*Oleh: Frans Bukardi, SS
Sejuh ini, Covid-19 telah menimbulkan dua sisi dampak sekaligus, baik yang positif, maupun negatif.
Yang positif misalnya percepatan literasi digital masyarakat. Era baru serba “online” atau “daring” merambah ke semua sektor kehidupan.
Budaya ini menggantikan pola lama serba manual “face to face procedure. Pelayanan barang dan jasa, lebih mudah, cepat dan dekat.
Semua ada di ujung jari dan layar android. Namun, di balik itu, terdapat pula kekurangannya.
Salah satu sektor yang sangat terdampak oleh pandemi Covid-19 ini adalah Pariwisata.
Banyak pekerja usaha-usaha jasa pariwisata yang dirumahka dan beralih profesi. Tingkat hunian hotel menurun.
Anggaran belanja pembangunanpun tersedot untuk upaya penanggulanagan dampak pandemi agar terkendali. Pertumbuhan ekonomi di setiap negara dihitung ulang.
Jutaan orang di seluruh dunia meninggal. Selama dua tahun ini warga dunia menghabiskan hari-hari mereka untuk belajar, belanja, bekerja, berbisnis dari rumah.
Semua, harus membiasakan diri dengan kehidupan “new normal” yang cenderung membosankan.
Masyarakat dipakasa menerima kehidupan baru ini demi keselematan diri dan sesama.
Masih menarikkah membicarakan sektor pariwisata ini di tengah pandemi dan pascaCovid-19?
Tulisan ini adalah sari pemikiran penulis saat menjadi salah satu peserta pada kegiatan Seleksi Calon Pimpinan Tinggi Pratama Tahun 2021.
Hemat penulis, ide ini layak didiskusikan dan dikritisi (feed back). Ini terutama karena fungsi dan peran sektor pariwisata sebagai salah satu penggerak ekonomi daerah.
Tiga Keprihatinan Bersama
Keprihatinan dan perhatian serius seluruh komponen masyarakat daerah ini mesti mencakup tiga soal berikut.
Pertama, Perpres Nomor 63 Tahun 2020. Menurut peraturan tersebut, Kabupaten Manggarai Timur masih dikategorikan daerah tertinggal bersama 62 kabupaten lainnya, termasuk 22 kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tingkat perekonomian masyarakat, sumber daya masyarakat, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan dan aksesibilitas ternyata belum mengalami perubahan berarti dinyatakan tertinggal untuk pertama kalinya pada tahun 2015 (Perpres No. 131 Tahun 2015).
Berbeda dengan Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, kini sudah meninggalkan status tertinggalnya.
Kedua, kualitas Indeks Pembangunan Manusia masih berkategori sedang. Kabupaten Manggarai Timur masih berada pada peringkat ke-21 dari 22 kabupaten dan kota Se-Provinsi NTT atau hanya terpaut 0,85 dari kabupaten juru kunci Kabupaten Sabu Raijua atau naik 0,20 point dari tahun 2017. (BPS NTT, 2020).
Indikator-indikator sebagai parameter IPM diakui dunia internasional. UNDP selaku pencetus IPM ini meyakini bahwa daya beli masyarakat, umur harapan hidup dan lama pendidikan menjadi parameter kunci indikator keberhasilan pembangunan sebuah negara (baca: daerah);
Ketiga, hasil survei Litbang Kemenpan-RB tahun 2020 menyebutkan bahwa Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu daerah kabupaten yang inovasinya di-disclaimer bersama dengan 55 kabupaten lainnya yang sebagian besar berada di wilayah Timur Indonesia (Merdeka.com, edisi 18 Juni 2020).
Tiga hal dimaksud menurut hemat penulis, mesti menjadi arah pergerakkan semua elemen yang ada di daerah ini.
Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki elemen masyarakat (Eksekutif, Legislatif dan Masyarakat) seyogyanya diarahkan bersama-sama untuk mengurai, menemukan solusi, menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi ketiga soal tersebut di atas.
Karena itu, dibutuhkan langkah percepatan yang terukur dari segi waktu dan hasil pada setiap sektor pembangunan menjadi pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan.
