Ruteng, Vox NTT – Hendrik Hanu, seorang anggota kepolisian di Polres Manggarai, dilaporkan sebagai salah satu terduga pelaku penganiayaan terhadap wartawan Floresa, Hery Kabut, pada 2 Oktober 2024 lalu.
Peristiwa itu terjadi di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, saat Hery meliput aksi penolakan warga terhadap proyek geotermal.
Hendrik dilaporkan ke Polda NTT atas keterlibatannya dalam kekerasan tersebut.
Setelah menjalani pemeriksaan oleh tim Propam Polda NTT, Hendrik dijadwalkan akan menjalani sidang kode etik yang berlangsung di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Namun, sidang yang semula dijadwalkan pada 20 Februari 2025 terpaksa ditunda karena tim Propam tidak berhasil memperoleh tiket penerbangan dari Kupang ke Ruteng.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada informasi lebih lanjut mengenai penjadwalan ulang sidang tersebut.
Menanggapi hal ini, Pemimpin Umum Floresa, Ryan Dagur mengatakan, sebelum pemberitahuan mengenai sidang etik tersebut, pihaknya menerima lobi melalui telepon dari seorang oknum yang mengaku mewakili keluarga anggota Polres Manggarai.
Oknum tersebut meminta agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan, dengan merujuk pada istilah adat “wunis peheng“, yang merupakan denda adat dalam kebiasaan masyarakat Manggarai terhadap pelaku kekerasan.
Ryan menjelaskan, Floresa masih menyimpan rekaman permintaan tersebut beserta bukti-bukti pesan yang dikirim.
“Karena itu, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan kasus ini,” kata Ryan pada Kamis, 20 Februari 2025.
Menurut dia, upaya lobi tersebut justru menjadi bentuk pengakuan dari pihak polisi bahwa pelaku kekerasan, dalam hal ini Hendrik Hanu, merasa bersalah atas perbuatannya.
Ia menekankan bahwa keputusan untuk melaporkan kasus ini ke Polda NTT bukan semata-mata karena Hery sebagai korban, tetapi demi kepentingan seluruh wartawan yang berpotensi mengalami hal serupa saat meliput di lapangan.
“Jika kami diam, kemerdekaan pers di Manggarai akan terus terancam,” tambah Ryan.
Kuasa Hukum korban Hery Kabut, Ferdinansa Jufanlo Buba, berharap agar sidang etik yang akan dilaksanakan segera memberikan keadilan.
Ia menegaskan, Hendrik Hanu sebagai salah satu terduga pelaku harus mendapat hukuman disiplin yang maksimal sebagai efek jera.
“Ketegasan Propam dalam memberikan sanksi terhadap polisi yang terlibat dalam kekerasan sangat penting untuk memberi pesan bahwa Polri berkomitmen mencegah kejadian serupa di masa depan,” ujar Buba.
Peristiwa penganiayaan pada 2 Oktober 2024 itu menyebabkan Hery mengalami luka di sekujur tubuh.
Selain itu, alat kerjanya dirampas dan diperiksa oleh polisi.
Hery juga disekap dalam mobil polisi selama beberapa jam sebelum akhirnya dibebaskan menjelang malam dalam kondisi yang sangat trauma.
Penulis: Berto Davids