Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Politik yang bermoral adalah cahaya yang menuntun langkah bangsa, tempat pemimpin kuasa bersujud pada nurani kejujuran dan kebenaran.

Dari sana tumbuh peradaban yang berkelanjutan yaitu akar keadilan meresap ke bumi, sementara dahan harapan menjulang menyentuh langit kemanusiaan dan ekologis, berbuah damai adil dan abadi.

Pemimpin yang berkuasa penuh  bukan sekadar komponen dari sistem politik, tetapi juga pilar peradaban yang menentukan arah moral, kultural, dan spiritual suatu bangsa.

Ia bertanggung jawab bukan hanya atas kebijakan, tetapi juga atas pembentukan karakter kolektif masyarakat yang beriman dan beradab, bersaudara, berdemokrasi dan berkeadilan sosial ekologis.

Kepemimpinan sejati mendorong persatuan dalam keberagaman dan memfasilitasi praktik demokrasi yang sehat dan inklusif.

Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin harus menegakkan keadilan sosial sekaligus memperhatikan kelestarian ekologis sebagai warisan untuk generasi mendatang.

Oleh karena itu, pemimpin sejati adalah penjaga nilai-nilai luhur bangsa sekaligus arsitek masa depan yang berkeadaban dan berkelanjutan.

Transparansi

Transparansi, keterbukaan, dan kejujuran pemimpin publik merupakan pilar utama dalam demokrasi deliberatif, sebuah model demokrasi yang menekankan partisipasi aktif rakyat dalam proses pengambilan keputusan melalui dialog yang rasional, terbuka, jujur, santun dan adil.

Dalam sistem ini, rakyat bukan sekadar objek yang diberi kebijakan, seabrek aturan perundang undangan,  melainkan subjek manusia yang diajak berpikir, berdiskusi, berbicara, bertanya dan ikut merumuskan arah masa depan bersama.

Untuk itu, pemimpin wajib membuka akses informasi secara jujur dan lengkap, agar publik dapat memahami alasan di balik setiap keputusan.

Tanpa transparansi, deliberasi menjadi semu dan rakyat kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara.

Lebih dari sekadar prosedur teknis, keterbukaan seorang pemimpin mencerminkan kualitas moral dan tanggung jawab etisnya terhadap amanah publik.

Kejujuran bukan hanya soal tidak berbohong, melainkan juga keberanian untuk mengakui kesalahan, mengambil tanggung jawab, dan menjelaskan kebijakan secara apa adanya demi kebaikan bersama.

Dalam konteks ini, kejujuran adalah bentuk penghormatan terhadap kecerdasan manusia dan kedaulatan rakyat.

Pemimpin yang jujur dan terbuka tidak hanya memperkuat legitimasi politiknya, tetapi juga membangun budaya pemerintahan yang sehat, bersih, baik, benar di mana kritik diterima sebagai masukan konstruktif dan bukan ancaman.

Demokrasi deliberatif juga menuntut pembenahan moral para pemimpin, karena keutuhan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari integritas pribadi mereka.

Saat pemimpin bersikap otentik, sederhana, rendah hati, dan mendengarkan suara rakyat tanpa menyembunyikan agenda tersembunyi apalagi kepentingan priadi dan kroninya, ia mengembalikan kepercayaan publik yang selama ini banyak terkikis oleh korupsi, manipulasi, dan populisme semu.

Reformasi politik tidak akan bermakna tanpa disertai revolusi etika di tubuh kepemimpinan yang mendapat legitimasi kekuasaan dari publik.

Oleh karena itu, membangun sistem demokrasi yang deliberatif dan berkeadaban hanya mungkin terwujud bila para pemimpin menjalani kehidupan publik dengan nilai moral yang kuat dan komitmen sejati terhadap cinta akan kebenaran dan kebaikan bersama.

Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik adalah fondasi utama
dari legitimasi moral seorang pemimpin.

Tanpa kepercayaan, otoritas seorang pemimpin menjadi rapuh meski ia memiliki kekuasaan formal secara hukum.

Kepercayaan muncul ketika pemimpin menunjukkan konsistensi antara kata dan tindakan, berlaku adil, serta memprioritaskan kepentingan bersama di atas keuntungan pribadi atau kelompok.

Dalam masyarakat demokratis, kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh melalui kinerja yang transparan, etika politik publik yang tinggi, dan keterlibatan aktif dalam dialog dengan masyarakat.

Legitimasi moral ini menjadi pembeda antara kekuasaan yang diterima secara sukarela dan kekuasaan yang hanya ditaati karena paksaan.

Dalam perspektif teoritik, filsuf politik Jürgen Habermas adalah salah satu tokoh penting yang menekankan pentingnya kepercayaan publik dalam membentuk legitimasi dalam sistem demokrasi.

Dalam bukunya Between Facts and Norms, contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy  (2015), Habermas menjelaskan bahwa legitimasi politik harus didasarkan pada proses komunikasi yang bebas dan rasional, di mana warga negara terlibat dalam diskusi terbuka tentang kebijakan publik.

Jürgen Habermas mengembangkan teori diskursus hukum dan demokrasi yang menekankan bahwa legitimasi hukum harus lahir dari proses deliberatif di ruang publik, di mana warga negara secara rasional dan setara membentuk kehendak bersama.