Penggerak Ekonomi Daerah
Dalam rentang waktu 2019-2024, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor penopang visi Sejahterah Kabupaten Manggarai Timur.
Untuk mewujudkan visi itu dua misi yaitu pengembangan ekonomi unggulan berbasis pariwisata, menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan dan inovatif.
Sasarannya yaitu pertumbuhan sektor jasa, lama kunjungan wisatawan, dan meningkatnya PAD sektor Wisata. Kebijakannya meliputi; 1). Pariwisata berbasis masyarakat melalui pola pembangunan Desa Wisata untuk meningkatkan pertumbuhan sektor jasa 2). Memperkuat daya saing melalui pariwisata untuk meningkatkan kunjungan wisata, memperpanjang lama tinggal dan belanja wisatawan 3). Peningkatan pembangunan sarana prasaran umum, fasilitas umum dan fasilitas pariwisata yang dibutuhkan untuk menunjang kelancaran pariwisata.
Fokus penulisan penulis pada upaya peningkatan jumlah, jenis maupun kualitas fasilitas umum dan fasilitas pariwisata pada obyek dan daya tarik wisata yang diharapkan berdampak pada peningkatan jumlah usaha jasa, dan lama tinggal wisatwan yang akan datang berkunjung.
Empat Klasifikasi ODTW
Berdasarkan status kepemilikan, ODTW Kabupaten di Manggarai Timur dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (Empat) kelompok kepemilikian, yaitu ODTW milik Pemerintah Daerah, milik orang per orang (individu), milik komunitas atau masyarakat adat/suku, milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan milik Dinas Kehutanan Propinsi NTT.
Pola yang dipraktikkan selama ini berturut turut penyerahan atau peralihan hak milik dari indivu tertentu (hibah) atau dari masyarakat adat/suku, sertifikasi lahan, perencanaan (master plan/detailed design) dan terakhir pelaksanaan pembangunan fasilitas umum, dan fasilitas pariwisata. Sertifikat lahan merupakan salah satu syarat daerah penerima DAK fisik bidang pariwisata. Hal ini dimaklumi sebab 62% sumber anggaran bidang pariwisata berasal dari DAK.
Apakah pola pengalihan hak milik ini efektif diterapkan untuk 97% ODTW belum dikelola untuk pertumbuhan sektor usaha jasa, peningkatan jumlah kunjungan dan PAD sebagaiman indikator sasaran kebijakan yang telah ditetapkan?
CBT, PAD dan PDRB
Pilihan arah kebijakan pariwisata berbasis masyarakat (CBT), menuntut perubahan paradigma pendekatan pola pengelolaan.
Dalam pilihan pariwisata berbasis masyarakat, masyarakat adalah agen utama.
Mereka tidak lagi obyek sasaran semata melainkan sebagai pelaku yang menjalankan juga fungsi manajerial mulai dari perencanaan hingga evaluasi kegiatan pariwisata.
Setidaknya merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi bersama mereka. Dengan konsep ini Konsep ini, Penghasilan Asli Daerah (PAD) bukan merupakan satu-satunya sasaran akhir, melainkan Penghasilan Domestik Bruto atau penghasilan per kapita masyarakat di sekitar obyek atau suatu wilayah.
Karena itu, parameter untuk mengukur kinerja bukan saja PAD, melainkan bertumbuh dan meningkatnya jumlah sektor usaha jasa pariwisata masyarakat, seperti warung makan, home stay, usaha ekonomi kreatif skala rumah tangga, dan usaha-usaha jasa pariwisata lainnya.
Hal ini sejalan dengan indikator daya beli masyarakat dalam IPM atau indikator perekonomian masyarakat dalam mengukur kemajuan sebuah daerah.
Merujuk pada dasar pemikiran ini, maka pola pengelolaan ODTW berdasarkan klasifikasi status kepemilikan ODTW berikut, dapat didiskusikan dan dipertimbangkan bersama untuk diaplikasikan dalam seluruh proses penyelenggaraan kepariwisataan di Kabupaten Manggarai Timur.
