(Narasi untuk Drs. Petrus Bere, MM/ Mantan Sekda Belu 2010-2019)
Oleh: Herry Klau
ASN pada Dinas Kominfo Malaka,
Mantan Reporter Belu TV
Tanggal 4 Maret 2022. Hari Jumat. Satu bulan 11 hari lalu. Cerita singkat ini saya awali.
Ketika menaiki tangga depan Kantor Bupati Malaka, saya menangkap sosok seorang pria berkemeja putih dan mengenakan sarung khas Malaka sementara membelakangi dan lagi berbincang-bincang.
Banyak orang datang, melempar senyum dan mendekat untuk berjabat tangan dengan pria itu, terutama para pegawai di Sekretariat Daerah Malaka.
Saya pun mendekat dan tanpa ragu, saya menyodorkan tangan menggenggam tangan lembut pria itu. Saya mengenal dengan sangat baik lekaki bertubuh tegap ini.
“Isin diak ka lale, Herry?
Saya pun lantas menjawabnya, siap bapak. Tuir bapak nare, hau isin se diak.
Lalu kami saling melempar senyum dan berjalan bersama memasuki aula Kantor Bupati Malaka.
Langkahnya masih tegap. Saya mencoba memegang tangan beliau, tapi dia menepisnya dan mengatakan masih bisa menaiki 8 anak tangga itu.
“Saya masih kuat,” katanya. Dan memang dia masih terlihat kuat sambil berjalan.
Maklum, yang saya tahu, dia mantan atlet inkai yg sejak mahasiswa menjuarai berbagai turnamen di Kupang dan masih menjadi pelatih di Belu saat masih aktif sebagai pegawai negeri.
Di dalam aula, saya duduk tepat berada di belakang beliau. Kehadirannya sebagai anggota Tim Percepatan Pembangunan yang bersama Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, SH, MH membahas program dan kegiatan di Kabupaten Malaka.
Beliau duduk bersebelahan dengan Pak Carloz Moniz dan Pak Silvester Leto.
Yang saya ingat, beliau memberikan HP kepada saya dan meminta untuk memotret dirinya.
“Herry, tolong foto pakai HP saya dulu. Ambil beberapa foto e,” katanya sambil tersenyum.
Dan seperti biasa, saya klik beberapa kali di tombol kamera untuk memenuhi permintaannya.
Dalam pertemuan itu pun, beliau sempat bertanya kepada saya tentang perkembangan Malaka.
“Maklumlah, saya hanya baca lewat media,” selorohnya.
(Secara pribadi ini pertemuan saya terakhir kalinya dengan Bapak Petrus Bere).
Memutar kembali kenangan yang pernah dilewati bersama saat masih berada bersama di Belu.
Bagi kami orang-orang Malaka yang berada di Belu, sosok Bapak Piet adalah figur yang familiar, santun dan sangat tegas tapi joke-joke ringannya membuat suasana gurih dan renyah.
Hari-hari yang kami lewati bersamanya adalah hari yang sangat berarti. Ketika duduk bersama, kami banyak bercerita tentang Malaka, rai moris fatin, tanah yang penuh dengan susu madu.
Satu pesan yang selalu kami pegang yakni mari kita berjuang untuk Rai Malaka dengan cara kita masing-masing.
Mari kita saling membesarkan, karena Rai Malala menanti kita. (Kata-kata penguatan dan penegasan itu saat kami sedang berjuang dengan cara masing-masing menyongsong pemekaran)
Pemekaran Kabupaten Belu menjadi Kabupaten Malaka juga adalah tonggak sejarah dan pula bagian dari sumbangsih pemikiran seorang Petrus Bere, dan hingga saat ini, ketika Kabupaten Malaka berumur 9 tahun.
Seiring perjalanan waktu, dirinya dikenal sebagai salah satu tokoh pendiri Rai Wesei Wehali, Sabete Saladi.
Saat masih sebagai wartawan ‘bebas’ dan sebagai reporter di TV Belu, kami sering kali bertemu dan berdiskusi.
Entah sebagai atasan, entah sebagai keluarga dan juga sebagai senior orang Malaka yang jadi ‘orang besar’ di Belu.
Sudah barang tentu, dia mendengar saran, permintaan dan keluh kesah. Tak jarang juga dia banyak memberikan solusi, jalan keluar.
Sebagai orang tua, setiap kali hajatan sekecil apapun di rumahnya di Tini, Kelurahan Manuaman, Atambua kami anak-anak dari Malaka selalu dilibatkan.
