Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Ruang Forensik adalah tempat sunyi namun sakral, di mana ilmu kedokteran bertemu dengan misteri kehidupan dan kematian, serta menjadi ruang kerahiman ilhi bagi tubuh manusia yang dihormati sebagai jejak terakhir gambar dan citra Allah.
Jumat, 25 April 2025 siang pkl 12.00 sd 12.45, saya diundang oleh dr. Yudi untuk merayakan Ekaristi di ruang kecil yang tenang di bagian Forensik RSCM, Jakarta.
Menurut dokter Yudi, yang telah belasan tahun melayani di bagian Forensik RSCM, ia menjalankan profesinya bukan hanya sebagai panggilan profesional dan tetapi juga profetik, yaitu menyatukan ilmu dan iman dalam semangat kerahiman ilahi.
Ia dan teman temannya sekomunitas seprofesi dengan setia merayakan Ekaristi setiap hari Jumat sebagai persembahan kasih bagi mereka yang telah pergi dan yang masih berjuang memahami misteri kehidupan dan kematian.
Seorang Pastor Fransiskan dengan penuh khidmat mempersembahkan misa kudus bagi para dokter Katolik yang bekerja di tengah realitas kematian dan penderitaan.
Misa ini menjadi oasis rohani di tengah tekanan profesi yang berat, di mana kasih Kristus hadir dalam rupa Ekaristi sebagai penguat batin, peneguh panggilan, dan pengingat bahwa pelayanan mereka—meskipun sunyi dan sering tak terlihat—adalah wujud nyata belas kasih Allah kepada mereka yang meninggal tanpa nama, keluarga, atau suara.
Dalam liturgi sederhana itu, iman dan profesi bertemu, menyatu dalam semangat Fransiskan yang mencintai hidup bahkan di tengah kematian.
Terang Kerahiman Ilahi
Dalam terang kerahiman ilahi dan berdasarkan bacaan Kisah Para Rasul 5:12–16, Wahyu 1:9–19, serta Yohanes 20:19–31, akronim FORENSIK dapat dimaknai secara simbolik sebagai “Firman, Otoritas, Rahmat, Empati, Nyawa, Sukacita, Iman, Kasih”—sebuah rangkaian nilai yang merefleksikan perutusan Gereja di tengah dunia luka.
Dalam Kis 5, para rasul menjadi saluran penyembuhan melalui kuasa Roh Kudus, memperlihatkan bagaimana otoritas ilahi bukanlah dominasi, melainkan saluran rahmat yang memulihkan hidup.
Di tengah bayang kematian, seperti di ruang forensik, kehadiran ilahi justru nyata—melalui Empati dan Kasih yang menembus batas daging dan jiwa, menghadirkan kehidupan baru bahkan dari tubuh yang terbujur diam.
Dalam Wahyu 1 dan Injil Yohanes 20, Kristus yang bangkit menampakkan diri sebagai Dia yang hidup, yang telah “mati namun kini hidup selama-lamanya” (Why 1:18), dan membawa sukacita serta iman kepada para murid yang gentar.
Ruang forensik, yang kerap dianggap sebagai tempat berakhirnya kehidupan, dalam kacamata iman justru dapat menjadi ruang perjumpaan dengan misteri kebangkitan—sebuah Firman yang hadir bukan hanya di altar, tetapi juga dalam keheningan tubuh yang tak bersuara.
Maka, FORENSIK dalam kerahiman ilahi bukan sekadar tempat pengkajian kematian, melainkan ruang pewartaan tentang harapan akan hidup kekal, ketika tubuh dan jiwa dipandang dengan belas kasih Allah yang menyeluruh.
Suluh Harapan Hidup Abadi
Di ruang Forensik, di mana tubuh-tubuh terbujur dalam diam dan kisah hidup terputus oleh maut, para dokter dan petugas medis menjalankan tugas yang jauh melampaui analisis ilmiah semata. Mereka bukan hanya menelusuri sebab-musabab kematian, tetapi secara tak langsung turut terlibat dalam misteri penderitaan dan kemanusiaan yang dalam.
Dalam terang iman, khususnya dalam spiritualitas Kristen, pelayanan di ruang Forensik adalah bentuk partisipasi dalam karya kerahiman ilahi—sebuah penghormatan terhadap tubuh manusia yang pernah dihuni oleh jiwa dan kisah hidup yang utuh.
Tubuh yang diam dan tak bernyawa bukanlah objek semata, melainkan saksi bisu dari kehidupan yang pernah ada—dari tangis, harapan, luka, dan cinta.
Bagi orang beriman, terutama dalam spiritualitas Katolik, tubuh manusia memiliki martabat karena diciptakan menurut gambar Allah dan suatu saat akan dibangkitkan dalam kemuliaan.
Maka, ketika dokter dan petugas medis memperlakukan jasad dengan hormat, kelembutan, dan ketelitian, mereka sedang menyentuh Tubuh Kristus yang tersembunyi dalam luka umat-Nya.
Di sinilah ruang Forensik menjadi tempat pelayanan kasih yang hening namun kudus.
Dalam Injil, Kristus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid-Nya dengan luka yang masih terbuka—mengisyaratkan bahwa luka tubuh tidak menghilangkan kehadiran ilahi, melainkan justru menjadi tanda pengenalan dan kasih.
Maka, ketika petugas forensik menyentuh tubuh-tubuh penuh luka, mereka menyentuh misteri Paskah: penderitaan yang tidak sia-sia, dan tubuh yang dimuliakan melalui kasih.
Tugas mereka mencerminkan wajah Gereja yang menyapa bahkan di lorong-lorong kematian, bukan untuk mengadili, tetapi untuk memahami dan merawat hingga akhir.
Panggilan kerahiman ini juga menyentuh ranah keadilan dan kemanusiaan. Banyak jasad yang masuk ruang Forensik adalah korban kekerasan, kecelakaan, atau keterlantaran.
Dalam mengidentifikasi, memverifikasi, dan merestorasi jasad-jasad ini, para petugas berperan sebagai jembatan antara dunia yang hidup dan dunia yang telah pergi—menyediakan kejelasan, penghiburan, dan penghormatan terakhir bagi keluarga yang ditinggalkan.
Tindakan mereka menjadi doa tanpa kata, liturgi diam yang mempersembahkan kasih bagi mereka yang tak lagi bisa bersuara.
Ruang Forensik adalah altar tersembunyi, tempat tubuh manusia—yang pernah menjadi bait Roh Kudus—diperlakukan dengan martabat terakhirnya.
Dalam tindakan ilmiah yang tepat dan penuh empati, para petugas medis menjalankan spiritualitas pelayanan yang sejati.
Mereka adalah tangan-tangan rahmat yang tidak hanya menyentuh tubuh yang dingin, tetapi juga menyentuh jantung kerahiman Allah, yang tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya bahkan dalam kematian.
Di sana, keilmuan dan iman bertemu dalam kasih, dan ruang Forensik berubah menjadi tempat harapan akan hidup yang kekal.