Oleh: Edi Hardum, S.H., M.H.
Advokat pada Edi Hardum and Partners, tinggal di Jakarta
Minggu (12/4/2020) pagi saya menyalakan laptop. Muncul akun Facebook (FB) atas nama Selo Paju Gampar, yang berisi protes dari sejumlah pemuda karena dipukul polisi dengan alasan mereka berkumpul. Mereka dinilai tidak mengindahkan imbauan pemerintah agar tidak boleh berkumpul di saat pandemi Covid-19 ini.
Dalam akun FB itu mereka mengunggah foto sejumlah orang yang mengalami luka di kepala dan sekitar wajah karena dianiayai sejumlah anggota polisi dari Polres Mabar. Akun itu, bukannya mendapat simpati dari warganet tetapi malah “mensyukuri”, termasuk saya ikut menyalahkan para pemuda yang dipukul bersangkutan.
Namun, ketika Minggu (12/4/2020) siang, mencul akun FB yang sama dengan video penjelasan. Ketika saya simak video itu, saya pun paham bahwa ternyata para pemuda ini tidaklah salah. Yang melakukan tindakan berlebihan justru sejumlah polisi yang melakukan tindakan pemukulan. Belakangan para pemuda ini diketahui bernama Edo, Evan, Faris dan Sandro, Afri, Rilus, Wawan dan Digo.
Para pemuda ini warga Kabupaten Mabar yang baru datang dari Bali menggunakan Kapal Feri. Ketika sampai di Labuan Bajo, mereka ditolak oleh keluarga mereka yang tinggal di Labuan Bajo karena dianggap bisa menularkan virus corona (Covid-19).
“Keluarga tidak terima kami karena dikira kami bawa Covid-19,” kata Evan kepada wartawan di Mapolres Mabar.
Evan mangaku ia bersama enam rekannya yakni Faris (21), Sandro (20), Afri, Rilus, Wawan dan Digo datang ke lokasi kejadian di Pendopo stan milik Barnabas, kompleks SMA 1, Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Kabupaten Mabar, pukul 20.00 Wita untuk makan malam.
Saat tiba, mereka bertemu dengan rekannya Edo Mense (25) dan Rasdi. Rasdi juga diketahui baru saja tiba di Labuan Bajo dari Bali menggunakan kapal laut. Evan bersama sejumlah rekannya yang ditolak keluarga, memilih bertahan di pendopo hingga Minggu pagi untuk melanjutkan perjalanan ke desa masing-masing.
Sekitar pukul 22.00 Wita, beberapa anggota polisi dari Polres Mabar datang ke lokasi untuk mengimbau sekaligus meminta mereka membubarkan diri. Atas permintaan itu mereka menjelaskan bahwa mereka baru saja tiba di Labuan Bajo dan keluarga mereka tidak menerima mereka. Karena itu mereka berkumpul di tempat itu. Namun penjelasan mereka bukannya dicerna oleh oknum polisi, maka mereka dimaki dengan kata “Lae !”. Artinya, kelamin pria.
Tidak terima dengan memaki seperti itu, seorang pemuda bertanya mengapa mereka dimaki, sehingga terjadi adu mulut hingga berujung penganiayaan terhadap Evan dan rekannya.
“Setelah itu kami ditendang, baju saya sampai robek. Teman saya luka. 3 orang luka parah, hingga saat ini belum dirawat., 1 teman dipukul di sini (Mapolres Mabar),” katanya sebagaimana dalam video.
Evan dan rekannya selanjutya dibawa ke Mapolres Mabar untuk diamankan, selanjutnya dibawa ke Posko Covid-19 tingkat kabupaten di kantor Bupati, namun mereka ditolak.
“Jam 02.00 kami ke pendopo lagi. Karena tidak ada karantina, ke kantor Pemda, tetapi tidak diterima,” jelasnya.
Pada Senin (13/4/2020), Edo yang bernama lengkap Ignasius Didimus Loyola Mense resmi melaporkan oknum polisi yang menganiayai mereka ke Mapolres Manggarai Barat (Mabar).
