*Cerpen
Oleh: Enu Athry
Gimana kabarnya? Semoga nana Frater baik-baik saja. Saya di sini juga sehat selalu dalam lindungan Tuhan. Juga seisi rumah.
Nana Frat, katanya mau datang. Mana? Kemarin pas misa saya cari-cari kok nggak ada. Waktu saya habis buat lirik sana, lirik sini. Bohong. Lagian nggak baik, lho. Habis Misa langsung pulang begitu. Nggak mau menyapa domba-domba. Gimana, nih. Jadi Frater saja sudah begitu. Nanti jadi pastornya seperti apa? Bisa jadi kamu sombong. Ini jujur, nana Frat, ngeritik. Dan Frater harus tahu itu. Coba kalau nggak ada yang ngeritik. Mau jadi apa? Lagian saya ingatkan kata-kata nana Frater, dulu. Katanya mau jadi pastor yang baik, yang ramah, nggak suka marah-marah. Masih ingat to? Dan kalau saya ngeritik, itu demi kebaikan nana Frater juga, kok. Suer!
Wah jadi ngotbain nana Frater, nih.
Nana Frat, saya mau cerita. Boleh, kan. Simak baik baik, ya. Nanti saya kasih cokelat.
Sejak Frater ninggalin paroki, saya nggak ada teman lagi buat berbagi cerita, berbagi rasa atau apalah. Juga nggak ada lagi yang guyonan serta gasih saran. Sori nana Frat, barangkali kege-eran. Boleh saja. Tapi jangan besar-besar. Nanti meledak.
Sebenanya kalau hari ltu nana Frater nggak buru-buru ke stasi ngantar Pastor pasti saya belikan makanan kesuakaannya nana Frater. Lagi pula, kami memang sudah siapkan sama teman-teman di rumah. Sekalian nengok saya, kan. Maunya sih bikin surprais. Eh, nggak tahunya nana Frater udah pergi. Kata Intan dicari-cari nggak ada. Padahal saya juga mau cerita banyak pada nana Frater. Ternyata saya tunggu-tunggu nggak muncul. Juga telpon dari kamu, nana Frat. Saya nanti-nanti tapi kok nggak bunyi-bunyi. Kenapa sih? Semoga bukan karena ada sesuatu yang menghalangi kita. Juga semoga nana frater nggak punya kecengan lain. Awas, lho!
Naa Frat, saya jadi sering mengingat kamu. Memang banyak cerita dengan kamu yang nggak bisa saya lupakan. Kedatanganmu ke rumah. Doa-doamu untuk saya. Lama saya mencoba memahami ada apa dengan itu semua? Saya cuma bisa berkata saya sendiri nggak tahu. Tapi itulah yang terjadi pada diri saya. Nana Frater boleh mengira, saya terlalu gr atau justru masih terlalu kecil untuk memiliki perasaan itu. Seperti kata Helen, teman dekat saya suatu kali.
Perah saat pertama melihat kamu, nana Frat. Saat saya berkomentar tentang kamu. Saya dituduh yang bukan-bukan sama Helen. Hanya gara-gara saya melihat nana frat dan tanya ke Helen yang lebih tahu duluan tentang kamu. Maklum saja Helen kan kan lebih sering ke Gereja dari pada saya. Tetapi saya ditegurnya. Dikira saya naksir kamu. ”Hayo, naksir, ya”, gitu kata Helen sambil melotot. Lalu ia mengatakan kalau nana frater itu milik Tuhan, nggak usah macam- macam, katanya lagi. Padahal saya tahu persis kalau Helen juga… Ah, nggak usah deh, nanti tambah geer.
