Oleh: Siprianus Edi Hardum
Doktor Ilmu Hukum, advokat dan dosen Ilmu Pidana Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta


Hari-hari dalam beberapa bulan terakhir, media massa dan media sosial (warna negara Indonesia) ramai dengan berita dan perdebatan mengenai dugaan pemalsuan ijazah S1 Joko Widodo (Jokowi) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dugaan pemalsuan ijazah S1 mantan Wali Kota Solo ini mencuat ke public sejak awal 2005, tidak lama setelah kakek dari Jan Ethes ini dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.

Adalah Roy Suryo, Rismon Sianipar Cs, yang hampir semuanya alumni UGM kembali mempersoalkan keaslian ijazah Jokowi ini pada awal tahun 2025 ini.

Beberapa aktivis yang tergabung dalam Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melaporkan Jokowi ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri dengan dugaan Jokowi memalsukan dan menggunakan ijazah S1 palsu. Sebaliknya Jokowi melaporkan Roy Suryo Cs  ke  Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Menurut saya, ada beberapa tujuan ijazah Jokowi dipersoalkan keasliannya. Pertama, tujuan politis, yakni untuk menjegal Gibran maju sebagai calon Presiden RI atau Wakil Presiden RI di tahun 2029. “Pukul tiang, kena tembok”. Tidak sedikit masyarakat menilai seperti ini, bahkan mereka-mereka yang melek dalam bidang hukum seperti advokat atau dosen ilmu hukum.

Kedua, pelampiasan sakit hati (balas dendam) sebagian masyarakat atas kemenangan Gibran yang tidak berkualitas menjadi Wapres RI. Mereka sakit hati karena menurut mereka Gibran tidak layak dari segi umur dan kualitas dirinya, tapi dipaksanakan dengan menabrak Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu, masyarakat masih kesal dengan tindakan Jokowi yang membagi Bansos (sembako) di depan Istana Negara ketika kampanye Pilpres 2024. Menurut sebagian masyarakat, semua itu dilakukan Jokowi untuk mendudukan Gibran sebagai Wapres RI.

Ketidakpantasan Gibran sebagai Wapres RI ini terkonfirmasi ketika menjalankan tugas sebagai Wapres RI selama ini tidak bisa berpidato. Tidak bisa berpidato ini sepertinya menguatkan pengakuannya bahwa ia tidak suka membaca artikel yang berat. Ia hanya suka membaca komik dan main game.

Ketiga, murni perjuangan penegakan hukum. Saya sendiri berada pada posisi ini. Dugaan ijazah Jokowi palsu sudah lama digaungkan oleh para pendukung Prabowo yakni Egy Sudjana Cs sejak awal 2005. Prabowo adalah pesaing berat Jokowi dua periode.

Belakangan Roy Suryo Cs kembali mengangkat dan mengkaji secara ilmiah. Pertanyaan, kalau untuk kepentingan politik dan balas dendam politik, mengapa harus ijazahnya yang dipersoalkan?  Mengapa tidak pada persoalan lain?

Menurut saya, jawabannya, karena ijazah Jokowi serta  faktor pendukung untuk mendapatkan ijazah sebagaimana beredar di media sosial dan media massa memang banyak keanehan. Seperti fotonya berkacamata sementara Jokowi tidak berkacamata. Fotonya tidak kena stempel sebagaimana ijazah lainnya.

Dalam pidato terbuka tahun 2017 Jokowi mengatakan bahwa dosen pembimbing skripsinya adalah Kasmujo, namun belakangan Jokowi mengatakan bahwa Kasmujo adalah dosen pembimbing akademisnya. Jokowi mengaku pembimbing skripnya Prof. Dr. Achmad Sumitro.

Di skripsi Jokowi tertulis Prof. Dr. Achmad Soemitro. Yang benar adalah Sumitro bukan Soemitro, berdasarkan keterangan anaknya bapak Sumitro.

Kasmujo sendiri mengaku bahwa dirinya bukan dosen pembimbing skripsi Jokowi. Dalam pertanyaan terbuka itu, Jokowi mengatakan, ia berkali-kali dibentak dan disuruh pulang sama Bapak Kasmujo. Lha, setahu dan sepengalaman penulis kuliah, baik kuliah UGM (Fisipol dan S2 Ilmu Hukum) maupun di perguruan tinggi swasta di Jakarta (S1 dan S3 Ilmu Hukum) tidak pernah terjadi dosen pembimbing akademis menyuruh bolak-balik dan bentak-bentak.

Di sinilah salah satu pertanyaan besar bagi masyarakat, Jokowi ini benar-benar menulis skripsi agar lulus dari UGM atau tidak?

Saya menilai Roy Cs mengusut dugaan ijazah Jokowi palsu merupakan usaha mulia untuk, pertama, kepentingan penegakan hukum.

Menegakan hukum di sini tentu supaya tidak menjadi preseden buruk ke depan bahwa siapa pun yang menjadi pejabat public dengan mudah memalsukan ijazah.

