Oleh Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang
Satu soal yang sering dilupakan oleh pegiat demokrasi di republik ini ketika musim caleg tiba ialah visi caleg dalam pemberantasan kemiskinan.
Selama ini, semua pihak, terutama penyelenggara pemilu hanya sibuk berurusan dengan realitas postfactum korupsi. Sebuah fakta akan pengalaman masa lalu para caleg ketika dihubungkan dengan perilaku korupsi.
Soal regulasi yang memeriksa rekam jejak caleg memiskinan masyarakat jarang bahkan belum pernah ada. Yang ada hanyalah silogisme rasional. Bahwa korupsi merupakan fungsi dari kemiskinan di Indonesia. Karena itu, yang harus dibasmi ialah korupsi dan bukan kemiskinan.
Logika seperti itu tidak selamanya salah. Bisa saja benar. Sebab, dalam banyak kasus, uang untuk tujuan pembangunan dicuri dan dikorup masuk ke saku elit kekuasaan. Itulah alasan mengapa KPU keras melarang napi korupsi menjadi caleg.
Hanya, menurut saya, aturan itu sebatas mengatur soal kepatutan semata. Aturan itu masih bersifat umum. Dia belum masuk ke soal-soal lain termasuk praktik pemiskinan masyarakat. Di situ KPU lemah.
KPU belum berhasil merumuskan aturan yang melarang orang dan atau pejabat yang pernah menyalahgunakan wewenang sehingga memunculkan kemiskinan di masyarakat.
Realitas kegagalan KPU dan KPUD memeriksa rekam jejak caleg terkait dengan pemberantasan kemiskinan tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga di daerah. Di NTT, wacana memeriksa visi misi caleg dalam pemberantasan kemiskinan tidak pernah dilakukan oleh semua elemen prodemokrasi.
Realitas Faktual
Ratusan orang di daerah ini ramai mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif. Data yang dirilis KPUD NTT menyebutkan terdapat 957 orang mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif.
Mereka terdiri dari 608 caleg laki-laki dan 349 perempuan dan datang dari 16 partai politik. Manusia sebanyak itu akan bertarung di delapan daerah pemilihan di seluruh NTT.
Di tingkat pusat, sebanyak 14 orang pejabat dan mantan pejabat berikut dua orang istri bupati dan seorang istri gubernur bersaing mendapat kursi di parlemen. Fakta itu menunjukkan bahwa kekuasaan memproduksi dan mereproduksi kekuasaan pula; entah dalam bentuk yang sama atau dalam bentuk yang lain (ntt.kpu.go.id, 2018).
Di sisi yang lain, BPS Perwakilan NTT menyajikan data menarik terkait dengan kemiskinan di NTT.
Pada Maret 2018, penduduk miskin di NTT bertambah 7,4 ribu orang. Seperti dilaporkan VN (17/07), tingkat kemiskinan di NTT hingga Maret 2018 mencapai 21,35 persen. Disebutkan, pada Maret 2018, warga miskin di NTT mencapai 1,14 juta orang.
Dari segi persentase, angka ini memang sedikit menurun dibandingkan dengan jumlah di bulan September 2017 dan tahun-tahun sebelumnya. Pada September 2017, warga miskin di NTT mencapai 21,38%.
Banyak orang terkecoh oleh penurunan angka kemiskinan. Menurut anggapan pengambil kebijakan, penurunan angka kemiskinan dianggap sebagai prestasi pengambil kebijakan meski kecil. Tidak salah.
Masalahnya, pengambil kebijakan lupa bahwa angka tersebut merupakan hasil pembagian dari penduduk yang telah bertambah. Karena itu, warga miskin di NTT sebenarnya bertambah dan bukan malah berkurang.
Bulan September dua tahun lalu, jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.150.080 orang dari 5,2 juta penduduk. Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di NTT pada bulan Maret 2016 sebesar 1.149.920 orang.
BPS menilai, sektor konsumsi menjadi penyumbang terbesar angka kemiskinan di NTT. Data ini seakan mendapatkan pembenaran ketika dikonfirmasi dengan riset yang dilakukan oleh teman-teman IRGSC Kupang beberapa waktu lalu. Dalam sebuah diskusi (PK, 04/01), IRGSC menyimpulkan bahwa kemiskinan di NTT memang dimonopoli oleh sektor konsumsi.
Penyebab utamanya adalah karena negara tidak mampu menyediakan sumber energi yang cukup untuk dipakai oleh masyarakat. Masih banyak warga yang tidak memeroleh dan mendapatkan sistem penerangan.
Fakta menarik lain dari data kemiskinan yang dirilis BPS, adanya disparitas yang tinggi kemiskinan penduduk di kota dan di desa. Pada Maret 2018, angka kemiskinan di kota mencapai 9,94 persen sedangkan di desa mencapai 24,74 persen. Indeks kemiskinan mengalami pergerakan ke arah yang lebih baik, sebab kedalaman dan keparahan kemiskinan perlahan-lahan mulai menurun (VN, 17/07).