Edo mengatakan bawah ia dan teman-temannya dianiaya di Pendopo stan milik Barnabas, kompleks SMA 1, Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Kabupaten Mabar, Sabtu (11/4/2020) malam. Senin siang Edo dilakukan Visum Et Repertum di Puskesmas Labuan Bajo. Edo dianiaya di dua tempat berbeda, pertama, di Pendopo dan kedua, di Mapolres Mabar ketika ia dibawa ke sana.
Para Polisi Harus Dihukum!
Dalam Ilmu Hukum Pidana dijelaskan ada jumlah tindak pidana yang tidak bisa dipidana. Salah satunya melaksanakan perintah undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi, ”Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.
Ketentuan ini salah satunya untuk anggota polisi yang melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang. Misalnya mengejar pelanggar lalulintas di jalan raya dengan melawan arus. Atau mengejar penjahat di Jalan Tol dengan sepeda motor.
Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyebutkan tugas pokok anggota Polri yakni, pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Membaca penjelasan atas Pasal 13 tersebut dijelaskan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas. Ketiga-tiganya sama penting. Sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan.
Masih menurut penjelasan pasal 13 tersebut dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan tugas (anggota Polri-red penulis) harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dari penjelasan teori hukum pidana dan tugas Polri di atas, pertanyaannya, pertama, apakah sejumlah anggota polisi yang awalnya meminta sejumlah pemuda membubarkan diri yang berakhir pada pemukulan di Labuan Bajo pada Sabtu (11/4/2020) malam itu melaksanakan perintah undang-undang ?
Kedua, apakah anggota Polri yang melaksanakan fungsi sebagaimana digariskan UU sudah sesuai UU sendiri, norma agama, kesopanan dan kesusilaan?
Menjawab pertanyaan pertama adalah benar sejumlah anggota Polri tersebut melaksanakan perintah undang-undang terutama melaksanakan perintah Kapolri terkait menjadi social distancing di saat pandemi Covid-19 ini.
Namun sayang, ketika mereka melaksanakan tugas, anggota Polri bersangkutan tidak memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Mereka tidak mendekati para pemuda itu secara baik-baik. Kalau didekati baik-baik para pemuda ini pasti menyegani mereka (para anggota polisi yang bersangkutan). Apalagi, ketika melaksanakan tugas tersebut, sejumlah anggota polisi yang bersangkutan mengeluarkan kata-kata kasar dengan memaki seperti kata “Lae”. Ini kata yang sangat kasar menurut adat Manggarai.
Oleh karena itu, para anggota polisi dari Polres Mabar yang bersangkutan melaksanakan fungsi Polri dengan mengabaikan norma hukum, tidak mengindahkan norma agama, norma kesopanan, dan kesusilaan, serta tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Maka oleh karena itu, para anggota polisi Polres Mabes yang telah melakukan penganiayaan para pemuda tersebut mendapat pengecualian pasal Pasal 50 KUHP yakni mereka harus dihukum. Mereka selain dijerat dengan hukuman pelanggaran disiplin atau kode etik Polri, juga minimal melanggar Pasal 351 ayat 2 KUHP yang menyebab orang luka dengan ancaman hukum lima tahu penjara.
Untuk itu, penulis meminta, pertama, Kapolda NTT harus memerintahkan Kapolres Manggarai Barat agar tidak mengintervensi tim Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk memproses para anggota Polri yang bersangkutan secara kode etik. Mereka harus mendapat sanksi etik.
Kedua, Kapolres Manggarai Barat dan Polda NTT tidak mengintervensi penyidik untuk memeriksa dan menyidik mereka. Perkara mereka harus dilimpahkan ke kejaksaan untuk diperiksa dan diadili di Pengadilan (pro justitia).
Ketiga, Kapolda NTT dan Kapolres Manggarai Barat segera meminta maaf kepada para korban, keluarga korban dan masyarakat umumnya. Polres Manggarai Barat harus merawat para korban sampai sembuh. Hal seperti demi integritas dan wibawa Polri di mata masyarakat.
Keempat, Bupati Manggarai Barat juga harus merasa bersalah bahwa karena pihaknya tidak menyediakan tempat karantina yang pasti dan bagus sehingga para pemuda itu terlunta-lunta sampai dianiaya malam itu. Bupati Manggarai Barat juga harus meminta maaf kepada korban, keluarga korban dan masyarakat Mabar umumnya.
https://youtu.be/tK7gLvN9nPw