Selain itu, juga ingin membongkar kongkalikong orang-orang yang diduga mengusup ke UGM, memalsukan ijazah termasuk skripsi Jokowi.

Kedua, memberi pelajaran ke masyarakat Indonesia agar jangan sekali-kali memalsukan ijazah untuk kepentingan apa pun terutama untuk kepentingan menjadi pelayan masyarakat atau pejabat publik. Kalau itu dilakukan, maka akan menjadi repot karena banyak orang pasti mempersoalkannya.

Ketiga, untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan tindakan Roy Suryo Cs mempersoalkan ijazah Jokowi, maka tidak sedikit anak bangsa melakukan penelitian soal tindak pidana pemalsuan: mulai dari motif, cara dan tujuannya.

Telaah Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur soal pemalsuan surat dan akta otentik dalam Pasal 263, 264 dan Pasal 266 ((pasal 265 sudah dihapus).  Unsur dalam Pasal Pasal 263 adalah: Pertama, siapa pun membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Kedua, diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasalnya 263 ringkasnya adalah, pertama, siapa pun yang memalsukan surat dipidana atau dihukum. Kedua, siapa pun yang memakai atau menggunakan surat palsu dihukum juga.

Pasal 264 merupakan penjabaran lebih jauh dari pasal 263, karena penulis tidak perlu uraikan.

Selanjutnya Pasal 266 KUHP terdiri dari dua ayat. Pertama, siapa pun yang menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenarannya, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian diancam pidana paling lama tujuh tahun.

Kedua, siapa pun yang memakai surat sebagaimana disebutkan dalam ayat satu atau pertama di atas dihukum maksimal tujuh tahun penjara. Jadi substansi Pasal 266 ini adalah aktanya yang otentik tapi keterangannya yang palsu.

Ringkas pasal 266 ini adalah, pertama, siapa pun yang mamasukan atau menyuruh memasukan keterangan palsu di atas akta otentik dihukum. Kedua, siapa yang memakai akta otentik yang isinya palsu dihukum.

Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHP, maka pemalsuan surat hanya dapat dilakukan terhadap empat macam surat saja, tidak terhadap semua surat.

Empat macam surat tersebut ditentukan dari sudut isinya surat. Empat macam surat yang dimaksud yaitu (1) surat yang dapat menimbulkan suatu hak, (2) surat yang menimbulkan suatu perikatan, (3) surat yang membebaskan utang, dan (4) surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.

Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP terdapat unsur pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. Namun, tidak ada ukuran untuk menentukan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau yang dipalsu tersebut digunakan.

Akibat timbulnya kerugian tersebut dapat dipikirkan oleh semua orang, ialah bila surat semacam itu digunakan maka dapat (potensial) menimbulkan kerugian.

Bagi siapa yang menderita kerugian, tidak harus ditentukan orangnya, kerugian itu bagi siapa saja atau bagi kepentingan umum.

Pakar pidana Teguh Prasetyo, mengatakan, unsur kesalahan dalam tindak pidana membuat surat palsu atau memalsu surat tersebut adalah berupa kesengajaan sebagai maksud atau kesengajaan dalam arti sempit.

Maksud si pembuat membuat surat palsu atau memalsu surat tersebut ditujukan untuk digunakan olehnya sendiri atau digunakan oleh orang lain. Sementara perbuatan menggunakan surat tersebut tidak perlu, sudah diwujudkan.

Sebab unsur maksud hanya ada dalam batin atau sikap batin si pembuat, yang harus sudah terbentuk sebelum melakukan perbuatan. Sikap batin ini harus dibuktikan, bukan penggunaannya yang harus dibuktikan [Teguh Prasetyo, 2011:58].

Sementara pakar pidana R. Soesilo mengatakan surat adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.

Surat yang dipalsukan itu, kata dia, harus surat yang: (1) dapat menimbulkan sesuatu hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain; (2) dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya; (3)     dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang seperti kuitansi atau surat semacam itu; atau (4) surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain.

Bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut R. Soesilo dilakukan dengan cara: membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).

Selanjutnya, memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat itu.

Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat. Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Misalnya foto dalam ijazah sekolah.

Selain itu, kata R. Soesilo, unsur pemalsuan surat juga adalah pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.

Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian.  Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup.

Dari penjelasan pasal-pasal KUHP  dan penjelasan dua pakar pidana di atas disimpulkan, pertama, ijazah Jokowi masuk dalam  surat yang dapat menimbulkan suatu hak yakni hak dia maju sebagai wali kota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI.

Kalau benar ijazah Jokowi palsu jelas merugikan orang lain yang ijazahnya asli untuk maju dalam jabatan yang disebutkan.

Ijazah Jokowi juga masuk dalam kategori surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal, yakni Jokowi terbukti selesai kuliah dari UGM.

