*Oleh: Stefan Bandar
“Tuhan, aku tidak kuat lagi,” katanya lirih. Air mata yang tergenang di tepian matanya perlahan mengguyuri bumi. Sesekali ia menyekah dengan tangannya. Ia sandarkan tubuhnya pada dinding rumah yang kini lapuk dimakan usia. Matanya yang kian lebam dan berkaca melirik ke luar, menatap rintik-rintik hujan yang turun perlahan kemudian tiba-tiba lebat.
Ia ingin memungut tetesan air hujan untuk menikam hatinya yang penuh luka, siapa tahu sakitnya akan disejukkan. Ia mengakrabi segala deritanya dalam diam dan mendendangkan seluruh perihnya dengan mulut yang membisu. Mungkin rintihan dari hati lebih menggema dari pada setiap pintah yang selalu dilantunkan dari mulutnya.
“Mama kenapa menangis?” sebuah suara tiba-tiba muncul dan membangunkannya dari tangisnya.
Cepat-cepat ia mengambil handuk yang menutupi rambut kepalanya lalu mengusap air mata yang masih berjatuhan. Ia melirik putri kecilnya yang berdiri tegak menatapnya kemudian menarik tangannya dan mendekapkannya pada pelukannya. Keduanya terhanyut dalam diam bersama rintik hujan yang makin lebat.
“Ehh, anak mama sudah bangun. Kakak Andri dan kakak Grace belum bangun?” sapanya dengan senyuman yang mengembang pada bibirnya. Ia mencoba menyembunyikan luka yang tergores di hatinya dengan senyuman itu.
“Mama kenapa menangis?” gadis kecil itu kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Rupanya gadis kecil itu mengerti dengan air mata ibunya yang berjatuhan.
“Melia, sayang. Jika Melia tua nanti, Melia mau jadi apa?” katanya memecahkan keheningan yang menguasai mereka beberapa saat yang lalu. “Aku ingin mama tidak menangis lagi,” jawab gadis kecil itu polos. Matanya membias dan senyumannya mengembang pada bibirnya. Sungguh, tidak ada derita dan tangisan yang harus menepi dan berlabu di sana, guman wanita itu.
******
Mentari baru saja muncul di ufuk timur. Panasnya tidak seberapa sebab memang dia baru saja terbangun dari lelapnya. Embun pagi masih saja melekat pada dedaunan seolah tidak menyadari bahwa sebentar lagi ia harus segera pergi dan menghilang. Burung-burung dengan segera berterbangan sembari bernyanyi dan mencari-cari mangsanya untuk dimakan.
Martha, janda berkepala tiga yang ditinggalkan suaminya sepuluh tahun silam, berlangkah dengan pasti menuju tempat biasa ia menggali rupiah. Ia melangkah tanpa peduli dinginnya udara pagi. Sesekali ia menyekah piluhnya, sesekali juga ia menepi pada batu yang didapatinya di pinggir jalan untuk sejenak melepaskan lelahnya.
Nafasnya kadang tersengal, mungkin perjalanan yang jauh menjadi sebabnya atau mungkin juga karena usianya yang makin menua. Pakaiannya kusut, di sana-sini penuh jahitan dan tambalan, pakaian yang selalu dikenakannya saat berkerja. Meskipun pakaiannya kusut, namun wajahnya tetap saja memancarkan senyuman yang membias.
Semenjak sang suami meninggal sepuluh tahun silam, Martha mengambil alih peran yang ditinggalkan suaminya. Ia menjadi kepala keluarga, tiang utama penopang kehidupan bagi anak-anaknya. Ia menjadi ibu yang menyusui mereka sekaligus menjadi ayah yang mencari sesuap nasi.
Setiap hari, ia harus menjajaki pekerjaan di bawah terik yang menyengat demi mengumpulkan rupiah agar bisa memenuhi kebutuhan dan menjaga keutuhan keluarganya khususnya demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dia tidak pernah mengenal inginnya sebab rupiah yang didapatkannya hanya bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan.
Tinggal di antara rumah yang berbatu dengan warna bercampur dan juga hidup di antara rupa yang berwibawa juga berdasi, terkadang membuat Martha seringkali tidak bisa menerima keadannya. Terkadang ia merintih dalam sunyi, menangis dalam sepih serta tertawa dalam luka atas nasibnya yang cukup menderita.
Entah sudah berapa kali ia membanjiri langit dengan doa-doanya yang suci, tetap saja rupiah yang didapatinya begitu-begitu saja. Ia selalu menepi dalam doa. Mungkin di seberang sana pintahku menggema untukNya, batinnya.
Pergi pagi pulang petang adalah hal yang biasa ia lakukan. Tidak jarang pula ia kembali ke rumah saat subuh, saat anak-anaknya masih terlelap dalam mimpi-mimpih indah. Ia hanya melirik mereka dari balik kain gorden yang warnanya telah usang sebelum ia merebahkan dirinya pada lelap. Itupun hanya sebentar saja, sebelum ia menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya dan kembali beranjak pergi mengais rupiah di seberang sana.
