Oleh: Liliyanti Daiman*
Di tengah kehidupan Negara yang semakin kacau dan memudarnya nilai toleransi dalam masyarakat Indonesia, kita dituntut untuk semakin sadar akan arti kehidupan bebangsa yang sesungguhnya.
Prinsip hidup dan keyakinan menjadi patokan bagi kita untuk berbuat sesuai dengan etika dan norma yang berlaku pada umumnya.
Salah satu kasus yang kian santer diperbincangkan publik adalah dugaan penistaan agama oleh calon petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) saat berkampanye di Kepulauan Seribu berapa bulan lalu.
Isu ini kemudian berkembang menjadi isu agama oleh kelompok tertentu yang berpotensi meruskan persatuan dan kesatuan bangsa.
Masalah ini pun menjadi semakin dinamis ketika menguatnya dugaan permainan politik diantara para politisi yang sedang bertarung merebut kekuasaan.
Dalam konteks politik, fenomena ini merupakan bagian dari kontestasi political power dan ekonomi yang dengan sendirinya mengarah kepada kemunduran demokrasi.
Demokrasi yang seharusnya mengayomi segala bentuk perbedaan, justru menjadi demokrasi yang radikalisme.
Bersamaan dengan itu, di tengah kemajuan dunia informasi dan teknologi yang tidak terbendung ini, digitalisme media telah menjadi alat propaganda.
Penyebaran informasi yang cepat dan tidak terkontrol menjadi sisi negatif dari digitalisme. Tidak hanya alat, manusia-manusia yang terlibat di dalamnya pun merupakan manusia digital yang dengan mudahnya terhasut oleh pemberitaan-pemberitaan yang tidak akurat serta propaganda primer.
Keadaan demikian menempatkan demokrasi dalam posisi yang dilematis dan mengarah pada pragmatis. Demokrasi dalam dirinya sendiri menempatkan kebebasan berekspresi sebagai identitasnya.
Namun di lain pihak demokrasi, kebebasan tersebut telah menjadi bomerang bagi kelangsungannya.
Keberagaman media dengan berbagai kepentingan itu memperlihatkan kemajemukkan persepsional. Persoalan yang sama dapat diberitakan dengan formulasi dan interpretasi yang berbeda.
Dengan demikian, jelas bila setiap pemberitaan media dapat melahirkan pro dan kontra dihadapan khalayak. Fenomena (penistaan agama) yang melibatkan Ahok menjadi salah satu contoh nyata bagaimana media dapat menampakkan wajah yang berbeda.
Demokrasi dan Media Online
Prinsip dasar dalam demokrasi adalah kebebasan. Salah satu bentuk kebebasan demokrasi adalah kebebasan berpendapat.
Kebebasan ini berlaku bagi seluruh warga Negara. Setiap orang memiliki pandangannya sendiri atas suatu sistem pemerintahan yang sedang berlangsung.
Namun tidak semua warga Negara memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses kebebasan berpendapat (politikus pasif).
Tidak mengherankan, persepsi / opini publik sangat bergantung pada wacana orang-orang yang memiliki akses untuk berpendapat (politikus aktif).
Politik praktis demikian, tentu menjadi semakin mudah ketika orang mampu menguasai atau memiliki sarana penyaluran pendapat yakni media.
Kehadiran media online, memungkinkan bagi banyak kalangan untuk mencari dan membagi berita. Pemaknaan kebebasan berpendapat yang harafiah membuat banyak orang berlomba-lomba untuk membuat medianya sendiri.
Keadaan menjadi semakin buruk ketika kuantifikasi media berbanding terbalik dengan kualifikasinya. Ataupun jumlah media tidak sebanding dengan kualitas jurnalistiknya.
Minimnya pemahaman dasar-dasar jurnalistik mengenai isi pemberitaan telah mengaburkan makna jurnalisme. Pemberitaan yang tidak objektif dan tidak faktual menjadi ciri khas keberadaan kebanyakan media-media online saat ini.
Kepentingan ‘ideologis’ menjadi lebih kuat dibandingkan dengan realitas atau fakta lapangan.
Unsur kepentingan dengan berbagai faktor pendukungnya justru menimbulkan perbedaan pandangan. Hal ini semakin diperparah ketika berita yang dimaksud telah dibumbuhi dengan sisi keberagaman seperti SARA dan sebagainya.
Sampai disini demokrasi semakin memperlihatkan kepincangannya. Demokrasi membiarkan dirinya dihimpit oleh berbagai kepentingan.
Di saat yang sama pengelompokkan masyarakat mulai terbentuk dengan sendirinya. Kesadaran sosial dilandasi atas dasar kesamaan dan humanisme menjadi lebih aktual ketika ada homogenitas.