Bener nana Frat, sejak itu saya jadi nggak suka kalau Helen ngomong dengan kamu, ketemu dengan kamu atau ketawa sama kamu. Apalagi sikapnya nggak konsisten dengan kata-katanya. Dasar… Memang sih, nana frat. Saat itu saya lagi BT banget. Saya sedang ada persoalan yang sungguh menyakitkan. Dan itu amat mempengaruhi saya. ‘
Makanya saat pertama kali kita berpapasan, saya nggak begitu memperhatikan nana Frater. Ingat, kan? Saya pikir nana Frater waktu itu dingin banget. Cuek. Kata orang-orang juga begitu. Dan saya membuktikannya, saat nana Frater bertemu dengan saya. Itu kesan pertama. Selanjutnya, teryata kamu nggak seburuk yang saya duga.
Lama saya memendam pertemuan itu, dan saya akui saya nggak begitu suka dengan basa-basi. Biasanya usai misa, saya langsung stater motor terus pulang. Tapi saat itu saya lagi pingin berdoa di depan Bunda Maria. Semua keluh kesah saya ceritakan padanya. Dan pas doa itu saya nangis. Rasanya lega. Menangisi persoalan saya yang nggak segera selesai. Yang datang dan datang lagi, silih berganti. Makanya saya segera berlalu saat nana Frater melintas. jujur nana Frat. Saya malu kalau ada yang tahu mata saya basah. Karena saya ingin, masalah itu menjadi masalah saya sendiri. Tidak untuk orang lain. Meskipun sesungguhnya berat bagi saya.
Entah angin apa yang bertiup, membuat minggu berikutnya kita ketemu lagi. Ingat, kan nana Frat. Baru kali itu saya percaya kalau nana Frater adalah Frater. Karena melihat sendiri kalau pakai jubah. Tidak seperti saat diberi tahu Helen. Meski sebenamya saya nggak paham, nana Frater itu makhluk macam apa, sih?. Kenapa kalau mau tahu tentang kamu seperti ada batasnya. Padahal yang saya tahu Pastor, Frater atau Suster itu baik-baik. Ramah, perhatian. Pokoknya enaklah. Entahlah Helen selalu curiga. Sementara, jujur nana Frat saya nggak suka dengan caranya.
Terus saat itu nana Frater memberi lembaran doa novena. Yang nana Frater bagikan itu. Saya kebagian juga, lho. Meski saya nggak begitu paham. Maklum saya belum lama jadi Katolik. Pas pelajaran pun nggak pernah dapat lembaran doa seperti yang nana Frater beri itu. Toh saya bawa pulang juga. Saya taruh di puji syukur. Karena itu, saya tanya ke Helen lagi. Eh, ketika saya cerita doa itu dari nana frater dia sepertinya sewot. Cara menjawabnya nggak seperti biasa. Nggak tahu kenapa dia bisa begitu. Saya pikir mungkin saya telah menganggunya, kali. Atau mungkin karena saya bisa mendapat lembaran itu dari nana Frater. Entahlah. Atau karena saya yang memang dibaptis karena diajak oleh Helen, lalu membuatnya merasa harus dan bisa mengatur-atur saya. Saya nggak boleh melebihi dia, kali. Juga soal ursan dengan nana Frater.
Ketika beberapa hari berikutnya ketemu, makanya saya tanya ke nana frater. Apa maksud doa novena itu. Ternyata nana Frater nggak nganggap saya bloon atau apa. Justru kamu menjelaskan dengan detil maksud doa itu. Itu yang membuat saya senang. Tidak seperti Helen yang tahu tetapi tidak mau memberi tahu. Jujur, nana frat. Sejak saat itu saya baru bisa mendoakan doa itu. Dan yang pasti bisa lebih menghayati, karena tahu maksud dan maknanya.
Tak bisa saya lupakan juga pertemuan kita usai misa. Saat hujan sore itu. Barangkali doa saya di depan Maria terlalu lama. Makanya terjebak hujan. Saya harus menunggu sendiri di tempat parkir. Sial. Mana tidak membawa jas hujan. Kalau nekat pun saya bisa pilek karena kehujanan. Lalu nana Frater muncul dari sakristi. Nggak nyangka. Saya kira sudah pulang seperti kebiasaan nana Frater. Tapi nana Frater malah menemui saya.
Masih saya ingat, saat Frater berkata, ”Belum pulang?”
