Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Think tank library” di sekolah abad ke-21 adalah jendela ajaib yang membuka pikiranmu untuk belajar, berpikir kritis, dan menciptakan masa depan yang cerah.”

Think tank library adalah pusat pengetahuan dan inovasi yang menghubungkan pemikiran kritis, kolaborasi, dan teknologi untuk membentuk generasi pembelajar yang cerdas dan berdaya saing.

Think tank library: brain-based learning plans for new standards sebagai konsep perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat inovasi pembelajaran dan riset, yang menggabungkan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis otak (brain-based learning) dengan pengembangan kurikulum atau standar pendidikan baru yang responsif terhadap kebutuhan zaman.

Perpustakaan ini tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga merancang strategi pembelajaran yang sejalan dengan cara kerja otak manusia seperti pembelajaran yang bersifat interaktif, emosional, multisensori, dan reflektif, guna mengoptimalkan proses berpikir dan pemahaman mendalam.

Di era AI, ciri utama dari think tank library ini adalah pemanfaatan kecerdasan buatan untuk menganalisis kebutuhan belajar individu, merekomendasikan sumber belajar yang relevan, serta menciptakan pengalaman belajar yang personal dan adaptif.

Selain itu, perpustakaan ini juga berperan sebagai ekosistem kolaboratif di mana manusia dan mesin bekerja bersama untuk menciptakan solusi inovatif dalam pendidikan, riset, dan kebijakan berbasis data dan empati.

Brain Based Deep Learning

Pembelajaran mendalam berbasis otak (brain-based deep learning) adalah pendekatan pendidikan yang dirancang untuk selaras dengan cara kerja otak dalam memproses, menyimpan, dan menghubungkan informasi secara bermakna dan berkelanjutan.

Pendekatan ini menekankan pentingnya keterlibatan emosional, konteks yang relevan, stimulasi multisensori, serta penguatan hubungan sosial dalam proses belajar.

Salah satu pakar utama dalam bidang ini adalah Eric Jensen, melalui bukunya “Teaching with the Brain in Mind”, di mana ia menjelaskan bagaimana neuroplastisitas, stres, dan lingkungan belajar memengaruhi kedalaman pemahaman siswa.

Selain itu, John Hattie dalam karyanya “Visible Learning” juga menunjukkan bagaimana pembelajaran yang disusun berdasarkan cara berpikir dan respons otak termasuk umpan balik, refleksi, dan keterlibatan aktif dapat meningkatkan hasil belajar secara signifikan.

Pembelajaran mendalam berbasis otak bertujuan bukan hanya untuk menghafal, tetapi untuk membentuk pemahaman yang tahan lama, fleksibel, dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan nyata.

Mengajar dengan Otak

Ciri-ciri utama dari pendekatan Teaching with the Brain in Mind menurut Eric Jensen adalah bahwa pembelajaran harus dirancang sesuai dengan prinsip kerja otak manusia untuk mencapai efektivitas maksimal.

Pertama, Jensen menekankan pentingnya lingkungan belajar yang positif dan emosional, karena emosi yang sehat memperkuat proses pembelajaran.

Kedua, ia menyoroti perlunya keterlibatan aktif melalui aktivitas fisik, interaksi sosial, dan pengalaman multisensori yang membantu otak membangun koneksi yang lebih kuat.

Ketiga, waktu istirahat, tidur yang cukup, dan nutrisi juga menjadi bagian penting karena memengaruhi fungsi kognitif.

Keempat, pembelajaran harus relevan dan bermakna, agar informasi bisa diproses lebih dalam dan tidak mudah terlupakan.

Terakhir, Jensen menekankan pentingnya diferensiasi, yaitu memahami bahwa setiap otak belajar dengan cara yang berbeda, sehingga strategi pengajaran harus adaptif dan responsif terhadap kebutuhan siswa secara individual.

Visible Learning

Inti esensial dari konsep Visible Learning menurut John Hattie adalah bahwa pembelajaran yang efektif terjadi ketika proses belajar menjadi terlihat baik bagi guru maupun siswa—melalui pemahaman yang jelas tentang tujuan belajar, umpan balik yang bermakna, dan evaluasi berkelanjutan terhadap kemajuan siswa.