Kedua, kalau benar ijazah Jokowi palsu, maka diduga membuat palsunya sebagai dijelaskan R. Soesilo yakni membuat isinya yang bukan semestinya, yakni memasukan atau menyurut orang lain memasukan sesuatu isi yang tidak benar.

Kalau ini terjadi maka masuk dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP.  Atau, kalau benar ijazah Jokowi palsu, maka diduga dibuat dengan cara mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli, seperti penempelan foto orang lain.

Dari keanehan ijazah Jokowi seperti fotonya, maka saya masukan dalam pasal 266 yakni memasukan keterangan palsu di atas akta otentik.

Penegakan Hukum Harus Impartial

Pada Kamis (22/5/2025) Bareskrim Polri mengumumkan bahwa ijazah milik Jokowi identik dan otentik setelah dibandingkan dengan ijazah milik tiga rekan seangkatannya di UGM.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, uji banding dilakukan sebagai bagian dari penyelidikan laporan dugaan ijazah palsu yang menyeret nama Jokowi.

“Uji banding ini dilakukan terhadap ijazah asli milik Bapak Jokowi, dan tiga ijazah pembanding dari rekan seangkatan beliau di UGM dengan tahun kelulusan yang sama,” kata Djuhandhani.

Sayangnya, ketika Mabes Polri mengumumkan seperti itu tidak disertakan untuk penunjukan ijazah Jokowi dan tiga ijazah pembandingnya ke publik. Idealnya penyidik Polri tunjukan ke publik keempat ijazah itu selain asas transparansi juga memberikan kebebasan ke publik untuk menguji.

Bahkan menurut penulis, idealnya Mabes Polri melibatkan pakar IT dan forensik yang independen untuk menguji secara forensik ijazah Jokowi. Hal ini penting untuk menghindari kecurigaan masyarakat serta mengawasi indepensi dan keprofesionalan penyidik Polri.

Karena ini tidak dilakukan Polri, maka sebagian masyarakat meragukan bahkan “menolak” hasil yang diumumkan Mabes Polri.

Dari awal banyak tokoh masyarakat termasuk penulis merasa pesimistis kalau kasus ini diproses hukum akan menemukan titik terang.

Seperti mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin sejak awal mengatakan bahwa pada akhirnya nanti Polri mengatakan bahwa ijazah Jokowi asli.

Rasa pesimistis seperti itu dasarnya adalah sekarang ini masih rezim Jokowi.  Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, rezim diartikan sebagai sistem pemerintahan yang menentukan akses ke jabatan publik, dan tingkat kekuasaan yang dipegang oleh pejabat. Dua kategori besar rezim adalah demokratis dan otokratis.

Dalam ilmu politik, rezim berarti, pertama, orang atau sekelompok orang yang menguasai negara, kedua, prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan proses pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara (Arief Budiman, 1997: 86-87).

Dari pengertian ilmu politik ini, saya menyadari benar bahwa sekarang ini masih rezim Jokowi. Mulai dari Prabowo sendiri sebagai Presiden, Wapres anak Jokowi, Kapolri, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta sejumlah menteri lainnya merupakan orang-orang “peninggalan Jokowi”.

Secara teori, Polri adalah lembaga penegakan hukum yang independen, dengan demikian Kapolri dan jajarannya pasti independen dan profesional, namun dikaitkan dengan dugaan keterlibatan Polri dalam Pilpres 2024 sebagian masyarakat Indonesia ragu dengan independensi Polri dalam kasus ijazah Jokowi.

Menurut saya, kalau Kapolri ingin menunjuk kepada publik bahwa beliau dan jajarannya profesional dan independen, maka libatkan pakar forensik dan pakar IT yang independen dalam memeriksa keaslian ijazah Jokowi termasuk skripsi atas nama Jokowi. Bila perlu libatkan pakar dari negara lain.

Hal ini tentu untuk menghindari sangkaan bahwa Kapolri adalah orangnya Jokowi. Polri juga diharapkan tidak segan-segan mengusut dugaan keterlibatan pihak lain seperti oknum-oknum di UGM atau kementerian tertentu dalam dugaan proses dan tindakan pemalsuan ijazah dan skripsi Jokowi.

Namun, kalau Polri benar sebagaimana diberitakan menghentikan penyelidikan kasus ijazah Jokowi, maka, pertama, jangan salahkan sebagian masyarakat kalau masih yakin dan percaya bahwa ijazah Jokowi palsu.

Kedua,  hentikan juga proses hukum terhadap Roy Suryo, Rismon Sianipar Cs dengan dugaan pencemaran nama baik Jokowi. Pasalnya, mereka melakukan pekerjaan intelektual (akedemis) karena banyak keanehan atas ijazah Jokowi dan skripsinya.

Kalau proses hukum terhadap mereka terus dilakukan itu namanya kriminalisasi dan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Kalau demikian aparat penegak hukum, dalam hal ini Polri melanggar HAM.