Saya kaget. Saat itu saya sedang bengong sendiri menyaksikan air yang berjatuhan.
Lalu frater menemani saya. Ngajak saya ngobrol. Barangkali kalau nggak ada hujan itu saya nggak akan ngobrol dengan kamu, naan Frat. Mungkin saya harus berterima kasih pada hujan, kali? Dan kalau saat itu kamu tidak membetulkan, saya tentu akan mendoakan doa novena lebih dari sembilan kali, setiap harinya. Saya baru tahu ya sejak sore itu. Maklum, pas nana Frater memberi tahu dulu di depan gua saya nggak konsentrasi. Habis menghadapi orang berjubah, sih. Grogi juga. (Ah, jangan gr) Di tempat terbuka, lagi. Kali itu pengalaman pertama. Makanya nggak paham alias hilang perhatian. Dan nana Frater justru tertawa mendengar penuturan saya.
Kita ngobrol lama. Tentang apa saja. Juga tentang sekolah. Pas deh nana frat kalau saat itu kamu menyarankan saya masuk jurusan PPK . Kok tahu, sih? Dan sekarang ramalan nana Frater tentang saya tepat. Saya akhirnya masuk jurusan PPK. Sebenarnya saya didorong-dorong papa juga kakak-kakak disuruh masukjurusan PPK. Tapi saya merasa itu bukan tempat saya. Mungkin saya tidak menjadi diri saya yang sebenarnya kalau menuruti mereka. Meskipun saya akui waktu itu saya nggak berani melawan mereka. Justru karena saran nana Frater itu saya jadi agak PD buat memilih jurusan. Dan yang masih saya ingat nana Frat, kata-katamu, jadilah dirimu sendiri. Itu yang membuat saya yakin dengan apapun keadaan diri saya. Karena saya adalah saya, bukan mereka atau siapa‘ siapa. Gitu kan kata nana Frater?
Nggak terasa, saat itu mestinya saya sudah harus pulang. Tetapi ngobrol dengan kamu terlalu asyik. Padahal saya mestinya ada janjian. Mau pergi ke rumah saudara. Teryata sudah lewat jam dan saya nggak sadar. Sampai nggak tahu juga hujan sudah agak reda. Lalu karena saya nekat ingin pulang, nana Frater malah melarang saya jalan, karena khawatir saya kehujanan.
”Masih gerimis,” katamu saat itu
“Nggak apa, Frat basah sedikit. Nanti dimarahi orang rumah. Sudah janjian, sih,” bela saya.
“Nanti kalau sakit?” khawatir saya kehujanan.
Lalu nana Frater cerita kalau kehujanan terus mudah masuk angin. Dan ternyata kita sama, lho nana Frat. Saya sendiri sebenamya juga begitu. Karena itu orang-orang rumah selalu ngomel kalau saya keluar pas mendung. Seperti sore itu. Nanti pilek, lah. Batuk, lah. Macam-macam. Apalagi mama pasti yang paling lama kalau sedang ngomel. Biasanya saya begitu mudah melawan kalau mendengar nasehat-nasehat mereka. Saya nggak peduli. Pokoknya jalan terus. Setelah begitu hampir pasti saya lalu sakit. Tapi tidak demi mendengar kata-katamu itu nana frat. Saya jadi tersanjung mendengarnya. Sepertinya kamu begitu memperhatikan saya. Meski saya nggak tahu, nana frater berkata begitu karena apa. Yang pasti saya memutuskan untuk nggak pulang dulu. Rasanya ingin berlama-lama dengan kamu, nana frat. Begitu hujan reda, ketika saya memutuskan pulang pun kamu masih menitip pesan hati-hati, katamu lagi, nana Frat.
