Oleh : Deddy Febrianto Holo
Anggota WALHI NTT
Sekapur Sirih
Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Provinsi Nusa Tenggara Timur, sekitar 96 KM di sebelah selatan pulau Flores 295 di sebelah barat daya pulau Timor dan 1.125 km di sebelah barat laut Darwin, Australia.
Pulau Sumba berada pada busur luar kepulauan Nusa Tenggara Timur dan pada busur tersebut pulau Sumba terletak antara pulau Sumbawa dan Pulau Timor. Secara astronomis Sumba Timur membentang antara 119̊45’-120̊ BT dan 9̊16’-10̊20’ LS.
Luas Kabupaten Sumba Timur adalah 7000,5 km2 atau 7000, 500 Ha, dengan bagian terbesar adalah daratan bagian Timur Pulau Sumba, dan empat pulau kecil yaitu Pulau Salura (03,50 km2), Pulau Mengkudu (0,2 km2), Pulau Kotak (01,00 km2), dan Pulau Nusa (0,55 km2). (Sumber; pemda kab. Sumba Timur).
Kabupatan Sumba Timur seperti daerah lainnya di NTT terus bergerak- berubah- berkembang dengan irama sendiri. Bumi belahan Timur marapu, Sumba Timur adalah fakta, adalah masalah, adalah harapan.
Sebagai fakta dan masalah, betapa perjalanan sangat panjang telah dilalui dengan berjuta kendala pembangunan. Sebagai harapan justru di tengah berjuta kendala pembangunan itulah berbagai kiat dan upaya maksimal terus dipacu demi Sumba Timur yang makmur-sejahtera, bahagia seperti dipaterikan baitan adatnya ; Matawai Amahu Pada Njara Hamu.
Baitan adat yang sangat filosofis sungguh mencambuk secara konstruktif, bagaimana karakter geografis jadi pijakan tuntutan. Betapa bumi air Sumba Timur itu sendiri menurut Dr. Robert Lawang adalah sumber energi sosial positif, seperti juga daerah lain di NTT.
Sumba Timur dengan sungai-sungainya, dengan perairan laut yang mengitari bagian utara selatan dan timur plus sejumlah pulau-pulau kecilnya, dengan daratan yang berbukit – bergelombang atau daratan yang luas membentang adalah sumber energi sosial positif itu.
Pelajaran dari masa lalu, Catur Program Pembangunan Sumba Timur dengan pola pendekatan Humanis dituaskan sebagai kiat operasional fungsional, penajamannya dengan penjabarannya, dengan sangat memperhatikan kearifan lokal. Sumba Timur ternyata tidak hanya melekat dengan kebudayaan marapu yang begitu mengakar tetapi juga dengan ramuan-menu kebudayaan dari luar/seberang seperti Arab, Cina, Jawa, Bima, Sabu, Ende/Flores. Sumba Timur telah terbuka sudah sejak dahulu kala dan akan terus terbuka, semakin menganga-melebar dan menantang.
Seperti yang dikatakan oleh Ir. Umbu Mehang Kuda dalam buku ‘Ringkinya sandel, harumya cendana (B. Michael Beding dan S. Indah Lestari Beding)
“ Ketika matahari mulai menguning-jatuh-tenggelam-lelap di pusara : bersama derap-deru-debu ternak pulang kandang; bersama ina dan ama di bale-bale rumah tua temaran; bersama bercerita tentang indahnya Matawai Amahu-Pada Njara Hamu-Sumba Timur. Dan, ketika matahari mulai terbit, semuanya harus dibayar dengan sejuta karya nyata. Harus !
Sejarah pembangunan Sumba Timur tidak lagi dalam balutan budaya dan filosofi “Matawai Amahu Pada Njara Hamu”, catatan punulis kali ini coba melihat dari sudut pandang yang berbeda tentang bagaimana penataan pembangunan Sumba Timur berbasis pada nilai budaya dan kearifan lokal yang semakin tergerus arus perkembangan teknologi.
Fakta dan masalah seperti pada catatan di atas menunjukan bahwa pemimpin terdahulu sudah jauh memikirkan bagaimana membangun Sumba Timur dengan pendekatan berbasis humanis-kearifan lokal. Namun, fakta hari ini jauh keluar dari jalan menuju Matawai Amahu Pada Njara Hamu.
Semaraknya peternakan yang menjadi karakter Sumba Timur tidak lagi dirasakan hingga generasi saat ini, bagaimanapun sejarah Sumba Timur dalam dunia perternakan dahulu kala mendapat pujian yang luar biasa.
Masih teringat ketika orang-orang Sumba dulu menyebut nama rerumputan di padang sabana mereka dengan sebutan khas seperti Mapoe mbelar pingi, Mapoe rara, Mapoe bara, Roemba mini, Mapoe pendji, Kamala litap dan masih banyak lagi sebutan budayanya.
Padang penggembalaan Ternak (Hilang) Vs Perkebunan Tebu (Hadir)
Sebagai bumi peternakan, Sumba Timur mempunyai lahan penggembalaan yang sangat karakteristik, Sumba Timur adalah daerah padang penggembalaan yang membukit-mengelombang dengan hamparan daratan di berbagai tempat. Sejauh-jauh mata memandang.
