Oleh: Aven Hadut
Anggota KMK Ledalero
Tidak dapat dimungkiri bahwa di samping memberi efek positif, kemajuan teknologi juga mendatangkan pengaruh yang negatif.
Media sosial yang pada dasarnya sebagai wadah berkomunikasi, bergeser menjadi tempat caci-maki.
Media sosial yang merupakan ruang untuk melekatkan relasi kawan, berubah jadi ruang beradu lawan.
Nilai-nilai hidup yang positif yang semestinya dibawa serta di dalamnya, justru menjadi lahan kemerosotan nilai.
Maka, sesuatu yang penting di tengah realitas ini ialah penghidupan kembali nilai-nilai itu.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh dalam menghidupi kembali nilai-nilai tersebut ialah dengan bersastra.
Dengan itu, sastra menjadi pengekspos atau “corong” dari nilai-nilai yang membangun.
Sastra dan Kekayaan Nilai Hidup
Menurut Wallek dan Warren, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Maruf dan Nugrahani, sastra merupakan suatu karya seni, karya kreatif manusia yang mengandung nilai estetik.
Sastra dipahami sebagai suatu wujud seni budaya yang memiliki dunia dan konteks perwujudannya tersendiri.
Sastra merupakan suatu perwujudan dunia hasil pengamatan sastrawan terhadap situasi, kondisi, pengalaman maupun kehidupan sekitarnya.
Dalam pemikiran ini, Wallek dan Warren menegaskan bahwa sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunianya tersendiri yang merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya.
Sastra dibangun di atas pengalaman hidup dan kenyataan yang dialami oleh sastrawan atau hasil pengamatan akan realitas hidup di sekelilingnya.
Ia merupakan “dunia kedua” bangunan pengalaman dan nilai-nilai hidup dari suatu kenyataan.
Ia adalah jembatan antara pengalaman nyata yang mengandung makna yang masih suram dengan “dunia kedua” bangunan sastra yang turut menegaskan makna realitas.
Dengan itu, kita dapat melihat bahwa sastra memiliki segudang nilai yang berdaya humanis dan mampu membawa manusia pada suatu pemaknaan hidup.
Poetic-Imagination: Bersastra di Era Digital
Satu hal yang menjadi titik penting dalam berpikir ialah dimensi poetic-imagination.
Heidegger menerangkan hal ini dengan menarik tali penghubung antara berpikir dan berpuisi. Berpikir mengalir dari suatu daya poetic-imagination.
Poetic-imagination menjadi suatu stimulasi untuk kedalaman berpikir.
Daya poetic-imagination menggiring kita untuk mampu mengakarkan diri pada suatu makna sejati dari berpikir itu sendiri.
Poetic-imagination memicu daya berpikir untuk membongkar selubung pengindraan menuju pada sesuatu yang sesungguhnya.
Kekuatan poetic-imagination tak terhalang pada suatu horizon kenyataan yang tampak.
Poetic-imagination membantu kita untuk dapat memahami secara mendalam cara kita berada di tengah realitas.
Heidegger menjelaskan poetic-imagination sebagai pengarah pada suatu kedalaman pemahaman dan cara berpikir.
Ia menegaskan bahwa apa yang tampak ialah sesuatu yang sederhana dan menimbulkan kekaguman.
Heidegger mengatakan bahwa “Yang paling mengagumkan dari semua kekaguman ialah ‘ada sesuatu’.
Kekaguman ini memaksa setiap orang untuk berpikir. Dalam titik ini, poetic-imagination berperan dalam mencari kesungguhan makna.
Ia mengupas realitas untuk sampai kepada inti yang penuh arti. Di sinilah titik temu antara poetic-imagination dan sastra.
Sastra sebagai seni yang mengandung beragam nilai merupakan suatu kreasi yang terpicu poetic-imagination.