Pragmatisme Politik
Bagaimana menjelaskan banyaknya orang yang terlibat dalam proses kandidasi caleg dengan fenomena kemiskinan visi pemberantasan kemiskinan pada caleg di NTT? Jawabannya terletak pada pragmatisme politik.
Membaca banyaknya orang yang terlibat dalam kandidasi berikut masih tingginya angka kemiskinan di NTT, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kekuasaan, oleh beberapa orang tertentu, dipakai untuk membentuk kekuasaan dalam modelnya yang lain.
Meminjam Giddens (1984), modalitas ternyata dipakai untuk memproduksi beragam kekuasaan itu. Di sini, modal sosial, politik, ekonomi dan budaya dikerahkan untuk membentuk kekuasaan dalam wujud yang lain.
Meminjam analisis Sullivan (2002) dalam Marx for a Postcommunist Era, On poverty, Corruption, and Banality kemiskinan disebabkan karena korupsi politik dalam cakupannya yang luas. Bahwa kemiskinan merupakan fungsi dari mandeknya kucuran kebijakkan prorakyat oleh para elit politik dan banalitas korupsi di titik yang lain.
Merujuk pada praktik politik di lapangan, sulit untuk tidak mengatakan bahwa elit kekuasaan memang tidak menginginkan lahirnya pemimpin-pemimpin berkualitas di semua level. Kita gagal merancang sistem politik yang berujung pada munculnya pemimpin yang berwawasan kebangsaan.
Karena itu, dapat dipahami mengapa proses kandidasi caleg dilakukan dengan amat instan. Kandidasi caleg di daerah dan republik ini jauh dari model politik integritas. Partai, sebagai mesin produksi caleg memang sengaja mendesain model politik instan.
Faktanya, mereka yang terlibat dalam politik menjadi sangat pragmatis. Pragmatisme menyebabkan elit menjadi seperti dealer politik ketimbang pemimpin politik. Di sana, politik dianggap sebagai lapangan pekerjaan yang bisa mendatangkan uang. Akibatnya, harapan untuk menyelesaikan semua masalah kemiskinan menjadi sulit terwujud.
Dealer Politik
Elit politik sungguh memahami politik hanya sebagai alat yang dapat dipakai untuk tujuan ekonomi. Benar. Masalahnya, alat yang sama itu kemudian dipakai bukan untuk tujuan bersama tetapi untuk kepentingan diri dan kelompok.
Di titik ini, kita menemukan titik lemah politik Indonesia. Politik jarang bahkan tidak pernah dilihat sebagai tanggung jawab untuk kesejahteraan bersama.
Secara ideal, politik mengandaikan adanya rekrutmen dan proses pendidikan politik. Di sana ditanam nilai-nilai kebangsaan dan integritas. Sebuah nilai yang menjunjung tinggi kemanusiaan Indonesia. Sulit rasanya mendapatkan manusia politik yang cerdas (bukan pintar) jika proses itu dibuat menjadi sangat instan. Kita gagal di situ.
Harus disadari pula bahwa pilihan seseorang menjadi caleg, hemat saya, lebih didorong oleh dua motif utama yakni ekonomi dan kekuasaan.
Perselingkuhan dua motif itu menyebabkan negara dan daerah ini berjalan di tempat. Daerah ini tetap menjadi primadona kemiskinan. Ketika dua hal itu tidak dikontrol maka peradaban bangsa berjalan mundur dan perkembangan demokrasi menjadi sangat lamban.
Maka, membaca dan memeriksa karakter individu dan sosial calon anggota legislatif menjadi penting untuk dilakukan oleh setiap orang. Sekarang dan saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memeriksa mereka yang masuk menjadi caleg itu.
Yang diperlukan adalah menggugat dan terus bertanya tentang visi para calon dalam pemberantasan kemiskinan di NTT.
Karakter calon legislatif jelas tidak ditentukan seberapa keras suaranya, seberapa gagah penampilan, seberapa fasih berbicara dan lain-lain. Penampilan fisik belum cukup. Munafik, simbolik, dan artifisial kental ditunjukan oleh banyak elit kita saat ini. Hipokrit di ujungnya.
Merujuk pada penjelasan di atas, masyarakat dituntut untuk jeli dan cerdas memilih calon wakilnya.
Berbagai soal yang terus menerus menghantui daerah di level kabupaten/kota dan provinsi dalam beberapa tahun terakhir bisa saja, salah satunya, disebabkan karena wakil rakyat tidak mampu mengelolah beragam potensi dan kekuatan serta aset daerahnya menjadi peluang untuk kepentingan bersama. Para caleg gagal merumuskan kebijakkan prorakyat.
Padahal, wakil rakyat adalah mereka yang tidak meresahkan masyarakat karena beragam soal dan masalah ‘salah urus’.
Wakil rakyat adalah mereka yang tidak menyibukan lembaga KPK, kepolisian, dan aparat keamanan lain karena kasus pencurian uang negara dan pemiskinan sistemik.