Hattie menekankan bahwa guru harus bertindak sebagai pengevaluasi pembelajaran, bukan sekadar penyampai materi, dengan secara aktif memonitor dan menyesuaikan strategi pengajaran berdasarkan bukti dari apa yang benar-benar membantu siswa belajar.

Siswa, pada gilirannya, harus menjadi pembelajar yang sadar, mengetahui apa yang mereka pelajari, mengapa mereka mempelajarinya, dan bagaimana mereka bisa memperbaiki diri.

Dengan menggunakan pendekatan berbasis data dan effect size, Visible Learning berfokus pada strategi-strategi yang terbukti memiliki dampak signifikan terhadap hasil belajar, menjadikan proses pendidikan lebih terarah, reflektif, dan berpusat pada pertumbuhan nyata siswa.

Jantung Budaya Berpikir

Think tank library yang mengintegrasikan pendekatan brain-based deep learning dan visible learning menjadi sangat penting dalam membentuk budaya berpikir murid di era AI, karena menyediakan ruang belajar yang tidak hanya kaya informasi, tetapi juga mendukung perkembangan kognitif dan reflektif secara mendalam.

Brain-based deep learning memastikan bahwa proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan cara kerja otak yang optimal yakni melalui keterlibatan emosional, pengalaman multisensori, dan koneksi makna yang relevan, sementara visible learning menekankan pentingnya keterbukaan dalam proses belajar, di mana siswa mampu memahami tujuan pembelajaran, mengukur kemajuan, dan menerima umpan balik yang membangun.

Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, think tank library menjadi pusat inovasi belajar yang tidak hanya menyimpan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran belajar, pemikiran kritis, dan kemandirian intelektual, kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dan banjir informasi di era kecerdasan buatan.

Strategi konkret untuk mengimplementasikan think tank library ini antara lain adalah dengan merancang ruang perpustakaan yang interaktif dan fleksibel, dilengkapi dengan teknologi AI edukatif yang membantu siswa menelusuri minat dan menyesuaikan materi pembelajaran secara personal.

Kegiatan seperti learning lab, diskusi reflektif berbasis proyek, dan simulasi problem solving berbasis data dapat diterapkan untuk memperkuat daya nalar siswa.

Guru dan pustakawan harus dilatih untuk menjadi fasilitator berpikir, bukan hanya pengelola bahan bacaan, dengan memanfaatkan effect size untuk menilai dampak dari setiap metode pembelajaran.

Selain itu, literasi digital dan etika penggunaan AI perlu ditanamkan melalui kurikulum yang dirancang kolaboratif antara guru, pakar pembelajaran, dan siswa.

Dengan strategi ini, think tank library dapat menjadi jantung dari budaya berpikir dan pembelajaran mendalam di sekolah-sekolah abad ke-21.

Elemen Strategis

Usul konkret tentang pentingnya keberadaan
think tank library di setiap sekolah yang mengusung visi berkualitas unggul untuk semua adalah bahwa perpustakaan ini harus dirancang sebagai pusat inovasi pembelajaran yang mengintegrasikan teknologi, riset ilmiah, dan pendekatan pembelajaran berbasis otak serta data nyata (evidence-based).

Dengan adanya think tank library, sekolah tidak hanya menyediakan akses buku dan sumber informasi, tetapi juga ruang kolaboratif yang memfasilitasi diskusi kritis, eksperimen ide, dan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Hal ini memungkinkan setiap siswa mendapatkan pengalaman belajar yang personal, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan zaman, sekaligus mendukung guru dalam menerapkan metode pengajaran yang terukur dan efektif.

Dengan demikian, think tank library menjadi elemen strategis untuk mencetak lulusan unggul yang  cerdas secara akademik dan non akademik, yaitu inovatif,  kreatif, kritis, dan siap menghadapi tantangan masa depan, sehingga visi sekolah unggul dapat diwujudkan secara inklusif dan berkelanjutan.