Nana Frat, itulah pertemuan terakhir dengan kamu yang juga menandai perubahan dalam diri saya. Nggak bisa saya lupakan, saya jadi begini sekarang. Nggak bisa apa-apa lagi. Barangkali saya kurang memperhatikan kata-katamu. Barangkali saya terlalu terburu-buru. Atau jalanan yang licin. Atau pengemudi mobil itu. Ah, biarlah nana frat… Biarkan saya kecewa dengan diri saya yang berasib seperti ini. Biarkan saya meratapi diri saya sekarang. Semoga tidak dengan kamu. Kamu tidak pantas mendapatkan seperti apa yang saya dapat. Kamu orang berjubah, sih. Grogi juga. (Ah, jangan gr) Di tempat terbuka, lagi. Kali itu pengalaman pertama. Makanya nggak paham alias hilang perhatian. Dan nana frater justru tertawa mendengar penuturan saya.
Kita ngobrol lama. Tentang apa saja. Juga tentang kuliah. Pas deh nana frat kalau saat itu kamu menyarankan saya masuk PPK. Kok tahu, sih? Dan sekarang ramalan nana frater tentang saya tepat. Saya akhirnya masukjurusan PKK. Sebenarnya saya didorong-dorong papa juga kakak-kakak disuruh masuk filsafat. Tapi saya merasa itu bukan tempat saya. Mungkin saya tidak menjadi diri saya yang sebenarnya kalau menuruti mereka. Meskipun saya akui waktu itu saya nggak berani melawan mereka. Justru karena saran nana frater itu saya jadi agak PD buat memilih jurusan. Dan yang masih saya ingat nana frat, kata-katamu, jadilah dirimu sendiri. Itu yang membuat saya yakin dengan apapun keadaan diri saya. Karena saya adalah saya, bukan mereka atau siapa‘ siapa. Gitu kan kata nana frater?
Nggak terasa, saat itu mestinya saya sudah harus pulang. Tetapi ngobrol dengan kamu terlalu asyik. Padahal saya mestinya ada janjian. Mau pergi ke rumah saudara. Temyata sudah lewat jam dan saya nggak sadar. Sampai nggak tahu juga hujan sudah agak reda. Lalu karena saya nekat ingin pulang, nana frater malah melarang saya jalan, karena khawatir saya kehujanan.
”Masih gerimis”, katamu saat itu
“Nggak apa, nana frat basah sedikit. Nanti dimarahi orang rumah. Sudah janjian, sih”, bela saya.
”Nanti kalau sakit?”
Lalu nana frater cerita kalau kehujanan terus mudah masuk angin. Dan ternyata kita sama, lho nana frat. Saya sendiri sebenamya juga begitu. Karena itu orang-orang rumah selalu ngomel kalau saya keluar pas mendung. Seperti sore itu. Nanti pilek, lah. Batuk, lah. Macam-macam. Apalagi mama pasti yang paling lama kalau sedang ngomel. Biasanya saya begitu mudah melawan kalau mendengar nasehat-nasehat mereka. Saya nggak peduli. Pokoknya jalan terus. Setelah begitu hampir pasti saya lalu sakit. Tapi tidak demi mendengar kata-katamu itu frat. Saya jadi tersanjung mendengamya. Sepertinya kamu begitu memperhatikan saya. Meski saya nggak tahu, nana frater berkata begitu karena apa. Yang pasti saya memutuskan untuk nggak pulang dulu. Rasanya ingin berlama-lama dengan kamu, frat. Begitu hujan reda, ketika saya memutuskan pulang pun kamu masih menitip pesan hati-hati, katamu lagi, nana frat.
Dan terima kasih untuk kunjunganmu, kiriman komuni, serta doa-doa kamu saat saya terbaring di rumah sakit. Kamu kelihatan sabar sekali frat. Kamu nggak pernah abserL Itu yang membuat rasa kagum pada kamu semakin bertambah. Sekali lagi terima kasih untuk ketulusanmu itu.
