Oleh: Itz Minta
Pada derajat tertentu reformasi yang dikumandangkan oleh para aktivis dan mahasiswa sebagai reformator utama mendatangkan sebuah angin segar bagi rakyat yang mencintai kebebasan.
Sayangnya, merebaknya fenomena politik identitas akhir-kahir ini turut melunturkan perjuangan reformasi yang telah digagas 21 tahun silam. Alih-alih merekontruksi sistem politik dengan demokrasi sebagai panutan dalam berpolitk, ternyata bahaya politik identitas terus memboncengi demokrasi kita.
Setidaknya terdapat beberapa hal yang patut ditelaah terhadap isu identitas yang semakin menunjukan kesangarannya.
Sebuah Kejanggalan
Pertama, isu ini akan memicu konflik horizontal. Karena politik identitas menggunakan SARA sebagai instrument utama dalam mencapai tujuannya, maka dalam masyarakat akan timbul suatu pemikiran tentang ‘kami’ konsep tentang ‘kita’ tidak lagi menjadi tolok ukur bersama.
Hal ini turut menjadi momok yang menakutkan di kemudian hari. Saling mengklaim kepentingan kelompok barang tentu akan turut mempertajam polarisasi konflik antar masyarakat. Ketika dominasi-domonasi digagas atas latar belakang tertentu maka hal ini juga akan memicu sebuah ketegangan terhadap kelompok lain yang keberadaannya tak dihargai lagi, sehingga akan timbul sebuah perlawanan yang berujung pada konflik terhadap dominasi-dominasi struktural tersebut.
Kedua, menciptakan penguasa elitis yang hanya mementingkan kepentingan identitas elitnya saja. Sadar atau tidak secara kasat mata struktur pemerintahan saat ini telah didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang menamakan diri sebagai kelompok elite.
Perkoncoan para elite di tubuh wakil rakyat dan pemerintah dapat ditafsir sebagai proses menuju pemebentukan kelompok yang sarat dengan identitasnya sebagai kaum elite. Tak heran jika semangat untuk berkuasa tetap bersemi di dalam diri kaum elite.
Mengentalnya personalisasi kakuasaan oleh kaum elite akan berimplikasi pada lahirnya produk-produk hukum nasional yang tidak sesuai dengan kepentingan dan situasi masyarakat. Misalnya saja polemik seputar UU MD3 yang sangat kontroversial. Kasus ini secara gamblang mau menunjukan bahwa ada sebuah upaya dari kaum elite untuk terus mereduksi hukum agar terus menjadi titik pijak bagi para predator rakus untuk terus bertahan pada posisinya.
Di sini terlihat dengan begitu jelas bahwa opurtunisme kelompok lebih diutamakan ketimbang kebutuhan akan kepentingan khalayak umum.
Ketiga, merusak identitas bangsa. Format identitas bangsa tercantum dengan jelas dalam semboyan Bineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Pluralitas yang bersemayam dalam keanekragaman akan hancur berkeping-keping tatkala masyarakat pada dimensi tertentu lebih mementingkan identitas kelompoknya sendiri dari pada identitas bangsa. Ketika kepentingan kelompok sendiri lebih diutamakan maka dengan sendirinya identitas bangsa akan tercoreng.
Mengantisiasi politik identitas
Ikrah N Bhakti (HU Kompas, 17/10/2017) dalam tulisannya menjelaskan bahwa “tak ada formula tunggal bagi keberhasilan demokrasi sehingga jalan menuju demokrasi sesungguhnya tak mudah, tetapi bumpy (penuh ganjalan).
Memang benar bahwa proses menuju demokratisasi selalu tersendat oleh berbagai rintangan salah satunya adalah politik identitas. Format demokrasi yang disusun dan dicetuskan kini hanyalah sebatas gagasan yang diwarnai oleh retorika-retorika yang berorientasi parsial saja. Dalam artian bahwa gagasan-gagasan atas nama demokrasi bukan lagi menjadi kunci untuk menciptakan suatu kesejahtraan umum (bonum commune) tetapi kesejahtraan kelompok dengan identitas tertentu.
