Oleh: Germanus S. Attawuwur
Hari ini tidak bisa dilepas-pisahkan dengan hari kemarin. Masa kini tidak mungkin berdiri sendiri dengan masa lalu. Dia adalah untaian waktu yang merupakan satu kesatuan utuh.
Hari ini adalah Hari Jumat Agung, dalam situasi senyap seperti ini, mendorong saya untuk mengajak saudara-saudariku, semua yang hari ini,- pada saat ini -, berada di rumah masing-masing, untuk kita kembali ke tempo dulu. Saya mengajak kita semua, melakukan tapak-tapak undur, untuk berjalan kembali kepada masa silam, ke masa suasana Jumat Agung di tahun-tahun lampau.
Maka, di memori kita akan segera muncul kembali, adegan demi adegan ketika kala itu saat kita memperingati Wafat Yesus, Upacara Suci Jumat Agung.
Tentu dalam benak kita, kita ingat kembali saat kita sama-sama mengikuti Jalan Salib yang dipentaskan Orang Muda Katolik, kita ingat Tablo, yang merupakan”jalan salib hidup” yang diperagakan oleh putra-putri kita di kala itu.
Lalu ketika menjelang siang, pada jam tiga, kita berbondong-bondong ke gereja. Laki dan perempuan, tua dan muda, kecil dan besar, semuanya hendak memberikan “Penghormatan Terakhir kepada Dia Sang Raja yang Berhati Hamba, yang sedang menderita di atas Salib.
Di sini, di dalam Rumah Tuhan ini, kita mendengar Passio, – Kisah Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus,- dinyanyikan dengan begitu sendu.
Kemudian itu, Sang Imam berjalan masuk ke sakristi, mengambil Salib Suci yang masih terbungkus kain, mengangkatnya, sambil dengan suara lirih bernyanyi:” Lihatlah Kayu Salib Tempat Bergantung Juru Selamat Dunia. Lalu dengan khusuknya, umat laki dan perempuan, anak dan remaja, bayi dan lansia, maju satu demi satu untuk memberikan Penghormatan Terakhir, dengan mengecup Salib Yesus.
Suasana seperti yang saya lukiskan tadi, ternyata tidak kita jumpai di Hari Jumat Agung pada hari ini. Kita semua seperti tersalib oleh keganasan virus corona. Tidak sebagaimana biasanya. Tiada seperti lazimnya. Ya, karena memang kita merayakan Hari Suci ini di tengah ancaman dahsyat virus yang mematikan itu.
Maka, di Rumah kita masing-masing, kita akan memberikan penghormatan terakhir, dengan tetap mencium Salib Suci Tuhan. Karena Dengan Salib Suci Tuhan, DIA telah menebus dunia.”
Bila Kamis Putih kemarin kita merayakan Yesus Sang Raja Berhati Hamba yang Melayani, maka dalam upacara kudus memperingati kembali sengsara dan wafat Yesus pada hari ini, sebagaimana dalam bacaan-bacaan suci yang disuguhkan kepada kita,melukiskan Kisah Yesus sebagai Hamba Allah, – Ebed Yahwe – yang rela menderita sebagaimana dilukiskan oleh nabi Yesaya:” Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderuta kesakitan; Ia sangat dihina sehingga semua orang menutup mukanya terhadap dia, dan bagi kita pun dia tidak masuk dalam perhitungan (Yes. 53:3).”
Yesus sungguh-sungguh mengalami penderitaan yang maha dahsyat. Dan sebagai manusia, Yesus takut. Maka dalam ketakutan yang amat itu Hamba Allah Yang Menderita itu memohon kepada Bapa-Nya:” Bapa-Ku, kalau mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari-Ku. Akan tetapi, jangan seperti yang Aku kehendaki, melainkan seperti kehendak-Mu.”
Yesus memohon pada Bapa-Nya agar jika boleh derita itu diambil Bapa-Nya, namun Yesus tidak memaksakan kehendak-Nya kepada Bapa-Nya. Maka di tepian doa itu Yesus berkata:” jangan seperti yang Aku kehendaki, melainkan seperti kehendak-Mu.” Ya, Yesus sungguh-sungguh memasrahkan nasib-Nya kepada kehendak Bapa-Nya sendiri. Jangan seperti yang Aku kehendaki, melainkan seperti kehendak-Mu Bapa, maka terrjadilah.
Selain di Getzemani ketika Dia berdoa sendirian di kesunyian malam itu, kali ini, pengalaman kesendirian di atas kayu salib, Sang Putra Tungga Allah itu merasa sepertinya ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Karena itu, di atas Salib Dia berseru:” “Eli, Eli, lama sabakhtani?” yang artinya, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku (Mat.27:46)?”
Di saat seperti ini, ketika kita, anda dan saya sedang terbelenggu oleh ancaman virus covid-19, kita berada dalam kecemasan yang tinggi, bahkan sampai pada ketakutan. Kita sepertinya sedang tersalib, oleh karena ancaman virus tersebut. Bisa saja, dalam situasi seperti itu, sebagai manusia biasa kita malah menggugat kebaikan dan kehadiran Allah di tengah-tengah kita. Apakah Allah sungguh-sungguh hadir? Kalau Dia sungguh hadir, apakah Allah itu baik? Jika Allah itu baik, mengapa DIA tidak secepatnya melenyapkan virus yang mematikan ini? Deretan pertanyaan untuk menggugat hadirnya Allah dalam kebaikan-Nya mustinya tidak boleh menjerumuskan kita pada sikap skeptis, akan kehadiran dan kebaikan Allah. Karena Yesus, yang adalah juga Manusia itu, sudah terlebih dahulu memberikan contoh kepada kita untuk tidak boleh mengandalkan atau bahkan memaksakan kehendak sendiri. Karena itu, sebagai pengikuti Kristus yang sejati, kita harus mengulangi kembali kata-kata Yesus:” Jangan seperti yang Aku kehendaki, melainkan seperti kehendak-Mu.”
Maka, tiada lain, tidaklah bukan. Hanya Kehendak Allah sajalah yang tetap diutamakan dalam seluruh dinamika dan romatika hidup kita. Entah dalam suka, duka; entah dalam untung dan malang; entah dalam kegembiraan dan harapan, entah dalam duka dan kecemasan. Di sana, dalam berbagai situasi hidup kita Allah selalu ada. Dia selalu hadir menyertai kita
“Ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman (Mat. 28:20)
“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan janganlah gemeta, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” (Ul. 31:6).”
Kutipan teks-teks suci ini memberikan keyakinan kepada kita bahwa dalam situasi gelap-getir sekalipun, Tuhan tetap ada bersama kita. Dia tidak sejengkalpun meninggalkan kita.
Maka dalam gelombang wabah covid-19 yang kian mendera, kita tidak mungkin tersalibkan dalam ketakutan yang sangat, asalkan kita taat dan patuh pada protokol pemerintah dan gereja, yang merupakan representasi Allah di Negara ini yang hadir untuk memberikan jaminan keamanan dengan sejumlah protokoler yang sudah dikeluarkan.
Kita percaya, habis gelap terbitlah terang; habis kecemasan, terbitlah sukacita.
” Sesungguhnya, hamba-Ku akan berhasil, ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan. Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia–begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya (Yes.52:13).”