Ende, Vox NTT-Tanah Detunggali merupakan tanah persekutuan atau bahasa adat Lio kerap disebut “Tana Nggoro”. Tanah persekutuan ini menempati beberapa desa yang tergabung dalam wilayah administrasi Kecamatan Wewaria, Kecamatan Maurole dan Kecamatan Detukeli.
Masyarakat adat “Tana Nggoro” sangat kental dengan tradisi budaya. Mereka percaya tradisi adat yang diwariskan leluhur menjadi pijak untuk menyelamatkan tanaman pertanian mereka.
Adalah, Yohanes Wangge, Mosalaki Gao Wisu mengatakan, tahapan ritual adat “Taha Nggoro” masih dilaksanakan. Tradisi tersebut, pasalnya, merupakan kewajiban masyarakat untuk dirayakan.
Hal senada dikatakan David Mboi, anak Mosalaki Pu’u yang merupakan saudara dari Yohanes Wangge. Menurut David, ada empat tahap prosesi adat yang wajib dilakukan oleh semua komponen termasuk ana kalo fai walu.
Masing-masing tahap ritual memiliki tata cara yang berbeda. Tentu, semuanya itu dibawah kendali para Mosalaki atau Tetua Adat. Berikut tahapan ritual mengusir hama;
Pire Te’u
Prosesi atau upacara Pire Te’u biasa dilakukan setelah upacara adat Nggua Ria atau adat besar. Tetua adat atau Mosalaki mengumumkan kepada penggarap atau ana kalo fai walu untuk mengumpulkan segala jenis makanan untuk keperluan selama upacara pire te’u.
Saat itu, di kampung induk adat atau Lewumbangga, anak-anak Mosalaki membagikan beberapa butir beras bersama abu dapur dan bulu ayam yang semua diisi dalam satu wadah yang disebut Ke’a mata. Prosesi ini bermakna bahwa semua keburukan dari dalam rumah dititip melalui wadah tadi.
Tanda keheningan segera akan dimulai melalui pemukulan gong oleh tetua adat. Seluruh anak kampung Tana Nggoro wajib hukumnya tidak melakukan keributan serta dalam kondisi gelap tanpa ada cahaya apapun hingga waktu yang ditentukan.
Apabila larangan tersebut tidak diindahkan oleh penggarap maka, akan dikenakan sanksi berupa seekor babi yang namakan Poi. Sanksi tersebut akan disampaikan oleh anak Mosalaki pada keesokan harinya.
Suasana keheningan tersebut berlangsung selama kurang lebih tiga sampai empat jam yang ditandai melalui pengumuman oleh Mosalaki yang dalam bahasa adat disebut Bhora. Aktivitas penggarap boleh dilakukan seperti biasa.
Hingga esok hari, wadah ke’a mata tadi dilempar ke halaman rumah sembari meneriak bertanda semua hama jauh dari tanaman. Selanjutnya, wadah dibakar di rumah adat.
Prosesi pire te’u ini berlangsung selama satu minggu. Dan pada masa itu, semua aktivitas pertanian termasuk pengerjaan proyek apapun dihentikan sementara waktu. Artinya, masa prosesi ini untuk mengusir hama khusunya tikus (Te’u) agar tidak menyerang tanaman pertanian penggarap.
Sewu Api
Usai prosesi adat Pire Te’u dilanjutkan ritual adat Sewu Api yang berlangsung satu hingga dua minggu berikutnya. Ritual ini ditandai melalui utusan ana kalo fai walu untuk menangkap binatang air seperti udang, kepiting hingga belut. Hasil tangkapan akan dibawa ke rumah adat untuk dimasak pada malam harinya.
Setelah semua dimasak, Mosalaki mulai membuat api unggun dengan kayu api yang disiapkan penggarap sehari sebelumnya. Hingga tersisa bara api, Mosalaki kemudian melakukan ritual pemberian makanan kepada leluhur, tana watu dan tubu kanga.
Selanjutnya, makan bersama dengan ana kalo fai walu yang menanda dan bersepakat untuk tidak membakar sampah di luar rumah, menjemur gebang, lontar, daun pandan serta bahan lain yang kerap dibuat bakul dan sokal atau bahasa Lio menyebutkan mbola no’o lepo.
Makna dari prosesi atau ritual adat ini bahwa tanaman ladang penggarap bertumbuh subur dan tidak diserang hama. Dalam bahasa adat setempat disebut “Tedo tembu wesa wela, meta ngere lelu kela, mbombe ngere bhoka rose, lisa ngere gai ria”.
Wira Bara
Ritual wira bara akan segera dimulai setelah prosesi adat sewu api. Prosesi adat ini dilakukan sebagai tanda para penggarap atau ana kalo fai walu untuk boleh kembali membakar sampah, menjemur lontar dan sebagainya untuk membuat mbola no’o lepo.
Ritual ini sering bertepatan saat padi ladang atau Pare uma wolo sudah mengeluarkan bulirnya atau dalam bahasa daerah disebut pare nebu soke bode.
Para ana kalo fai walu dapat menanam kembali sisa padi yang ditanam pada awal musim tanam padi ladang atau bahasa setempat disebut peso tedo tera are.
Joka Ule
Prosesi ini dilakukan dalam rangka menolak atau mengusir semua hama penyakit yang menyerang tanaman agar kembali ke tempat asal mereka semula. Beberapa jenis hama dimaksud seperti, ulat, walang sangit, belalang, semut dan hama lainnya.
Prosesi ritual ini di Tanah Detunggali biasanya dilakukan secara bersamaan dengan prosesi wira bara.
Awalnya, kegiatan ini ditandai dengan membuat sebuah perahu kecil berbahan pelepah mayang pinang, batang gelagah, bambu, tali dan gebang yang setelahnya serupa perahu layar.
Semua hama yang disebutkan diatas dimasukkan ke dalam perahu yang dilarungkan melalui air sungan yang deras dengan terlebih dahulu memberikan makanan atau sesajian.
Para tetua adat atau Mosalaki sembari merapalkan ungkapan adat sebagai makna untuk menolak atau mengusir semuai jenis hama tadi. Berikut petikan bahasa adatnya;
“Kami joka wola sumba walo sa lei sawe eo re’e, kengo, ko’a, ule, metu, nggoka. Mbana sai sa’o beu lora bewa sai, lau leka nggoka eo joga goma, leka ndere eo mer mele”.
Upacara pelarungan perahu selesai, semua penggarap atau ana kalo fai walu bersama para mosalaki kembali ke rumah adat untuk makan bersama. Biasanya, usai ini dilanjutkan dengan pesanan adat atau cerita-cerita adat serta nasihat adat.
Kemudian, Mosalaki memberikan pengumuman untuk tidak melakukan aktifitas atau pekerjaan apapun selama sehari esoknya. Bahasa adat disebut dengan pire ule.***(Ian Bala/VoN)