Sumba Timur memiliki luas padang penggembalaan 215.797 Ha yang dialiri sekitar 88 buah sungai utama. Tanah tandus 12.521 Ha, semak/padang/alang 592,152,14 Ha. Yang lainnya hutan 66.199,86 Ha, Kebun 21.391, 76 Ha, sawah 2.982,74 Ha dan desa/kota 4.796, 5 Ha. Dan memiliki 33 jenis rumput yang sangat berguna bagi ternak. (Sumber : Dinas Peternakan Kab. Sumba Timur, 2002)
Dalam beberapa tahun terakhir sektor peternakan di kabupaten Sumba Timur semakin berkurang. Banyak faktor yang mempengaruhi sektor ini salah satunya akibat adanya alih fungsi lahan padang penggembalaan ternak menjadi ladang perkebunan tebu yang sampai saat ini masih terus dipertanyakan kehadirannya oleh masyarakat Sumba Timur.
Dalam pengamatan penulis ruang wilayah kelola rakyat hari ini semakin sempit akibat adanya alih fungsi lahan oleh PT. MSM. Dahulunya padang difungsikan sebagai tempat penggembalaan ternak kini tidak lagi bisa diakses secara baik oleh peternak. Belum lagi persoalan daya dukung lingkungan yang tentu saja mengalami dampak dari alih fungsi lahan tersebut.
Potret Buruh Perkebunan Tebu
Dembi Tamar (45) seorang perempuan yang berprofesi sebagai buruh harian lepas perkebunan tebu PT. Muria Sumba Manis di Desa Matawai Maringu, Kabupaten Sumba Timur adalah potret nyata betapa ironisnya kehidupan buruh yang hak-haknya diabaikan oleh p erusahaan. (Baca; “Bau Amis” dibalik manisnya Gula ). Dembi Tamar dahulunya seorang patani yang kini beralih profesi menjadi buruh diperkebunan tebu harus menahan penderitaan selama 21 bulan di rumahnya.
Kasus kecelakaan yang dialami Dembi Tamar saat sedang bekerja di kebun tebu yang kemudian tidak mendapatkan perhatian dan akses dari perusahaan menjadi catatan buruk sejarah investasi di kabupaten Sumba Timur. Inilah gambaran umum kasus yang terjadi di perkebunan tebu. Dan masih banyak lagi kasus baik itu pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, hilangnya situs-situs budaya Sumba.
Peternak yang Kehilangan Padang Penggembalaan
Ekspansi perkebunan tebu PT. Muria Sumba Manis 52.000 Ha menjadi ancaman serius keberlanjutan ekologis dan ruang wilayah kelola rakyat. Di atas penulis sudah menggambarkan secara umum sektor-sektor unggulan yang seharusnya tidak diganggu dengan berbagai model pendekatan pembangunan yang baru (bukan dalam arti menolak) yang bila dilihat secara detail, strategi pembangunan (investasi perkebunan) ini belum disiapkan secara matang oleh pihak pemerintah terkait dampak dari kebijakan tersebut.
Tiga tahun terakhir di Sumba Timur begitu maraknya investasi perkebunan monokultur seperti tebu dan lain-lain menjadi salah satu faktor utama munculnya berbagai konflik antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Bahkan bisa dianalisa alih fungsi lahan ini menjadi biang kerok berkurangnya lahan dan ternak di kabupaten Sumba Timur.
Data Dirjen Planologi kehutanan merilis jumlah hutan primer di Sumba Timur pada tahun 2009 hanya 4,5 persen dari total luas daratan. Perkebunan tebu PT. MSM di kabupaten Sumba Timur-NTT memilki wilayah konsesi seluas 52.000 Ha konsesi perusahaan ini berada di 30 Desa di 6 Kecamatan di Sumba Timur.
Potret masyarakat peternak Sumba Timur kini tidak bisa kita temui seperti dahulu kala, ada perubahan dan pergeseran yang begitu besar terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Tersingkirnya petani/peternak dari tanahnya untuk digiring menjadi buruh industri yang murah menjadi persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat Sumba saat ini.
Berawal dari sinilah konflik agraria dan kemiskinan terus berakumulasi menjadi bibit-bibit lahirnya gejolak sosial yang lebih luas. (perjalanan yang belum berakhir).
Krisis ekologis yang dirasakan saat ini dari kehadiran perkebunan tebu sudah semakin masif, daya dukung lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas tidak lagi menjadi refrensi dari industri perkebunan di pulau Sumba. Banyak kerusakan lingkungan yang terjadi, seperti ketika perusahaan memakai hutan lindung Mbula di Desa Wanga lewat dinas Kehutanan melalui mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Hutan lindung Mbula merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar pesisir, bukan saja manfaat ekonomi dan ekologis, namun manfaat sosial budaya pun kian terancam hilang akibat konsesi lahan perkebunan. Inilah fakta dimana pemerintah daerah pun mengaminkan keinginan perusahaan tanpa memikirkan dampak sosial bagi masyarakat yang bergantung pada alam.
Air yang terdapat dalam hutan Mbula dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengairi perkebunan tebu, disisi lain daya dukung lingkungan tidaklah cukup seperti data yang dirilis oleh sebuah lembaga akademis menyatakan bahwa kebutuhan air untuk perkebunan tebu rata-rata dalam sehari mencapai 7.500 meter kubik. Ini jumlah yang sangat besar.
Kondisi pulau Sumba yang rentan dengan perubahan iklim kini menjadi perhatian serius untuk memulihkan tanah ini dengan cara yang bijaksana.
Keseimbangan manusia dengan alam perlu dijaga dengan perilaku dan karakter pembangunan yang ramah terhadap lingkungan sekitar. Pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan haruslah berpijak pada nilai dan budaya pelestarian. Kelestarian budaya, nilai dan lingkungan di Sumba tentu membutuhkan sentuhan kebijakan dari Gubernur dan Wakil Gubernur baru NTT.