Oleh: Fr. Ito Naimnanu
Republik kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini.
Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti.
Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya.
Adapun sejarah dunia mencatat begitu banyak peristiwa negatif yang terjadi, misalnya saja meletusnya perang dunia ke II karena politik yang dibuat oleh Hitler kepada bangsa Yahudi.
Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan.
Politik yang berseberangan dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan.
Politik di masa sekarang, sudah lazim orang memikirkannya sebagai bagian yang kompleks dari tindakan didalam kebenaran.
Konsep politik direduksi menjadi panggung kekuasaan dan pentas para kaum kapitalis ketimbang sebagai bentuk pembaktian terhadap masyarakat.
Ketimpangan politik inilah yang kemudian Aristoteles menyebutnya praktik “Oligarki”– suatu bentuk pemerintahan demi kepentingan dan keuntungan orang-orang kaya (lawan dari demokrasi).
Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan.
Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi.
Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.
Jauh dari itu orang pun sering dikejar-kejar karena seringkali dianggap “Zakheus yang bertugas sebagai pegawai pajak”atau yang mendatangkan dosa dan merugikan banyak orang.
Contoh nyata yang dapat ditemukan semisal, korupsi yang seringkali menjangkit para politisi di negeri yang berlambang Garuda berasas Pancasila ini.
Tak sedikit orang mengira iblis bersemayam dalam diri para pelaku. Sebagian ingin tahu apakah mereka secara medis sehat.
Ada pula yang ingin mengetahui apakah mereka masih memiliki hati nurani. Berhadapan dengan situasi turbulensi politik seperti ini tentu dibutuhkan agen-agen untuk merubah paradigma politik yang dianggap sudah melampaui kebenaran umum.
Penulis menyoroti orang-orang katolik sebagai agen-agen perubahan dengan menerapakan konsep komunikatif antara pemimpin dan yang dipimpin juga menghidupkan kembali etika solidaritas.
Seorang filsuf wanita berkebangsaan yahudi Hannah Arendt juga tampil seraya berseru untuk membalikkan konsep dan berbagai peristiwa negatif di atas.
Menurutnya, politik adalah tindakan pengabdian, pengabdian kepada msyarakat. Politik selalu berkaitan dengan pemimpin serta kinerjanya.
Maka, politik itu selalu dari para pemimpin dalam usaha menyingkirkan seluruh kerja pribadi, lalu berbalik kepada hal-hal yang sifanya komunal, dengan satu tujuan mulia, yaitu bonum commune.
Dengan demikian–dalam kosa kata penulis-konstruksi politik sebagai aktivitas komunikatif dalam perspektif orang-orang katolik.
Menimbang Kembali Esensi Politik; Sebuah Tinjauan Filosofis
Aksi politik adalah kegiatan Vita Activa satu-satunya yang berlangsung antar manusia tanpa perantara materi, barang maupun benda, demikian komentar Otto Gusti Madung dalam Politik antara Legalitas dan Moralitas tentang konsep politik menurut Hannah Arendt.
Keberlangsungan politik antarmanusia inilah dapat menerangkan esensi manusia sebagai makluk sosial.
Manusia selain sebagai makhluk individual, makluk yang bebas, disisi lain ia juga adalah makhluk sosial.
Menyadari eksistensinya sebagai makluk sosial inilah yang menggerakkan ia dapat berpolitik.
Akan tetapi sebelum lebih jauh memahami politik sebagai aktivitas komunikatif, perlu dan penting kita kaji lebih dulu das sollen dari essensi politik.
Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani: “polis”, yang berarti warga kota.
Di zaman Yunani Kuno, yang dimaksudkan dengan negara ialah negara kota. Jadi politik secara etimologis adalah negara kota.
Dalam pengertian moderen, politik berkaitan dengan kebijakan, yang berakar secara langsung dengan negara dan masyarakat secara keseluruhan.
Sejarah mencatat bahwa konsep tentang politik sudah lama berkembang sejak Plato, salah satu pemikir sepanjang masa dalam politeia-nya, memikirkan negara dalam pengertian ini adalah polis.
Bagi Plato, sebab orang yang hidup dalam polis disebabkan karena faktor ekonomi. Bahwasannya manusia membutuhkan sesamanya.
Memahami defenisi di atas, asumsi politik dapat benar manakala manusia menyadari dirinya sebagai makhluk sosial dan dalam kesosialannya ia berhubungan dengan yang lain sebagai sesama.
Menyetir pemikiran Hanna Arrent, politik berada di luar manusia karena politik berlangsung diantara manusia-manusia.
Dalam tesisnya Arrent menekankan kata “antara” (zwischen) dan “di luar” (auβerhalb).
Baru dalam distansi satu sama lain manusia di satu pihak mampu mengenal dan mengakui manusia dalam kelainannya namun distansi itu di lain pihak memungkinkan kedekatan melalui komunikasi sehingga orang dapat berkata “kita”.