Hal ini nampak jelas dalam perbedaan pendapat antara netizen, yang dapat kita simak dalam kolom komentar di akhir setiap pemberitaan media online.
Media Sosial
Salah satu fenomena sosial teknologi saat ini adalah keberadaan media sosial. Penciptaan media sosial secara sosiologis pada dasarnya bertujuan untuk mencapai komunitas sosial yang universal.
Selain itu, media sosial juga memungkinkan setiap warga Negara untuk mengekspresikan dirinya. Ekspresi ini dapat berupa identifikasi diri, kritik sosial ataupun opini pribadi.
Melalui media sosial, setiap orang dapat menyampaikan apapun yang dipikirkannya berdasarkan latar belakang individual ataupun pertimbangan lain.
Namun ketiadaan media control terhadap segala bentuk kontent yang dibagikan dalam media sosial ini, telah melahirkan persoalan dasar bangsa. Apalagi ketika persoalan-persoalan yang dimaksud bersentuhan langsung dengan sensitivitas pluralisme.
Kenyataan ini tentu menjadi catatan pinggir bagi hakekat tujuan media sosial. Mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi para pencipta media sosial bila media sosial ini dijadikan alat propaganda yang dapat memecahbelahkan.
Hal ini memperlihatkan tingkat kedewasaan masyarakat dalam menggunakan media sosial yang sesungguhnya bertujuan untuk membangun komunitas sosial yang universal.
Oleh sebab itu, keberadaan media sosial telah menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat luas. Unsur-unsur propaganda SARA menjadi hal yang sangat krusial terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Mudahnya masyarakat mengakses informasi semudah masyarakat dipancing melalui argumentasi-argumentasi personal tertentu.
Demokrasi VS Digitalisme
Mudahnya masyarakat mengakses pandangan politik melalui berbagai media (online dan sosial) memungkinkan ketiadaan filterisasi terhadap isi wacana.
Demikian tidak mengherankan, sentimen SARA menjadi begitu mudah dibok-obok melalui isi wacana. Persoalan penistaan agama menjadi salah satu contoh konkrit bagaimana masyarakat dengan mudahnya dikelompok-kelompokkan.
Beragam pandangan pro dan kontra saling sahut menyahut di dunia maya. Isu-isu perpecahan menjadi tidak terkendali. Apalagi persoalan ini bersentuhan langsung aspek humanis yang metafisik.
Benar adanya bila eksistensi media bertujuan untuk mengontrol gerak jalan demokrasi. Namun, media menjadi kehilangan jati dirinya ketika dijadikan instrument untuk menciptakan konflik kepentingan di antara masyarakat. Rekonstruksi realitas maya melalui setiap pemberitaan menjadi karakter media maya saat ini.
Di sisi yang lain, pemerintah merupakan representase dari roda demokrasi. Selain sebagai pelaksana demokrasi, pemerintah juga merupakan pengontrol demokrasi.
Sudah semestinya pemerintah mengendalikan pemaknaan demokrasi yang serampangan. Dengan demikian, pandangan-pandangan individual yang dapat memecahbelah persatuan bangsa dapat diminimalisir.
Noam Chomsky (2006) membagi konsepsi demokratis yang dijalankan dalam hubungannya dengan media menjadi dua bentuk.
Pertama, masyarakat yang demokratis adalah masyarakat di mana publik memiliki alat yang cukup berpengaruh untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri.
Hal ini berarti bahwa alat-alat informasi tersebut bersifat terbuka dan bebas. Sedangkan konsepsi lainnya, demokrasi adalah publik harus dihalangi dalam usahanya untuk mengatur urusan mereka dan alat-alat informasi harus dikontrol secara ketat.
Pemahaman demokratis yang dianut media harus dipertegas lewat etika jurnalisme maupun ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama.
Selain itu, kesadaran masyarakat atas penggunaan media juga perlu diawasi. Khususnya berkaitan dengan ekspresi yang dituangkan melalui media sosial.
Hal ini bertujuan agar kebebasan berpendapat yang diagung-agungkan demokrasi merupakan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya kebebasan tersebut tidak merenggut kebebasan yang lain.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk mengawasi digitalisme media lewat police cyber, hemat penulis merupakan suatu langkah yang tepat guna mengantisipasi propaganda ideologi yang dapat mengacaukan integrasi bangsa.
Lebih jauh lagi, penindakan preventif dan represif atas penyalahgunaan digitalisme media menjadi paradigma hukum yang praktis untuk meminimalisir sedini mungkin gerakan-gerakan yang dapat mengganggu integrasi bangsa.
Dan penulis yakin, situasi politik yang kondusif dengan demokrasi yang dewasa dapat mewujudkan kebaikan bersama seperti yang dicita-citakan para fundator bangsa ini.
*Penulis adalah putri asal NTT, magister komunikasi tinggal di Jakarta.