Oleh: Venansius Haryanto*
Peneliti pada Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo
Seiring dengan melajunya perkembangan pariwisata di NTT dalam satu dekade belakangan ini, banyak orang pun berkomentar bisa-bisa NTT bakal menjadi Bali kedua.
Betapa tidak, momentum terpilihnya Varanus komodoensis sebagai salah satu keajaiban dunia pada tahun 2011 yang lalu bak mendapat durian runtuh bagi perkembangan pariwisata di NTT.
Kunjungan wisatawan meningkat pesat, destinasi pariwisata pun bertumbuh bak jamur di musim hujan. Event-event besar dalam rangka mendongkrak popularitas pariwisata NTT mulai digalang satu persatu. Tour de Flores dan Festival Komodo tahunan merupakan dua dari sekian event akbar yang berada pada garda terdepan memperkenalkan pariwisata NTT ke mata jagat.
Di balik pesatnya perkembangan pariwisata NTT, perdebatan klise yang sudah lama menjadi bahan-bahan bincang di antara para pengamat pariwisata lagi-lagi muncul ke permukaan. Alih-alih secara global digadang-gadang sebagai bentuk pembangunan sektor post-ekstraktif yang konon orang bilang lebih ramah lingkungan, rangkul budaya lokal, menjanjikan secara ekonomi, pembangunan pariwisata di banyak negara justru banyak disorot, karena kurang bisa mengangkat ekonomi daerah destinasi.
Sebagai orang NTT, apa yang bisa dibuat untuk menyiasati kegelisahan ini? Seperti apa rancang bangun pariwisata yang mampu mengangkat ekonomi orang NTT, biar terhapuskan dari plesetan Nanti Tuhan Tolong (NTT)? Harus mulai dari mana? Siapa para pihak yang mesti turun tangan?
Rossi dan Roben ke Labuan Bangsa-Bangsa
Merespon pertanyaan-pertanyaan di atas, jawaban sebagian besar orang kemungkinan besar akan tertuju pada hal-hal teknis. Sebagian dari jawaban itu arahnya kira-kira dapat ditebak seperti ini. Jika ingin pariwisata bermanfaat bagi orang NTT maka (1) infrastruktur pendukung seperti jalan raya menuju area destinasi pariwisata harus segera diperbaiki (2) menonjolkan pariwisata yang khas NTT seperti arsitektur, kuliner, seni tari, dan (3) sumber daya manusia NTT harus ditingkatkan terutama untuk menjawab tuntutan persaingan bisnis pariwisata.
Mencurahkan perhatian sepenuhnya pada hal-hal teknis tentu tidak salah, bahkan perlu terus diupayakan. Karena itu kita pun mendukung sepenuhnya niat-niat baik dari segenap stakeholder baik dari kalangan pemerintah maupun dari elemen swasta yang selama ini begitu konsen mengurus hal-hal teknis ini. Mulai dari meningkatkan kualitas infrastruktur menuju daerah destinasi, hingga memberi latihan bagi masyarakat NTT guna meningkatkan feeling pariwisata. Pelatihan pengelolaan home stay bagi warga lokal oleh NGO tertentu misalnya.
Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Sisi stuktural-politis juga perlu disasar. Sebab perkembangan pariwisata di NTT sejauh ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur-politis yang sedikit banyak membentuk peta ekonomi-politik pariwisata di NTT belakangan ini. Karena itu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah kotak pandora peta ekonomi-politik pariwisata NTT mesti dibongkar.
Pertanyaan penting dalam studi ekonomi-politik, “siapa mendapatkan apa dan dengan cara apa” dapat dijadikan kunci dalam membuka gembok kotak pandora itu.
Cerita tentang Rossi dan Roben yang berwisata ke Labuan Bajo beberapa waktu yang lalu, untuk sebagian orang mungkin ditafsir sebagai cerita tentang kebanggaan terlahir sebagai orang NTT yang memiliki destinasi wisata menarik yang bernama Labuan Bajo.
Sebagian besar orang juga menafsirnya sebagai cerita tentang signal baik akan kemajuan pariwisata di Labuan Bajo belakangan ini, dan pariwisata NTT ke depan. Pasalnya, kota Labuan Bajo tidak lagi hanya menjadi pelabuhan bagi orang Bajo sebagaimana arti yang tersurat dari nama kota itu, tetapi menjadi Labuan Bangsa-Bangsa, tepat banyak orang dari berbagai negara berlabuh.