Karena itu, apa yang dinyatakan oleh Heidegger adalah benar, bahwa “hanya pemikir yang mendalam dan seorang sastrawan yang benar dapat menangkap misteri kehadiran dan kekaguman yang simpel” .
Sastra merupakan buah dari daya poetic-imagination. Poetic-imagination mendorong cara berpikir pada suatu makna terdalam dari realitas.
Poetic-imagination menjadi pisau bedah dari sastra dalam menemukan makna asli dari setiap pengalaman hidup.
Keterselubungan realitas dibongkar dengan daya poetic-imagination. Namun, di era digital daya poetic-imagination seakan ditantang.
Di era digital ini, pengalaman-pengalaman akan realitas tak perlu dimaknai lagi yang terpenting ialah kebaruan dan sensasinya.
Segala sesuatu yang tertuang dalam dunia digital tak terukur lagi pada suatu kebenaran dan pemaknaan yang mendalam.
Maksud ini sepadan dengan pernyataan Prof. F. Burdiman bahwa “Lolongan tidak perlu benar, tetapi harus kontroversial, sensasional, dan ekstrem agar merebut perhatian di tengah luapan informasi.
Target mereka: menghancurkan wajah lawan lewat gawai”.
Di era digital ini, fakta menjadi simpang siur dan kabur. Media digital dimanfaatkan untuk menciptakan agitasi dan provokasi.
Darinya tercipta bentrok sosial. Hal ini tercipta karena meredupnya kedalaman berpikir.
Akhirnya, nilai-nilai hidup lenyap tertelan media digital yang disalahfungsikan oleh pengguna.
Era digital menjadi waktu ‘mati suri’ bagi sastra.
Pasalnya, nilai-nilai yang sejatinya mau ditampilkan dalam sastra semakin kabur dibawa media digital.
Yang ada hanyalah budaya narsis. Demi narsis, orang tak perlu lagi basa-basi atau refleksi khas cara berpikir poetic-imagination.
Tidak perlu ruang sunyi untuk bisa menggali makna tersebunyi dari sesuatu yang diindrai khas kaum sastrawi, malah yang dicari hanyalah riuh-ramai.
Ini merupakan tanda sastra yang “mati suri” di era penuh teknologi.
Mengenai narsisme ini, Toba Sastrawan Manik menulis bahwa “Narsisme atau narsistik adalah penjungkirbalikan arah dari nilai, sistem, atau budaya yang awalnya dimanifestasikan kepada sosial, kebersamaan secara luas dan kesamaan ke arah nilai, sistem, dan budaya yang beragam dan individual atau partikular”. Inilah penampakan kemerosotan nilai-nilai hidup di era digital.
Pudarnya nilai-nilai hidup oleh arus perkembangan teknologi ini menuntut kita untuk mencari alternatif dalam menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut.
Hemat penulis, sastra memainkan perannya di bagian ini. Sastra dengan poetic-imagination-nya dapat menjadi sarana dalam menghidupkan kembali nilai-nilai hidup yang terancam pudar oleh karena perkembangan teknologi.
Dengan Poetic-Imagination, kita mampu mencerna makna-makna penting dari setiap pengalaman.
Poetic-Imagination membantu kita untuk berpikir dua kali dalam memaknai setiap hal yang dialami sehingga memberikan nilai positif dan mendukung perkembangan hidup.
Dengan demikian, sastra menghidupkan perannya di era digital dengan poetic-imagination sebagai kekuatan pokok. Paling tidak, inilah cara baru bersastra di era digital.
Berdasarkan ulasan-ulasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sastra memainkan perannya di era digital dengan menghidupkan kembali nilai-nilai hidup yang semakin pudar ditelan arus kemajuan teknologi.
Poetic-Imagination sebagai hal pokok sastra menjadi bagian kunci dalam menghidupkan nilai-nilai hidup tersebut.
Dengan demikian, bersastra di era digital berarti menghidupkan kembali nilai-nilai hidup dengan sastra sebagai jembatannya.