Ia menjembatani antara fakta sosial dan norma moral dengan menunjukkan bahwa hukum yang sah bukan hanya berdasarkan kekuasaan formal, tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis melalui komunikasi yang bebas dan inklusif.

Dalam model deliberatif ini, kepercayaan terhadap pemimpin tumbuh dari keyakinan bahwa mereka bertindak berdasarkan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara
moral dan rasional.

Dengan demikian, legitimasi bukan hanya berasal dari hasil pemilu atau struktur hukum, tetapi dari proses etis dan komunikatif yang melibatkan semua warga negara.

Dalam The Lure of Technocracy (2015), Jürgen Habermas mengkritik kecenderungan politik modern yang menyerahkan keputusan publik kepada para teknokrat dan ahli, alih-alih melibatkan rakyat dalam proses demokratis yang deliberatif.

Habermas memperingatkan bahwa dominasi rasionalitas teknis yang menekankan efisiensi dan control yang mengikis ruang diskursus publik dan melemahkan legitimasi demokrasi itu sendiri.

Ia menekankan bahwa keputusan politik tidak boleh direduksi menjadi persoalan manajemen atau keahlian semata, karena menyangkut nilai-nilai, norma sosial, dan kepentingan kolektif yang hanya bisa dirumuskan melalui komunikasi antarwarga negara.

Ia peringatkan bahwa kemajuan teknologi dan birokrasi tidak boleh menggantikan proses deliberatif yang menjadi inti dari demokrasi sejati.

Habermas menyerukan perlunya revitalisasi ruang publik sebagai arena dialog kritis, di mana legitimasi politik lahir dari partisipasi dan rasionalitas komunikatif, bukan dari otoritas teknis.

Di negara-negara dengan tingkat kepercayaan publik yang tinggi, pemimpin lebih mudah membangun konsensus dan menjalankan kebijakan publik yang berdampak luas.

Oleh karena itu, pemimpin yang ingin memperoleh dan mempertahankan legitimasi moral harus memelihara kepercayaan publik sebagai aset utama dalam praktik kepemimpinannya.

Kepercayaan publik yang tinggi terhadap pemimpin tercermin dari keterbukaan informasi, di mana rakyat merasa dilibatkan dan mengetahui alasan di balik setiap keputusan.

Konsistensi antara kata dan tindakan menjadi indikator kedua, menunjukkan integritas dan komitmen moral yang tak tergoyahkan.

Indikator ketiga adalah keadilan dalam kebijakan, di mana masyarakat merasakan perlakuan yang setara dan berpihak pada kesejahteraan bersama, bukan pada kepentingan sempit.

Masyarakat Damai yang adil dan abadi
Demokrasi deliberatif memiliki peran sangat penting dalam membangun masyarakat yang damai, adil, dan berkelanjutan karena ia menawarkan ruang partisipatif di mana warga negara tidak hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi juga aktor aktif dalam merumuskan arah kehidupan bersama.

Dengan menjunjung tinggi dialog, keterbukaan, dan rasionalitas publik, demokrasi deliberatif menciptakan landasan sosial yang lebih inklusif dan adil.

Proses deliberasi ini memungkinkan suara-suara minoritas didengar, konflik diselesaikan secara damai, dan keputusan diambil berdasarkan kepentingan bersama, bukan kepentingan segelintir elite.

Dalam konteks ini, demokrasi bukan sekadar sistem politik, melainkan wadah etis untuk membentuk masyarakat yang sadar, terlibat, dan berorientasi pada kebaikan bersama.

Kepercayaan publik menjadi elemen vital dalam mendukung keberlangsungan demokrasi deliberatif.

Tanpa kepercayaan, dialog publik menjadi mandul, keputusan sulit diimplementasikan, dan partisipasi masyarakat merosot.

Kepercayaan publik adalah energi sosial yang menyatukan individu dalam keyakinan bahwa sistem dan pemimpin mereka akan bertindak secara adil dan jujur.

Pemimpin yang berhasil membangun dan menjaga kepercayaan ini mendapatkan legitimasi moral yang jauh lebih kuat dari sekadar legalitas formal.

Legitimasi ini memberi pemimpin kekuatan yang sah untuk memimpin tanpa paksaan, memungkinkan terciptanya tata kelola yang efektif dan bermartabat, serta memperkuat rasa kepemilikan kolektif atas nasib bangsa.

Masyarakat yang damai dan adil tidak mungkin tercipta tanpa legitimasi moral pemimpin yang berpijak pada nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas.

Ketika pemimpin bertindak dengan dasar etika dan mampu menyelaraskan kepentingan pribadi dengan kepentingan rakyat secara transparan, mereka menciptakan teladan yang menumbuhkan budaya saling percaya.

Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan masyarakat yang stabil secara sosial, adil dalam pembagian sumber daya, serta berorientasi pada kebahagiaan berkelanjutan yakni kesejahteraan yang tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga diwariskan kepada generasi mendatang.

Dengan demikian, demokrasi deliberatif, kepercayaan publik, dan legitimasi moral pemimpin bukan sekadar komponen politik, melainkan pilar peradaban yang menjamin masa depan yang harmonis dan berkeadaban.