Namun jika boleh membuka ruang bagi cara tafsir yang lain, kunjungan wisata Rossi dan Roben ke Labuan Bajo dalam arti tertentu hendak menampakkan peta struktur ekonomi politik pariwisata di Labuan Bajo yang kian hari makin meresahkan banyak pelaku wisata terutama kita sebagai orang NTT.
BACA:Di Labuan Bajo,Valentino Rosi Kunjungi 3 Tempat ini
Ada kisah yang menarik terkait kunjungan wisata kedua figur publik ini ke Labuan Bajo. Terkait kunjungan Rossi, hanya sedikit orang yang tahu. Hasrat untuk segera bertemu dengan pembalap senior motor GP ini di Labuan Bajo untuk para fans terpaksa diurung dulu, lantaran segera setelah mendarat di Labuan Bajo ia langsung berlayar menuju Pulau.
Kisah yang hampir serupa juga terjadi dengan Roben. Segera setelah menginjakkan kaki di bandara Komodo, pemain andalan klub kenamaan Jerman Bayern Munchen itu pun langsung ke Kapal dan selanjutnya berlayar menuju Pulau.
Kunjungan kedua orang ini seolah menghadirkan dua sisi yang berbeda dari koin yang sama yaitu pasar bebas yang sekarang ini menahkodai arah gerak pariwisata di Labuan Bajo. Ruang bebas bisnis pada satu sisi, dominasi-eksploitasi pada sisi yang lain.
Pintu akses terbuka begitu lebar bagi siapa saja pelaku pariwisata yang mau mendulang sebanyak mungkin rupiah bahkan juga dolar dari Labuan Bajo. Orang lokal-NTT, orang Bali, orang Jawa, orang bule, berebut arena mendulang harta di Labuan Bajo.
BACA: Begini Konsep Percepatan Pembangunan Pariwisata di Ende Ala Marsel-Djafar
Sangat boleh jadi, wisata sunyi-senyap Rossi dan Roben ke Labuan Bajo beberapa waktu yang lalu dimungkinkan oleh biro-biro travel yang tidak tergabung dalam ASITA Mabar (organisasi yang menaungi pelaku wisata biro travel), lantas mengontrol usahanya dari jauh.
Terkait hal ini, belakangan ini para pelaku wisata di Mabar terutama dari kalangan usaha biro travel dan jasa guiding sering kali dibuat resah dengan keberadaan biro-biro travel yang mengontrol usahanya dari kota-kota lain, khususnya Bali dan Jawa yang tidak saja merugikan para pelaku wisata lokal, tetapi juga berimbas pada kebocoran pendapatan bagi Pemda Mabar.
Terdorong oleh situasi ini, baru-baru ini HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) cabang Labuan Bajo melakukan sweeping, menyusul kabar banyaknya guide liar di Labuan Bajo. Konon guide-guide ini, dikirim langsung oleh pengusaha biro travel yang berkantor di Bali atau Jawa untuk memandu tamu mereka.
BACA:Tahun 2018 Pemda TTU Kembangkan Pariwisata Budaya dan Religi
Arena bebas ini kemudian menciptakan relasi dominasi eksploitasi di tengah para pelaku wisata. Jika kita sempat berjalan-jalan ke pelabuhan Labuan Bajo sekarang ini, lantas terlibat ngobrol dengan para pelaku wisata dari kalangan kapal Open Deck, telinga kita bakal disuguhkan dengan rentetan keluh kesah mereka di tengah kerasnya persaingan usaha kapal wisata di laut Labuan Bajo akhir-akhir ini.
Untuk diketahui, para pelaku wisata Open Deck ini, rata-rata merupakan nelayan yang belakangan ini mencoba peruntungan di dunia pariwisata, lantaran area tangkapan ikan yang semakin sempit menyusul pengetatan regulasi zonasi konservasi dalam Taman Nasional Komodo (TNK).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi kapal jenis ini. Berukuran kecil, masih mengandalkan mesin engkol, tidak ber-cabin dan belum memiliki perlengkapan lain layaknya kapal-kapal mewah di Labuan Bajo. Ketika ditanya terkait prospek ekonomi dari usaha kapal wisata, jawaban yang kerap terlontar dari mulut mereka adalah “ya kami ini tergantung rezeki saja”.