Menurutnya, manusia diahirkan sebagai makhluk yang berbeda-beda dan baru melalui politik mereka disamakan dan disetarakan.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa menurut Hannah Arendt, politik merupakan aktivitas komunikatif berupa penampilan diri dengan sifatnya yang sosial sebagai satu-satunya aktivitas yang menjadikan manusia sungguh manusia dan menjamin seseorang berada dalam pengalaman akan realitas dunia.
Sependapat dengan Hannah Arendt, Aktivitas komunikatif merupakan pendekatan penulis yang akan dikaji dengan memahami politik dalam perspektif orang-orang katolik.
Politik dalam Pandangan Orang-orang Katolik
Apakah gereja bisa berpolitik? Jawabannya tentu ya karena gereja adalah umat Allah.
Di dalam Gereja, umat Allah berlaku sebagai makluk sosial dan didalam sifat yang sosial itu ia memiliki hak dan kebebasan berpolitik, tetapi konsep berpolitik harus tetap berada pada kebenaran.
Dan dalam kebenaran itu hendaknya yang politis mesti memahami benar politik sebagai bentuk aktivitas komunikatif.
Politik sudah akrab diserukan oleh Gereja dengan menekankan pada nilai-nilai iman kristiani dan etika solidaritas. Dalam Gaudium Et Spes 73 misalnya, disinggung hubungan antara politik dan iman kristiani.
Dikatakan di sana bahwa semua kekuasaan harus digunakan untuk kepentingan umum bukan dipakai untuk kepentingan partial saja.
Arendt dalam pemikirannya tentang kekuasaan, disana ia katakan bahwa kekuasaan merupakan media untuk menciptakan relasi yang baik diantara anggota-anggotanya melalui aksi komunikatif yang bukan bersandar pada dukungan kehendak orang lain atau tujuan seseorang, namun pada formasi kehendak dalam satu bentuk komunikasi yang ditujukan pada kesepakatan.
Juga dalam ensiklik Octogesima Advensiens no 46 menegaskan bahwa tugas politik adalah memecahkan soal-soal hubungan antara manusia.
Umat Kristiani diundang untuk terlibat didalamnya dan menetukan pilihan sesuai dengan injil. Injil menjadi parameter bagi orang-orang katolik dalam bertindak. Tindakan di luar injil merupakan bentuk kekeliruan dan penyangkalan.
Cara berpolitik orang-orang Katolik diharuskan bersandar pada nila-nilai iman Kristiani.
Diharapkan dari metode politik ini, orang-orang katolik tidak jatuh dalam praktik politik yang dari tahap ke tahap menjadi teror di Indonesia seperti halnya korupsi.
Menyimak kasus-kasus korupsi yang sering terjadi di negara kita ini misalnya, terlihat bahwa konsep politik yang pada dasarnya bernilai mulia dan agung, mulai terjebak dalam aktivitas kerja dan karya semata.
Politik dijadikan lahan kerja dan karya. Politik tidak lagi mempertimbangkan kepentingan umum yang semestinya menjadi telos dalam siklus perpolitikan.
Lebih lanjut, selain menekankan nilai-nilai iman Kristiani, perlu bagi orang katolik menghidupkan kembali etika Kristiani dengan tujuan dapat mengetahui benar cara berpolitik.
Etika yang ditawarkan orang-orang katolik- dalam kosa kata Hannah Arendt- “etika solidaritas”.
Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua.
Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai-nilai, seperti kasih, perhatian, simpati, dan sebagainya.
Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.
Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya.
Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri.
Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik.
Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara.
Etika solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat.
Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek.
Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat.
Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.
Sepanjang perjalanan menyimak tulisan ini, saatnya pembaca yang budiman tiba pada kesimpulan bahwa sudah waktunya orang-orang katolik akan merubah paradigma berpolitik khususnya Indonesia dengan menerapkan politik sebagai aktivitas komunikatif.
Dan benar bahwa esensi manusia terlahir sebagai makluk sosial (homo socius) yang bertanggung jawab terhadap manusia lain sebagai dirinya yang lain sehingga disanalah letak politik sungguh-sungguh ada.
Orang-orang katolik mengetengahkan iman sebagai sarana yang mengantar cara berpolitik mereka supaya tidak keluar dari hakikat kebenaran seperti halnya korupsi, berkuasa, sistem otokrasi dan lain-lain.
Dalam menguatkan metode berpolitik yang benar inilah orang-orang katolik pun menghidupkan kembali nilai-nilai etis terutama etika solidaritas sebagai konsep memahami yang lain sebagai sesama sehingga didalam berpolitik tidak berlaku sistem kawan dan lawan.
Ito Naimnanu. Lahir pada 04 Februari 2000 di Maubesi -TTU. Saat ini sedang bergiat dalam dunia pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang jenjang strata-1 (S-1), Fakultas Filsafat, Program Studi Ilmu Filsafat. Sekarang sudah semester ke-IV dalam jenjang Perguruan Tinggi. Sebagai seorang mahasiswa yang sedang haus akan kebenaran pengetahuan, penulis juga adalah seorang calon Imam yang sementara ini sedang dibina di panti pendidikan calon iman Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang.