Oleh: Yusti Rambu Karadji, S.Th
Ketua Bawaslu Sumba Barat
Presiden pertama RI Ir, Soekarno mengatakan sejatinya membangun bangsa yang besar adalah dimulai dari membangkitkan tiap lini dan sendi seluruh ragam indentitas termasuk kebudayaan bangsa. Budaya yang kuat bisa menjadi bangunan jiwa yang matang dalam mewujudkan nasionalisme, pengayaan budaya lokal kita akan semakin lestari dan sebagai bangsa yang besar tidak akan terkikis oleh budaya asing.
Indonesia memiliki budaya dan tradisi yang bermacam-macam. Budaya dan tradisi tersebut mencerminkan identitas dari masing-masing daerah yang membuktikan bahwa warisan nenek moyang masih tetap dan perlu dilestarikan hingga kini meskipun zaman telah beralih menjadi lebih modern.
Kesakralan dan makna yang terkandung dalam setiap proses budaya dan tradisi menjadi salah satu alasan masyarakat tetap berpegang teguh dan menjalankan adat istiadat yang diwariskan.
Menurut Tylor, kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Budaya politik di Indonesia bisa dilihat dari pelaku masyarakatnya. Jadi, pengertiannya yaitu tindakan atau sikap warga negara dalam merespons struktur serta aktivitas politis dalam sebuah wilayah.
Adapun mengenai budaya poliktik ini berasal dari aspek tertentu, seperti adat, pengetahuan serta norma masyarakat. Hasil pemahaman, pembelajaran maupun analisis dalam kurun waktu tertentu oleh masyarakat yang akhirnya membentuk budaya.
Masyarakat Pulau Sumba secara umum masih sangat lekat dan kental dengan tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang.
Dan tradisi –tradisi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarkat di Pulau Sumba.
Adapun tradisi-tradisi yang ada di Pulau Sumba seperti kedde, dalam budaya kekerabatan Sumba Barat, dapat diartikan sebagai perilaku saling menolong dan seringkali ditandai dengan pemberian berupa hewan berdasarkan status perkawinan, misalnya pihak perempuan memberikan jenis hewan kerbau, dan pada saatnya dibalas pemberian hewan jenis babi oleh pihak laki-laki, dan syarat membawa hewan ini berlaku bagi semua orang Sumba Barat dalam momen acara adat.
Selanjutnya dikenal budaya Patron-klien, hubungan yang dipengaruhi oleh perbedaan status sosial, misalnya di Pulau Sumba, masih kental cara pandang bahwa orang dipandang tokoh atau status maramba (bangsawan) akan memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan.
Apa yang menjadi keputusan dan kebijakannya wajib diikuti oleh kelompok strata di bawahnya apapun status pekerjaannya.
Tradisi yang sudah menjadi kebiasaan yakni Hukum kekerabatan, aturan-aturan adat yang mengatur bagaimana hubungan antara warga adat yang satu dengan warga adat yang lain dalam ikatan kekerabatan. Misalnya di Sumba penentu kebijakan adat ada di tangan kepala suku, dan contoh lainnya pihak loka (paman) punya pengaruh dalam memutuskan masa depan ponakan.
Hubungan kekerabatan sangat kuat karena ketergantungan sosial hampir dalam semua aspek kehidupan, apapun pekerjaan, atau kedudukannya di pemerintahan tidak mendapat perlakuan khusus.
Tradisi-tradisi ini secara umum berlaku bagi setiap masyarakat Sumba tidak terkecuali pengawas pemilu. Kewajiban-kewajiban adat mengikat secara tradisi serta tidak memandang status pekerjaan, ataupun status social lainnya. Dalam momen budaya itu, kewajiban adat patut dilaksanakan.
Pengawas Pemilu sebagai bagian dari masyarakat adat Sumba juga punya kewajiban yang sama dalam melaksanakan budaya dan adat istiadat yang berlaku. Namun sebagai penyelenggara pemilu, Pengawas Pemilu juga terikat pada asas Penyelenggara Pemilu.
Meskipun adat dan budaya di Pulau Sumba sangat kental dalam kehidupan seharian, prinsip profesionalitas Penyelenggara Pemilu tetap menjadi panduan, kata kunci dan harga mati untuk mewujudkannya.
Prinsip profesional sebagaimana disebutkan dalam Undang -undang Pemilu sebagai asas dan prinsip yang harus dipedomani bagi para Penyelenggara Pemilu.
Dalam Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat sebelas prinsip Penyelenggara Pemilu yang wajib dipenuhi di antaranya mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efesien.
Dari sebelas prinsip ini, prinsip profesionalitas menjadi salah satu pripsip yang wajib dimiliki oleh Pengawas Pemilu, terutama ketika dikaitkan dengan adat dan budaya masyarakat Pulau Sumba.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesional bersangkutan dengan dengan profesi yang membutuhkan kepandaian khusus untuk menjalankannya, menjalankan profesi sebagai Penyelenggara Pemilu khususnya pengawas Pemilu wajib mengedepan profesionalitas dalam menegakkan aturan Pemilu.
Menurut Paula Hall profesionalisme berarti kepercayaan. Ia menganalogikan profesional ibarat seorang pasien yang mempercayai dokter akan menempatkan kepentingan pasien di atas segalanya.
Sedangkan menurut David H. Maister (1998:56) mengatakan bahwa orang-orang profesional adalah orang-orang yang diandalkan dan dipercaya karena mereka ahli, terampil, punya ilmu pengetahuan, bertanggung jawab, tekun, penuh disiplin, dan serius dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
Dengan demikian tuntutan profesionalitas adalah kebutuhan pokok dalam penyelenggaraan organisasi, yaitu sikap para anggota profesi benar-benar menguasai, bersungguh-sungguh kepada profesinya.
Seseorang diharapkan memiliki profesionalitas kerja yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara efektif.
Tuntutan tuntutan inilah yang diperhadapkan pada para Pengawas Pemilu di Sumba Barat dalam profesinya sebagai Pengawas Pemilu dituntut untuk dapat memiliki keahlian, pengetahuan serta dapat dipercaya dalam menjunjung tinggi amanah Undang-undang sebagai penyelenggara yang profesional.
Seorang profesional tak cukup hanya cerdas dan pintar, tetapi juga harus memiliki nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Seorang profesional harus mempunyai integritas sehingga tetap mempunyai prinsip untuk dapat bertahan dalam situasi yang tidak menentu.
Dalam posisi ini Pengawas Pemilu diwajibkan untuk dapat membedakan apa yang menjadi tuntutan profesinya dan apa yang menjadi bagiannya sebagai masyarakat adat.
Dilema yang dihadapi tentu tidak mudah, karena pengawasan yang dilakukan berhadapan langsung dengan masyarakat yang memiliki hubungan kekerabatan erat, di mana sama seperti Pengawas Pemilu yang terikat dengan aturan perundang-undangan, yang jika dilanggar dapat dikenakan sanksi. Demikian juga ada sanksi adat yang dapat dikenakan bagi oknum masyarakat yang melanggar.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menilai pendekatan kearifan lokal sangat penting dalam meminimalisasi konflik pemilu. Hal tersebut dikatakannya saat menjadi narasumber dalam diskusi Peran Kearifan Lokal dalam Meminimalisasi Konflik Pemilu bersama Fisipol Universitas PGRI Palangka Raya, Selasa (30/11/2021) lalu.
“Pendekatan-pendekatan adat dalam perspektif penyelesaian konflik itu pasti ada di setiap daerah. Hal itu yang harus digali secara mendalam sehingga kemudian ditemukan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam meminimalisir konflik pemilu,” katanya.
Menurut penulis, pandangan ketua Bawaslu, Rahmat Bagja masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat di Pulau Sumba saat ini.
Dalam konteks peningkatan kualitas demokrasi kita di tingkat lokal, khususnya di Sumba Barat, penulis sebagai Penyelenggara Pemilu harus mampu mengejawantakan prinsip dan nilai-nilai pengawasan Pemilu ke dalam dinamika kehidupan sehingga akan saling mendukung antara budaya dan nilai pengawasan Pemilu dan dengan demikian pelaksanaan Pemilu yang berkualitas pun terwujud.
Mengedepan pola pendekatan budaya lokal dalam menyelesaikan soal harus digali, dipadukan dengan regulasi kepemiluan, minimal dalam konteks pencegahan pelanggaran Pemilu.
Apalagi kini, Bawaslu secara kelembagaan melakukan pengawasan dengan spirit utama yaitu pencegahan.
Pendekatan Bawaslu itu pencegahan dan penindakan. Pencegahan harus lebih kuat dilakukan sembari kerja penindakan dilakukan secara cermat dan berkepastian hukum.
Apalagi secara kelembagaan Bawaslu mempunyai divisi baru yakni Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat.
Harapan besarnya, kerja pencegahan semakin kuat, partisipasi masyarakat semakin kuat, dan penyebarluasan informasi kepada publik juga kuat demi mewujudkan Pemilu yang aman, damai, dan berintegritas.
Tugas Bawaslu secara umum menurut Undang-Undang ada dua yakni pencegahan dan penindakan.
Dalam dimensi penindakan, ruang penindakan sangat terbatas serta bersifat limitatif lantaran terikat hukum acara. Penindakan memastian hukum berlaku dalam menangani pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu.
Sementara, dimensi pencegahan ruangnya sangat lentur dan banyak inovasi yang bisa dilakukan seperti melakukan edukasi pengawasan pemiluan dari rumah ke rumah, dan edukasi itu kepada pemilih melalui media sosial.
Apalagi pemilih kita sebagian besar terdiri dari kawula muda yang sehari-hari mengakses media sosial.
Kita berharap pencegahan terus jadi leading sektor Bawaslu yang akan bertindak secara atraktif melakukan pencegahan melalui pola-pola kreativitas seperti melahirkan konten-konten kreatif di ruang-ruang media sosial.
Salah satu narasi yang kerap kita dengar bahwa pemilihan umum 2024 akan didominasi oleh pemilih muda.
Namun apakah kelompok pemilih ini akan menjadi faktor penentu sebuah perubahan politik akan terjadi? Ada kecenderungan kelompok pemilih muda ini justru berada di persimpangan.
Bagi Bawaslu, pemetaan kelompok pemilih muda ini perlu dilakukan agar pola edukasi kepengawasan pemilu dapat dilakukan secara baik dan tepat sasaran.
Pemilih muda perlu juga dikonsolidasikan dan diberi bekal ilmu pengawasan pemilu agar mereka dapat terlibat aktif dalam konteks pengawasan partisipatif dengan mengedepankan kearifan budaya lokal.
Partisipasi tidak saja dimaknai dengan melibatkan diri pada hari pemungutan suara 14 Februari 2024 mendatang. Partisipasi dalam proses tahapan pemilu menjadi sangat penting untuk dapat menjamin kualitas hasil pemilu.
Dalam ruang budaya lokal, pemilih muda juga bisa diikutsertakan melakukan kerja kolaborasi pengawasan berbasis budaya lokal.
Selain itu, Pengawas Pemilu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat harus mampu memiliki sikap profesional dalam melaksanakan tugasnya dengan mengadopsi nilai nilai demokrasi lokal yang melekat dalam kearifan lokal masyarakat guna menunjang kerja-kerja pengawasan serta menyandingkan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan agar integritas sebagai penyelenggara yang profesional tetap terjaga.
Pengawas Pemilu juga wajib meningkatkan konsistensi diri pada prinsip untuk lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan kelompok atau golongan.
Jika semua itu dilakukan secara baik, niscaya Pemilu kita di tanggal 14 Februari 2024 mendatang akan berjalan dengan sangat baik dan demokratis dengan tetap mengedepankan kearifan budaya setempat.