Oleh: Irvan Kurniawan
“Lebih baik tak menjadi apa-apa dari pada mendapat suatu posisi atau jabatan tapi tak mampu berbuat sesuatu. Lebih baik tidak mengetahui apa-apa dari pada tahu tapi tak bisa berbuat sesuatu. Pada akhirnya, masuk dalam sistem hanya akan menjadi bagian dari sistem kejahatan itu sendiri untuk menyembunyikan keadilan dan merekayasa kebenaran”
Itulah ungkapan pesimisme penulis yang lebih tepatnya disebut risalah dalam negeri yang penuh konsiprasi mafia trafficiking. Manusia tidak hanya ditindas, diperbudak, dijajah tetapi juga diperjualbelikan seperti hewan. Tanah ini tak hanya dikenal rintihan si miskin menjerit tetapi juga ladang pembantaian manusia.
Nyawa demi nyawa telah hilang meninggalkan luka. Kematian telah menjadi persitiwa lumrah layaknya seekor anjing yang digilas mobil di jalan raya. Sempat diusut namun cuma tipu daya mengibuli publik. Mereka (mafia) pandai merakayasa ingatan, mengobrak-abrik memori public dengan isu yang dikemas untuk mengaburkan ingatan. Kematian pun sirna bersama hilangnya memori public.
Hingga Agustus 2016 data telah menunjukan 27 orang kembali tak bernyawa dengan sejuta misteri yang belum terpecahkan. Mereka mati dengan tubuh penuh luka, jahitan dimana-mana bahkan organ tubuhnya hilang entah kemana. Tragis dan memilukan.
Berbagai peristiwa ini sempat menebar pesimisme public. Ada kecemasan jangan sampai para pejuang kemanusiaan menyerah lalu menjadi bagian dari sistem itu.
Kecemasan ini bukan tak beralasan, beberapa teman yang sudah terlibat penuh dalam mengkawal kasus ini akhirnya sampai pada suatu titik kejenuhan bahwa jaringan mafia ini sangat kuat dan melibatkan elit-elit politik negeri ini.
Mereka yang punya kuasa, uang dan kewenangan untuk menggunakan segala macam cara demi menutupi kasus termasuk merekayasa fakta agar lolos dari jeratan hukum. Bukan tidak mungkin suatu saat penanganan kasus ini justru menimbulkan apatisme public lalu diterima sebagai takdir sembari berharap Nanti Tuhan Tolong (NTT). Lembaga hukum tidak lagi menjamin garansi keadilan di hadapan public.
Masyarakat, keluarga dan aktivis kemanusian hanya mampu menebak-nebak dari luar sistem sembari menghubung-hubungkan berbagai peristiwa untuk dirangkai menjadi kesimpulan.
Mereka dipaksa untuk menemukan kebenaran dari luar sistem tanpa tahu bagaiamana fakta yang sebenarnya. Pencarian kebenaran factual lagi-lagi hanya menjadi kewenangan penegak hukum yang sejak awal terindikasi terlibat dalam masalah itu sendiri. Sungguh menyakitkan. Rasa kemanusiaan disayat pisau hukum yang tumpul di hadapan kuasa dan uang.
Kekecewaan mungkin juga ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum sudah sampai di titik nadir. Lembaga yang menjadi harapan satu-satunya para korban untuk menemukan keadilan namun tak kunjung tiba. Sungguh mahalnya rasa keadilan negeri ini. Sekejam inikah kerakusan manusia?
Bayangkan atau sedikit merasakan bagaimana para aktivis berjuang mengusut kasus demi kasus namun tak ‘dilegalkan’ Negara untuk bertindak sejauh itu. Keadilan dan kebenaran sudah diprivatisasi lalu direkayasa oleh lembaga hukum yang dihuni oleh mafia itu sendiri. Mustahil kan?
Negara sepertinya melakukan pembiaran. Kasus traficking itu ada, korbannya telah berjatuhan, tetapi pelakunya tidak terungkap secara komprehensif, paling berhenti di calo secara individual tetapi jaringan yang besar yang punya badan hukum PJTKI, agen di luar negeri dan penyalur yang lain, tidak tersentuh oleh hukum.