1. Pola Pengelolaan ODTW dengan Hibah
Salah satu skema pengelolaan yang dapat dipertimbangkan adalah skema hibah. Skema pengelolaan hibah adalah peralihan hak atau kepemilikan atas barang baik dari pemerintah atau dari masyarakat ke pemerintah pilihan Skema hibah ini dapat diterapkan pada ODTW Budaya seperti Situs Sambilewa, Watunggene, atau situs Compang Riwu.
ODTW Budaya diketahui masih dimanfaatkan dalam pelaksanaan berbagai ritus adat yang masih dipertahankan oleh komunitas adat setempat.
Skema ini telah dipraktikan selama ini terhadap beberapa ODTW Budaya. Terhadap pola ini, dapat dipertimbangkan skema bagi hasil dari penyediaan dan pengelolaan beberapa fasilitas umum dan fasilitas pariwisata yang dibangun.
2. Pola Pengelolaan ODTW dengan Tukar Menukar
Skema ini dapat diterapkan pada ODTW dengan status kepemilikan individu.
Skema pengelolaan ini dilakukan dengan cara menukar barang (tanah atau bangunan) dengan nilai yang minimal sama.
Model ini ditujukan untuk memaksimalkan manfaat dari ODTW tertentu. Skema pengelolaan ODTW ini dapat diterapkan pada lahan di beberapa ODTW seperti Permandian air panas Rana Roko, Liang Mbala. Tentu tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
3. Pola Pengelolaan dengan Pengadaan Tanah
Skema ini dapat diterapkan pada ODTW milik individu atau komunitas adat. Penerapan skema ini dilakukan dengan pengadaan lahan pada ODTW tempat pembangunan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata. Hal ini sesuai dengan amanat PP No 19 tahun 2021.
Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa Pemda dimungkinkan untuk membeli tanah untuk kepentingan umum. Namun tetap mengacu pada kemampuan keuangan daerah.
4. Pola Pengelolaan ODTW yang berada pada kawasan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan atau Dinas Kehutanan dapat mempertimbangkan pola pemanfaatan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang perubahan atas PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah.
Skema pengelolaan dalam ketentuan dimaksud meliputi upaya pemanfaatan atau pendayaagunaan atas barang milik negara maupun daerah.
Pilihannya meliputi sewa pakai, kerja sama pemanfaatan, bangun serah guna dan bangun guna serah adalah skema pengelolaan yang bisa dinegosiasikan kepada pengelola maupun pengguna atau kuasa pengguna barang.
Skema pengelolaan ODTW ini dapat diterapkan pada beberapa ODTW yaitu Danau Rana Mese, Air Terjun Cunca Rede, dan Batu Kelamin di Puncak Gunung Poco Ndeki.
Pelaksanaan pilihan pola pengelolaan ODTW ini perlu mendapatkan persetujuan bersama dengan legislatif daerah.
Hal ini dengan terlebih dahulu dilakukan penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan ODTW.
Perda itu akan menjadi dasar bagi eksekutif atau OPD teknis untuk menjalankannya.
Tidak kala penting adalah peran serta masyarakat dalam mewujudkan cita cita yang ditetapkan pemerintah melalui kebijakannya.
Memaksimalkan peran sektor pariwisata sebagai salah satu primadona PAD maupun PDRB daerah bukanlah pekerjaan muda.
Dibutuhkan tenaga yang besar, inovasi, kreativitas, kerja sama lintas sektor, dan lintas kepentingan.
Kolaborasi, sinergisitas, dan integrasi antar stakeholders sangat dibutuhkan untuk mendukung sektor ini.
Aksesibilitas yang memadai, sarana air minum dan jaringan listrik maupun jaringan internet adalah beberapa infrastruktur dasar yang dibutuhkan.
Gelombang wisatawan menuju obyek dan daya tarik wisata pasca pandemi Covid-19 adalah peluang sekaligus tantangan yang mesti diraih.
Opini ini adalah bentuk bakti penulis untuk memantik diskusi yang bisa melahirkan ide sekaligus semangat baru mencintai daerah ini dengan sepenuh hati.
Keberadaan kita hari ini sebagai penyedia jalan bagi generasi daerah ini agar mereka tidak lagi menghadapi massalah yang sama di kemudian hari.
Penulis adalah ASN pada Pemda Manggarai Timur