Dia yang selalu menelepon atau SMS. Ini teladan figur yang kebapakan dan penuh dengan kerendahan hati.
Kami juga seringkali mengikuti tugas dan pekerjaan beliau sebagai seorang Sekretaris Daerah Kabupaten Belu tahun 2010-2019.
Ketika hadir dalam sebuah acara, dirinya sangat membaur dengan masyarakat, menyapa rakyat dengan bahasa budaya dan kata-kata adat yang khas dan mengena.
Oleh karena itu, dalam segala situasi, beliau diterima. Dia banyak memberikan pemikiran-pemikiran cerdas ketika para pegawai mendapat permasalahan atau kesulitan.
Bahkan saat masih sebagai Kepala Banwas di Belu dirinya banyak membantu pegawai yang terlilit masalah keuangan. Sungguh, sosok yang sangat disegani.
Tentang Malaka dan orang Malaka khususnya, ayah 2 orang anak ini (Untung dan Novi) selalu mengutarakan kata-kata ini, “tama mutu laluan, keta sui sala malu”.
Kalimat ini yang rupanya menginspirasi beliau dan Bapak Zakharias Seran untuk menciptakan sebuah lagu tebe, Tebe Rai Belu- Malaka yang syairnya sangat menyentuh dan pasti akan selalu terpatri di setiap hati anak-anak Malaka.
Mungkin filosofinya, agar sebagai anak-anak Malaka, kita tidak boleh saling mencederai, tidak boleh saling mengkhianati.
Kita berada di waktu dan tempat yang sama. Kita berada di wilayah yang satu dan sama.
Di Malaka, sebagai anak-anak Malaka kita saling mendukung, saling menghargai, saling menghormati, penuh dengan kneter ktaek, penuh dengan adat sabete saladi.
Harapan beliau lewat lagu ini agar kita saling membesarkan sebagai anak Malaka, yang bediri sama tinggi dan yang duduk sama tinggi.
Pada akhirnya, syair lagu itu hanya untuk mengenang penciptanya yang sudah mendahului ke alam baka.
Di sana, dia akan terus bernyanyi untuk keluhuran Rai Malaka.
Album lagu Tebe itu bersama-sama dengan beliau saya dan beberapa teman diantaranya Yudha Magno, Roberts Bria Seran, Ahmad Nenometa, Okto Mali mengambil gambarnya di perkampungan adat Dirma, Kecamatan Malaka Timur 2010 lalu. (Catatan: Foto dan videonya masih ada pada kami)
Masih banyak cerita dan kisah tentang figur Petrus Bere yang kami kenal sebagai pribadi yang rendah hati, pribadi yang merangkul, pribadi yang sangat disiplin dan tak kenal menyerah ini.
Bersama beberapa teman wartawan (Cyriakus Kiik, Mans Nahak, Yosman Seran dan Frido) kami sedang mempersiapkan beberapa goresa tentang perjalanan setahun Kabupaten Malaka.
Dua hari lalu, menurut Yosman Seran (wartawan TVRI di Malaka) dirinya sempat menelpon utk memperoleh kesan dan pesan tentang Kabupaten Malaka.
Pikiran beliau akan kami tuangkan dalam catatan itu. Dan mungkin, itu adalah pesan terakhir untuk ita ema Rai Malaka.
Pagi ini, Jumat, 15 April 2022, bertepatan dengan Jumat Agung dalam Liturgi Umat Katolik, saat membuka media sosial, saya sangat terkejut.
Di beberapa akun Facebook sahabat terpampang jelas foto Petrus Bere disertai ucapan RIP (Requescat In Pacem).
Bapak Petrus Bere meninggalkan kita semua yang mengenalnya bersamaan dengan seluruh umat Katolik seluruh dunia memperingati wafatnya Yesus Kristus sangat Juru Selamat dunia.
“Berhargalah di mata Tuhan, kematiam semua orang yang dikasihi-Nya” (Mazmur 116 : 15)
Beistirahatlah dalam damai, sang inspirator. Beristirahatlah bersama para Kudus di surga, Sang Teladan.
Sampai berjumpa di Yerusalem baru, tempat kita semua akan berjumpa lagi dalam kehidupan baru. Doa kami menyertaimu, Bapak Petrus Bere.
Kami akan terus mengenangmu sambil menyelami ” TAMA MUTU LALUAN KETA SUI MALU,”
Catatan:
Tulisan singkat ini dibuat di Kakaniuk, Malaka Tengah usai mengikuti Jalan Salib mengenang sengsara Yesus Kristus