Bagaimana tidak, kapal-kapal ini harus sabar menunggu tamu yang kebetulan langsung ke pelabuhan dan menunjuk langsung kapal mana yang bakal mereka gunakan untuk berwisata ke Pulau-Pulau dalam kawasan TNK. Kisah mereka, biasanya tamu-tamu tersebut rata-rata adalah orang bule. Sebab katanya, orang bule itu lebih memilih kapal yang modelnya nyentrik, tanpa hambatan untuk melihat kiri-kanan dalam kapal karena tidak terhalang cabin.
Situasi ini lantas bak langit dan bumi dengan kapal-kapal mewah yang sudah membangun jaringan bisnis yang sudah sangat teratur, terukur dan pasti. Berkolaborasi baik dengan biro travel, guide, bahkan sebagian dari antaranya memiliki usaha biro travel tersendiri, kapal-kapal ini tidak sulit mendapatkan tamu, tinggal menunggu di tempat saja. Mengangkut tamu dalam jumlah yang besar, fasilitas safety yang jauh lebih terjamin, hari berlayar yang sudah terjadwal pasti, membuat kapal-kapal ini begitu laris manis.
Di tengah situasi pahit ini, signal-signal persaingan yang konon jauh lebih beringas lagi santer tersebar di seantero laut Labuan Bajo hari-hari terkahir ini. Konon, pembangunan marina yang tinggal menghitung bulan bakal kelar, akan menciptakan apa yang disebut dengan Labuan Bajo yang teradministrasi dan terstandardisasi.
Karena itu, kapal-kapal kecil yang dalam banyak hal tidak memenuhi administrasi terlebih juga jauh di bawah standard kelayakan sebuah kapal wisata, dengan sendirinya tersingkir. Nasib na’as bakal dialami para pengusaha kapal Open Deck ini. Maju kena, mundur kembali jadi nelayan pun kena. Mudah-mudahan berita ini tidak benar. Labuan Bajo yang teradministrasi dan terstandardisasi diharapkan tetap membuka ruang usaha bagi kaum jelata ini.
Cerita di atas, hanyalah sebagian kecil dari kondisi peta ekonomi-politik pariwisata di Labuan Bajo dan bukan tidak mungkin bakal menjadi kondisi umum pariwisata di NTT dalam hari-hari ke depan.
Mempolitikan Pariwisata
Menyikapi situasi di atas, politik mesti dipanggil untuk turun tangan. Pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun Kabupaten di NTT, legislatif sebagai lembaga agregasi kepentingan dan elemen civil society harus urun rembuk untuk merancang bersama pariwisata NTT. Jangan biarkan pariwisata NTT ibarat “tabur lepas”.
Tugas pemerintah dan DPR tidak boleh hanya sebatas memastikan fasilitas infrastruktur, membuka keran lebar-lebar bagi investor pariwisata, tanpa merancang regulasi untuk memastikan kue kesejahteraan melalui pembangunan pariwisata itu terbagi sama rata.
Sebagian konkretisasi upaya mempolitikan pariwisata itu kira-kira seperti ini. Mungkinkah melalui campur tangan pemerintah, semua hotel di Labuan Bajo wajib menggunakan gula Manggarai (gola malang) sebagai gula pilihan untuk minuman manis? Dapat pulakah melalui komitmen pemerintah setempat, semakin banyak sanggar tarian daerah yang ditampilkan sebagai suguhan bagi para tamu di hotel?
Sementara itu, sebagai pelaku wisata lokal kita selayaknya jangan berjalan sendiri-sendiri. Ada banyak asosiasi pelaku wisata di Labuan Bajo. Ada ASITA untuk pengusaha biro travel, HPI untuk para guide, Askawi untuk kapal pariwisata.
Mungkinkah asosiasi-asosiasi ini sering duduk bersama untuk menghasilkan semacam lembaran rekomendasi kebijakan untuk pemerintah setempat. Satu minggu belakangan ini, forum penyelamat pariwisata Manggarai Barat (Formapp) telah dibentuk. Forum-forum seperti ini baiknya perlu ditambah untuk mendukung pemerintah demi meng(NTT)kan pariwisata di NTT.