Tapi nana frat, saya entah mengapa jadi nggak suka tiap kali Helen datang mengunjungi saya. Dia selalu menceritakan pertemuan antara kamu dengannya. Saya nggak mampu mendengarnya lagi. Saya nggak tahu apa yang terjadi dengan kalian. Semoga hal yang buruk tidak terjadi dengan kamu. Karena kamu milik Tuhan. Semoga itu hanya untuk memanas-manasi saya saja. Dan semoga kenyataannya tidak demikian, kan nana frat? Saya berharap jawaban yang muncul dari dirimu seperti apa yang saya pikirkan. Tidak usah kamu katakan nana frat.
Nana Frat, benar katamu suatu kali. Kalau kita terkena musibah, baru kita sadar akan bantuan Tuhan, Baru ingat Tuhan yang selama itu kita lupakan. Saya baru mengerti kata-katamu itu setelah mengalaminya sendiri. Justru ketika saya gagal dan sedih meratapi diri saya, saat itu saya merasa lega mengingat apa yang pernah kamu katakan. Saya baru sadar dan bisa mengatakan dengan keyakinan, bahwa hidup ini sementara, fana.
Kan pada tumpuan yang paling mulia, paling kekal, paling menghiburkan. Hanya lewat kepasrahan, katamu suatu kali.
Selama ini saya payah menghayati hal-hal semacam itu. Saya masih terlalu terobsesi, saya masih banyak menginginkan hal-hal yang sebenarnya bukan yang terpenting, sehingga berat sebenarnya memasrahkan diri padaNya. Mungkin benar katamu, nana frat, karena saya masih muda, tetapi harus meninggalkan masa-masa bahagia, meninggalkan apa yang mestinya bisa lebih banyak saya lakukan. Kadang saya menangis sendiri. Mengapa ini terjadi pada saya. Meski saya mencoba meyakini apa yang mestinya saya lakukan. Tetapi temyata itu berat nana frat, nggak gampang. Mungkin saya harus mencoba 1agi berjuta-juta kali, untuk kepasrahan, keikhlasan yang mestinya bisa saya lakukan. Dan yang pasti, yang mendukung saya adalah petuah-petuah kamu, nana frat. Kata-kata kamu yang selalu mencoba menghibur atau menenangkan saya.
Sekali lagi, nana frat terima kasih untuk nasehatnasehatmu. Justru saya baru sadar arti pentingnya memasrahkan diri pada Tuhan. Karena, selama ini temyata Tuhan saya adalah diri saya sendiri. Tuhan adalah Tuhan ciptaan saya sendiri yang justru akhirnya mengecewakan saya sendiri. Karena bukan kehendakNya yang saya jadikan acuan. Tetapi kehendak saya sendiri.
Baik, nana frat. Saya doakan kamu menempuh jalan pilihanmu dengan mantap. Semua tentang kamu, mendengarkan suaramu, membayangkan pertemuan-pertemuan lagi di depan gua atau di tempat parkir seperti dulu. Saat terakhir kali hingga saya harus begini. Atau jalan-jalan lagi bersama teman-teman. Mengingatmu seperti itu dalam kesendirian. Sungguh tak bisa saya hindarkan. Meski dengan kata-kata apapun atau cara apapun. Dan saya harus belajar berat untuk merelakan, dicampakkan, tidak diperhatikan, tak pantas lagi ditemui. Sampai kapanpun agaknya akan sulit bagi saya. Karena kamu adalah kenangan indah buat saya. Itu yang harus kamu tahu. Paling tidak masih ada yang patut kamu ingat meski itu saya yakin tak mudah buatmu, frat. Karena saya memang nggak pantas lagi. Biarlah, nana frat, cukuplah bagi saya kamu memberi saya kesempatan untuk berkata jujur. Saya suka sama kamu. Dan terima kasih, kamu mau membaca surat ini.
Begitulah surat yang baru dibaca Bertus siang itu. Lulu dilipatnya perlahan. Surat itu, surat dari temannya. Teman yang dikenalnya, yang masih kelas tiga SMU. Yang sekarang sedang dalam kepedihannya. Putus asa, merasa kehilangan masa mudanya yang ceria.
Catatan: Nana- panggilan kesayangan untuk anak muda laki-laki di Manggarai dan Enu untuk anak gadis