Setiap hari Martha harus berangkat dari rumahnya saat hari masih subuh sebab ia harus tiba di tempat kerjanya tepat pukul 07.00. Tempat itu cukup jauh dari rumahnya dan ia harus menempuhnya dengan berjalan kaki.
Jarang baginya untuk melihat anak-anaknya berangkat ke sekolah sebab ia harus pergi saat mereka masih terlelap. Walaupun tidak sempat melihat anaknya berangkat sekolah, ia selalu menyiapkan keperluan-keperluan sekolah mereka sebelum ia pergi mengumpulkan rupiah.
Dalam sepekan, ia hanya dapat melalui seharian penuh bersama anak-anaknya yakni saat akhir pekan. Itulah saat baginya untuk melepaskan kerinduan pada anak-anaknya, bercanda bersama mereka serta tak lupa pula menasihati mereka untuk selalu belajar dan belajar.
Ia menanam dalam diri mereka semangat serta perjuangan agar kelak mereka mendapatkan kehidupan yang layak. Di depan anak-anaknya ia tidak pernah mengeluh apalagi menangis. Di depan mereka ia selalu memberikan senyuman seolah tidak ada beban yang sedang dihadapinya.
Semenjak ditinggal suaminya, beban Martha memang menjadi lebih berat. Bisa dikatakan bahwa beban itu terlampau berat untuk dipikul oleh seorang wanita lemah seperti dirinya. Seandainya saja suaminya masih ada, mungkin beban yang ditanggungnya sedikit lebih ringan. Tetapi nasib berkata lain. Penyakit yang diderita suaminya rupanya lebih kuat merenggut nyawanya daripada doa-doa yang diuntaikan Martha dan anak-anaknya.
Kehilangan suaminya adalah luka juga duka yang berhasil merobek hati Martha. Bagaimana tidak, janji sehidup semati yang pernah mereka ikrarkan hanya diperkenankan bertahan sebentar saja. Orang yang dicintainya pergi dan meninggalkan beban yang terlampau berat bagi dirinya.
Meskipun luka itu merobek hati Martha, namun kehilangan suaminya tidak menyurutkan semangat Martha untuk menopang keutuhan keluarganya. Kenyataan ini menjadikannya wanita tegar lagi kuat, tak putus asa serta bertanggung jawab bagi ketiga anaknya.
Alasan ketegaran itu tidak lain adalah mutiara yang ditemukannya di balik senyuman anak-anaknya. Baginya, mereka adalah hadia terindah yang harus dijaga dan dirawat hingga kelak mereka mendapatkan kehidupan yang layak.
Masa depan anak-anaknya kini menjadi alasan Martha pergi pagi pulang pagi. Ia ingin agar kelak mereka mendapatkan pekerjaan yang layak dan kebahagiaan yang melimpah. Ia tak ingin anak-anaknya menjadi seperti dia apalagi bernasib lebih parah dari kenyataan yang dihadapinya. Ia ingin mereka hidup bahagia dan juga selalu beramal, memberikan sedekah bagi mereka yang selalu kekurangan.
Setelah enam tahun kepergian suaminya, kenyataan pahit kembali diterimanya. Martha dihadapkan dengan kenyataan yang kembali menoreh luka di hatinya. Dia divonis menderita penyakit jantung. Dokter mengatakan bahwa ada cairan yang mengendap pada bagian kiri jantungnya.
Dokter menyarankannya untuk segera operasi tetapi saran itu ditolaknya secara mentah. Bukannya dia tidak ingin tetapi dari mana ia harus mendapatkan uang untuk membiayai operasi itu. Jangankan untuk membeli obat, untuk mendapatkan semangkuk nasi saja ia harus bekerja membanting tulang dari pagi hingga petang.
Martha menyerahkan semua hanya kepada Tuhan. Baginya, Tuhan tidak pernah menutup mata atas derita yang dialami umatNya. Dia adalah dokter sejati penyembuh segala luka. Yang harus ia lakukan adalah terus semangat untuk berjuang mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Status sebagai seorang wanita bukan menjadi penghalang baginya untuk berjuang mengubah nasib anak-anaknya. Ia ingin berjuang demi nasib anak-anaknya dalam waktu-waktu sisa hidupnya. Ia ingin agar melihat anaknya bahagia sebelum matanya terpejam dan tubuhnya kembali menjadi tana.
Menunggu bantuan pemerintah, baginya adalah hal yang sia-sia. Mungkinkah alasannya karena ia tidak pernah menuntut sehingga tidak mendapatkan bantuan? Tidak! Itu bukanlah alasannya.
Rumah yang beratap ilalang dengan berdinding pelupuh bambu, janda yang ditinggalkan suaminya yang harus membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya seorang diri, apakah semuanya itu bukan menjadi sebuah bentuk protes darinya? Baginya itu adalah bentuk kebisuan protes yang tidak diuntaikan dalam kata.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero