Oleh: Bapthista Mario Yosryandi Sara
Keadaan sosial-politik dan keamanan di Bumi Cenderawasi kian jauh dari kata damai. Pancasila yang diharapkan menjadi semangat nasionalisme faktanya kehilangan roh.
Negara yang semestinya berfungsi menciptakan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, malah berubah agresif dengan memproduksi keputusan-keputusan otoriter tanpa mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
Sebagaimana keputusan pemerintah saat diumumkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, melalui konfrensi pers pada 29 April lalu dalam merespon kisruh di Papua setelah tewasnya Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya.
Kematian mantan Pamen Denma Mabes TNI AD itu, diduga akibat terkena tembakan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kampung Dambet, Distrik Beoga, dalam insisden baku tembak pada 24 April kemarin.
Pemerintah melalui Menko Polhukam mengumumkan KKB di Papua terjustifikasi sebagai kelompok teroris. Dengan alasan semakin masifnya kekerasan yang dilakukan KKB berujung pada kematian.
Ketetapan itu berlandaskan UU No 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Oleh sebab itu, berdasarkan definisi dalam UU No 5 tahun 2018, maka segala nama organisasi ataupun individu yang berafilisasi dengan KKB dianggap sebagai tindakan teroris (Kompas, 03/05/2021).
Keputusan pemerintah tentu memiliki alasan tersendiri. Namun apakah keputusan itu inheren secara konstitusional dan kompleks sesuai harapan masyarakat Papua untuk menghentikan praktik dehumanisasi?
Apalagi KKB telah dilabeli “kelompok teroris”, padahal definisi teroris pun masih abstrak, artinya belum definitif secara universal.
Hal itu terbukti, bilamana keputusan pemerintah masih diperdebatkan dan ditolak hingga kini oleh masyarakat Papua baik di internal pemerintah daerah, lingkungan akademis, hierarki gereja, para tokoh masyarakat, dan para aktivis.
KKB di Papua Kelompok ”Teroris”?
Di tengah konflik dan perdebatan belakangan ini, sudah sepantasnya para ahli (akademisi) dan lembaga konstitusi (negara) perlu menciptakan frasa dan definisi tepat untuk membedakan antara bentuk kekerasan.
Hal ini dibutuhkan agar tidak serta-merta segala tindak tanduk kekerasan dijustifikasi sebagai aksi terorisme. Terutama di Indonesia, prinsip diferensiasi harus digunakan agar negara dan publik (terdampak) tak terjebak dalam tendensi penyeragaman lantas menghancurkan semua atas nama perlawanan terhadap terorisme.
Meski telah kita ketahui, secara etimologi terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify). Kata ini berasal dari bahasa latin terrere, artinya “menimbulkan rasa gemetar dan cemas”.
Frasa ini secara umum digunakan dalam pengertian politik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa pemerintahan teror revolusi Perancis akhir abad ke-18 (Mark Juergensmeyer ; 2003).
Namun demikian, pengertian baku dan definitif dari apa yang disebut dengan terorisme, hingga saat ini belum ada keseragaman. Tak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik lalu dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme bagi dewan PBB.
Misalkan persoalan di Papua ketika negara memvonis KKB dengan label teroris.
Tentu ini sebuah anomali sekaligus menimbulkan tendensi khusus bagi masyarakat Papua saat diperhadapkan dengan isu separatisme dan berbagai insiden baku tembak di mana-mana.
Dengan sendirinya muncul pertanyaan, apakah tepat bila KKB-Papua teridentifikasi dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai organisasi teroris?
Jawaban pertanyaan ini sekaligus merupakan tanggapan atas permasalahan yang disampaikan di atas, bahwa tanpa definisi yang jelas dan tepat pengertian terorisme akan terlampau mudah dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.
Mengutip ulasan kritis dalam Terorisme & Peradaban bahwa, yang disebut sebagai satu tindakan teroristis adalah tindakan tertutup yang menggunakan kekerasan oleh satu atau lebih orang, dengan tujuan menekan atau memaksa orang atau sekelompok orang di bawah ancaman agar melakukan apa yang dicita-citakan si teroris.
Terorisme yang dipahami sebagai satu gerakan tersembunyi yang menggunakan kekerasan untuk menakut-nakuti dan dengan demikian memaksa satu atau sekelompok orang demi mewujudkan ideal seorang teroris (Kleden ; 2004).
Meski berdasarkan UU No 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU ini.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III, Pasal 6 dan Pasal 7.
Akan tetapi, dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) melarang segala bentuk tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan terorisme yang dapat menimbulkan bahaya, amcaman dan gangguan terhadap masyarakat.
Baik itu dilakukan dalam konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional. Semua tindakan negara tidak diperkenankan dilakukan berdasarkan pertimbangan diskriminatif, baik secara politik maupun berdasarkan diskriminasi ras dan agama.
Perspektif hukum di atas koheren dalam protokol tambahan dari Konvensi Jenewa pasal 51(2) dan (5), melarang serangan yang tanpa pandang bulu.
Dari uraian di atas jelas bahwa, terorisme mesti dibedakan dari tindak kekerasan yang dilakukan secara terbuka oleh aparat resmi sebuah negara dalam kapasitasnya sebagai aparat negara.
Akan tetapi, pernyataan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa tidak ada aksi teror ysng dilakukan oleh negara dan aparat negara.
Aparat negara dapat saja terlibat dalam terorisme, apabila aparat negara itu secara tersembunyi menggunakan cara kekerasan untuk menekan warga dan memaksa mereka untuk melaksanakan tindakan tertentu.
Aparat negara disebut teroris jika mereka, tanpa melalui sebuah penyampaian resmi kepada masyarakat, membuat struktur dan menyebarkan isu yang menciptakan suasana saling mencurigai dan menakutkan diantara para warga (Kleden ; 2004).
Keputusan Kontraproduktif
Dalam teori pengambilan keputusan, keputusan adalah proses penelusuran masalah yang berawal dari latar belakang masalah, identifikasi masalah hingga kepada terbentuknya kesimpulam atau rekomendasi.
Rekomendasi itulah yang selanjutnya dipakai dan digunakan sebagai pedoman basis dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, begitu besarnya pengaruh yang akan terjadi jika seandainya rekomendasi yang diambil tersebut, terdapat kekeliruan atau adanya kesalahan-kesalahan tersembunyi karena faktor ketidak hati-hatian dalam melakukan pengkajian masalah (Irfan Fahmi ; 2013).
Kemudian, dalam menghasilkan suatu keputusan pun ada beberapa tahap yang harus dipergunakan sebagai dasar sebelum keputusan tersebut disahkan; 1) mendefinisikan masalah tersebut secara jelas agar mudah dipahami, 2) membuat daftar masalah yang akan dimunculkan dan menyusunnya secara prioritas dengan maksud adanya sistematika yang lebih tajam dan terarah, 3) melakukan identifikasi dari setiap masalah, 4) memetahkan setiap masalah berdarkan kelompoknya masing-masing, 5) memastikan alat uji yang digunakan sesuai dengan prinsip dan kaidah yang berlaku secara umum.
Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan, bilamana keputusan pemerintah atas label teroris terhadap KKB merupakan sebuah kontradiksi dalam menghadapi resolusi konflik.
Secara terbuka pemerintah telah memperlihatkan represifitas terhadap publik, tanpa alasan konkret.
Sebab tak ada asas hukum yang dipakai dalam hasil konfrensi, misalkan rasional, empiris, umum, dan akumulatif.
Dalam perspektif ilmu pemerintahan, sebagaimana Mifta Thoha mengutip Harold Laswel bahwa ada beberapa tugas intelektual pemerintah dalam menghadapi persoalan, antara lain; 1) penjelasan tujuan, 2) penguraian kecenderungan, 3) penganalisaan keadaan, 4) proyeksi pengembangan masa depan, 5) penilaian dan penelitian, 6) penilaian dan pemilihan kemungkinan (H Inu Kencana Syafiie ; 2013).
Oleh sebab itu pemerintah perlu memperhatikan hal tersebut untuk mengantisipasi persoalan HAM lebih serius bahkan memperpanjang siklus kekerasan, apalagi menggunakan pendekatanmiliteristik.
Perlu diantisipasi, misalkan ada seseorang atau organisasi tertentu berkomunikasi dengan KKB untuk mencari solusi perdamaian lalu dikategori sebagai pendukung teroris, inikan ancaman serius.
Jadi pemerintah perlu memperhatikan responsiveness dan effectiveness dalam mengambil keputusan, dan tetap mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokrasi, dan etika pemerintahan.
Pemerintah patut ketahui bahwa, persoalan di Papua merupakan fenomena diametral. Di satu sisi suatu kelompok manusia sedang bernafsu memaksakan kehendak ketua kelompok manusia lain, kalau perlu dengan cara kekerasan.
Sementara di sisi lain, karakter alamiah manusia itu tidak suka dipaksa atau didominasi sehingga mereka akan cenderung melawan setiap ada represifitas dan diskriminatif.
Papua dengan status sebagai daerah tertinggal di tengah kelimpahan sumber daya alam (SDA), dominasi konflik akan sangat merugikan.
Kerugian terbesar dari adanya konflik adalah memudarkan social capital dan menghilangkan risorsis dengan sia-sia.
Sebab impaknya terhadap stagnasi pembangunan, baik yang tampak maupun tidak tampak. Jadi pembangunan akan berpola involatif dan degradatif.
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Karyadarma Kupang