Kepelikkan kasus ini sempat mengingatkan saya pada si Gabbar Singh Rajput yang diperankan oleh Akshay Kumar dalam film ‘Gabbar Is Back’. Dalam film itu Gabbar menciptakan jaringan militer main hakim sendiri yang disebut Angkatan Anti-Korupsi (ACF).
Jaringan ini bertugas untuk menangkap penjahat yang paling korup dari semua lapisan masyarakat dengan cara yang sistematis. Adalah Balbir Singh yang diperankan oleh Sonu Sood secara khusus dipanggil untuk menunaikan tugas.
Ia dibantu oleh Suryam yang diperankan Prakash Raj yang meskipun hanya menjadi polisi biasa di markas Kepolisian namun memiliki kemampuan melacak yang hebat untuk menangkap para gembong koruptor.
Mereka adalah kumpulan orang baik dari semua bidang yang memiliki kejenuhan yang sama lalu membunuh para penjahat dengan main hakim sendiri.
Mungkinkah Gabbar akan hadir di NTT saat ini? Film Gabbar Is Back mungkin terlalu bombastis menjawabi kejenuhan social di kalangan pemuda India di atas. Menantikan Gabbar di NTT hanyalah ilusi utopis. Lalu pertanyaannya pahlawan macam apakah yang sedang kita nantikan dalam menumpas mafia trafficking?
E-Trafficing
Beberapa waktu lalu saat Presiden Jokowi berkunjung ke NTT dalam momentum peringatan Hari Keluarga Nasional di Kupang, sempat tersirat harapan. Presiden yang sebelumnya disanjung-sanjung bahkan dipercayai sebagai ‘ratu adil’ bagi sebagaian kalangan itu, diterima dengan aksi demonstrasi sejumlah mahasiswa terkait maraknya kasus human trafficking di NTT.
Saat itu, Jokowi langsung merespon dengan menginstruksikan Kapolri Tito Karnavian untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Ada setitik harapan bahwa Kapolri baru tersebut bisa membongkar jaringan trafficking di tubuh kepolisian yang sudah mengakar selama bertahun-tahun. Harapan ini juga muncul mengingat track record Tito yang dikenal bersih dan jujur.
Namun satu hal yang penting diketahui Bapak Presiden maupun Pak Kapolri bahwa kejahatan human trafficking sudah menjadi extraordinary crime dimana penanganannya membutuhkan kerja-kerja luar biasa pula.
Menuntaskan human trafficking harus menjadi agenda utama Kapolri dengan membersihkan diri terlebih dahulu dari oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Mau tidak mau cara ini harus dilakukan karna jika tidak, maka komitmen Kapolri dan Presiden hanya menjadi retorika semata.
Selain itu Jokowi sebagai presiden harus mampu merancang suatu gebrakan dengan membuat system perekrutan TKI secara transparan. Salah satunya dengan melakukan moratorium pengiriman TKI sambil mendata ulang semua perusahaan perekrut tenaga kerja di Indonesia.
Data-data ini ditangani oleh Kemenakertrans yang diperbaharui selama tiga bulan lalu diekspos ke public. Setelah melakukan pendataan ulang selanjutnya dibuat suatu system transparansi mulai dari mekanisme perekrutan, urusan administrasi, penampungan, keberangkatan, status pekerjaan, update perkembangan TKI selama di tempat tujuan sampai pada pemulangannya.
Data-data ini harus terintegrasi dalam suatu system e-trafficking yang bisa diakses kapan saja oleh keluarga maupun masyarakat umum.
Selain pembenahan sistem, memutuskan mata rantai trafficking harus dikupas dari hulu ke hilir. Masalah kemiskinan dan rendahnya SDM adalah salah satu penyebab utamanya. Karena itu pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten harus menyediakan lapangan pekerjaan alternative dengan membangun industry local berbasis potensi daerah.
Selain itu, antar daerah dibangun kerja sama (MoU) tentang kemungkinan pertukaran tenaga kerja antar provinsi/kabupaten untuk meminimalisir kemungkinan ekspansi buruh migrant ke luar negeri.
Human trafficking harus segera dihentikan sekarang sebelum Negara berada di titik tak bisa balik. Sebelum kejenuhan berubah menjadi amukan amarah rakyat yang tak terkendali. Sebelum rakyat pada akhirnya menjadi Gabbar yang main hakim sendiri.