Agaknya hegemoni strukturalis masih menganga dan menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Praktek-praktek oportunis dalam tubuh wakil rakyat maupun pemerintah mengafrimasi bahwa negara ini sedang berada dalam sebuah krisis yang akut.
Untuk itu demi melawan fenomena politik identitas yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi, penulis mencoba unntuk menawarkan beberapa gagasan pokok berikut.
Pertama, membangun nalar publik. Lambang Trijono dalam HU kompas (22/11/2017) mengaskan bahwa negeri kita saat ini sedang berada dalam situasi darurat politik. Namun, lanjut Trijono demokrasi tidak akan pernah kehilangan daya aktualisasi dan aktivasinya untuk memperbaharui diri.
Kekuatan terbesar dari demokrasi adalah kemampuaannya memproduksi nalar publik yang berkembang dari proliferasi kebebasan dan kesetaraan yang dijalankan dalam praktek politik. Nalar publik akan membuat demokrasi semakin mendapatkan statusya yang khusus dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk dominasi dan hegemoni yang berbau identitas tertentu.
Kedua, memperkuat identitas bangsa. Momentum sumpah pemuda yang baru-baru ini kita peringati menjadi tolok ukur utama bagi masyarakat untuk merefleksikan hakikat identitas bangsa. Sumpah para pemuda yang didengungkan 90 tahun yang lalu harus menjadi corong utama bagi masyarakat agar bersatu padu melawan segala bentuk hegemoni yang berkelindan dalam aktus harian kita.
Didi Kuartanada (HU kompas, 29/10/2018) mengemukakan bahwa saat identitas bangsa menguat, maka sebuah bangsa akan bergerak menuju kepada sebuah kemajuan dalam demokrasi. Oleh sebab itu memperkuat identitas bangsa menjadi hal urgen bagi setiap masyarakat.
Ketiga, memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Hal utama yang harus diketahui masyarakat adalah menyadari bahwa mereka adalah rakyat. Untuk itu tugas ini lebih meinitikberatkan peran kaum intelektual agar mampu menyadarkan rakyat bahwa mereka adalah masyarakat yang berkuasa atas negara. Rakyat adalah penguasa, mereka bukanlah masa yang digerakkan oleh penguasa.
Rakyat tebentuk dalam sebuah komunitas besar yang disebut negara, sehingga dalam negara demos – rakyat adala penguasa – kepentingan rakyat secara umum adalah adalah satu-satunya hal yang harus dipenuhi, bukannya kepentingan parsial semata.
Tugas para intelektual menjadi sangat dominan untuk menciptakan kultur politik yang demokratis. Orientasinya jelas bahwa agar masyarakat tidak lagi berpikir bahwa identitas kelompok adalah satu-satunya yang utama, tetapi supaya masyarakat tahu bahwa kepentingan umum harus lebih diutamakan.
Sebentar lagi (2019) bangsa ini akan mengadakan pesta demokrasi, yakni pemilihan eksekutif (presiden dan wakil presiden) dan legislatif (DPR/DPRD dan DPD).
Suhu perpolitikan di kancah nasional mapun lokal akan menjadi tak stabil. Politisi-politisi mulai berkelindan dalam menebarkan jargon-jargon politik yang sarat akan isu identitas. Hal ini menjadi awasan bagi setiap elemen masyarakat untuk tidak lagi mudah terprovokasi dengan isu-isu identitas.
Masyarakat diharapkan untuk selalu menggunakan nalarnya demi identitas kolektif (identitas bangsa) dan akhirnya bisa mangaktualisasikan pendidikan politik yang baik dalam menentukan pilihan. Sebab nasib bangsa ini berada di tangan anda sekalian.(*)