begitu tinggi di pasaran.
Dengan cara demikian, resapan harapan mereka, Jokowi merasa iba dengan mereka dengan asupan nutrisi kehidupan berupa fulus karena ketika uang berbicara, tidak seorangpun mengecek lagi tata-bahasanya, karena uang mempunyai pengaruh begitu besar terhadap aksi dan keputusan manusia.
Karena memiliki kualitas nilai begitu tinggi seperti emas dalam kepribadiannya, wajar jika Jokowi masih dikagumi bangsa Indonesia meski masa jabatannya sebagai presiden ketujuh Indonesia sudah berakhir pada bulan Oktober tahun kemarin.
Sebagai bukti, rumah kediaman Jokowi di Solo sering disemuti pengunjung dari dalam dan luar negeri yang begitu rindu bertatap muka dan bertukar tutur dengan Jokowi biar cuma sejenak.