Oleh: Pater Vinsensius Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Ketika mendengarkan berita bahwa Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM mengundurkan diri sebagai kardinal, hati saya sedih, ada rasa kebanggaan hilang, tetapi serentak saya berpikir positif bahwasannya salut untuk Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM atas pengunduran dirinya sebagai Kardinal, sekaligus menjadi kabar sukacita sejati bagi reformasi Gereja dari dalam, terutama terkait dengan pemilihan kepemimpinan Gereja.
Keputusan ini mencerminkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip kesederhanaan, kerendahan hati dan pelayanan, serta membuka peluang bagi proses pemilihan yang lebih partisipatif dan demokratis.
Dengan langkah berani ini, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM menunjukkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mengarus-utamakan kesejahteraan umat dan siap memberi ruang bagi suara-suara komunitas lokal, mendorong perubahan yang diperlukan agar Gereja semakin responsif dan relevan di tengah tantangan zaman.
Ini bukan hanya sekadar pengunduran diri, tetapi juga sebuah harapan bagi kita semua untuk merenungkan arti sejati dari kepemimpinan dalam konteks iman dan pelayanan total demi kebaikan bersama (bonum commune) dan jalan menuju kesempurnaan hidup.
Ketika Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM memutuskan untuk pengunduran dirinya sebagai Kardinal ketiga dari Indonesia, suasana hati banyak orang seolah terhenti sejenak, menyelimuti mereka dalam kesedihan dan kekecewaan.
Sosoknya yang murah senyum, selalu menginspirasi dengan kebijaksanaan, kesederhanaan, kerendahan hati dan ketulusan dalam pelayanan, telah menjadi teladan bagi banyak orang, dan keputusannya itu membuat mereka merasa kehilangan sosok pemimpin spiritual yang selama ini diharapkan.
Namun, di balik duka tersebut, banyak yang menyadari bahwa keputusan ini juga merupakan bentuk anugerah yang luar biasa, sebuah “amazing grace,” yang mengingatkan kita bahwa jabatan tinggi bukanlah tujuan akhir, melainkan panggilan untuk melayani dengan rendah hati, di saat banyak orang masih terjebak dalam hasrat untuk meraih kekuasaan.
Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM dengan langkahnya yang berani, membuka ruang bagi generasi baru untuk menjawab panggilan Tuhan, sekaligus mengajak kita semua untuk merenungkan makna sejati dari kepemimpinan dalam iman.
Lebih Bagus, Bukan Hoaks
Pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM sebagai Kardinal ketiga dari Indonesia menandai sebuah langkah penting dalam dinamika kepemimpinan Gereja.
Keputusan ini bukan hanya mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran spiritualnya yang mendalam, tetapi juga memberikan peluang bagi perubahan positif dalam cara pemilihan pemimpin di dalam struktur Gereja.
Dengan langkah ini, diharapkan Vatikan dapat mempertimbangkan pendekatan yang lebih demokratis dan partisipatif dalam memilih kardinal, sehingga prosesnya tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga melibatkan suara dan pengalaman komunitas lokal, Gereja lokal.
Selama ini, pemilihan kardinal sering kali terkesan sebagai proses yang tertutup dan terpusat, dengan sedikit ruang bagi partisipasi dari Gereja lokal.
Dengan pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur, ada kesempatan untuk menggugah kesadaran akan pentingnya melibatkan umat Allah di Gereja Lokal dalam proses pengambilan keputusan.
Hal ini dapat menciptakan hubungan yang lebih erat antara kepemimpinan Gereja dan Umat Allah, di mana suara mereka didengar dan dihargai, bukan hanya sebagai bagian dari struktur, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem komunitas spiritual yang lebih luas.
Dalam konteks ini, keterlibatan Gereja lokal dalam pemilihan kardinal akan memberikan perspektif yang lebih kaya dan beragam. Setiap komunitas memiliki tantangan dan kebutuhan unik yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami oleh mereka yang berada jauh di pusat kekuasaan, misalnya di Vatikan, Roma sana.
Dengan meminta persetujuan dari individu yang bersangkutan dan melibatkan komunitas dalam proses tersebut, Vatikan dapat memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi dan harapan Gereja sebagai komunitas Roh Kudus, bukan hanya berdasarkan kriteria administratif atau formalitas.
Pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syuku, OFM juga menekankan pentingnya pemimpin yang memiliki koneksi langsung dengan realitas kehidupan umat.
Seorang kardinal yang terpilih melalui proses yang melibatkan partisipasi aktif akan lebih peka terhadap isu-isu yang dihadapi umat.
Mereka akan memiliki pengalaman yang lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat, yang pada gilirannya akan memungkinkan mereka untuk menjalankan pelayanan yang lebih relevan dan efektif.
Dengan demikian, pemimpin tersebut akan mampu menjadi gembala yang baik bagi kawanan yang mereka pimpin.
Proses pemilihan yang lebih demokratis dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan umat Allah.
Ketika mereka merasa dilibatkan, umat akan lebih mungkin untuk aktif mendukung dan berkontribusi pada misi Gereja.
Ini menciptakan sebuah siklus positif, di mana pemimpin yang terpilih akan merasa memiliki dukungan yang kuat dari umat, dan umat merasa terinspirasi untuk berperan aktif dalam kehidupan Gereja. Hubungan ini akan memperkuat komunitas dan membangun solidaritas di antara para anggotanya.
Pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM juga bisa menjadi panggilan untuk merefleksikan kualitas-kualitas yang diperlukan dalam kepemimpinan Gereja. Dalam konteks masyarakat yang terus berubah, pemimpin yang bersifat partisipatif, sederhana, dan rendah hati akan lebih mampu menghadapi tantangan zaman.
Mgr. Paskalis, melalui langkah ini, mengajak kita semua untuk merenungkan pentingnya pemimpin yang bukan hanya memiliki jabatan, kekuasan tetapi juga memiliki karakter dan integritas yang mencerminkan nilai-nilai kasih Injil.
Dengan memperkenalkan model pemilihan yang lebih terbuka, Gereja dapat menciptakan lingkungan di mana inovasi dan kreativitas dapat berkembang.
Pemimpin yang terpilih dengan cara ini akan lebih terbuka untuk mendengarkan berbagai suara dan ide, menciptakan ruang untuk diskusi dan dialog yang konstruktif.
Ini akan memperkaya pengalaman spiritual umat dan mendorong mereka untuk berkontribusi dengan cara yang lebih berarti.
Pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM dapat menjadi titik awal untuk merevitalisasi cara Gereja memilih pemimpinnya.
Dengan mengedepankan partisipasi dan keterlibatan, Vatikan tidak hanya akan menciptakan pemimpin yang lebih sesuai dengan kebutuhan umat, tetapi juga menciptakan struktur yang lebih dinamis dan adaptif.
Ini adalah langkah menuju masa depan Gereja yang lebih adil, inklusif, di mana setiap suara didengar, dihargai dan setiap individu merasa memiliki peran dalam misi bersama Gereja Universal.
Dengan demikian, pengunduran diri Mgr. Paskalis bukan hanya sekadar kehilangan apalagi kekecewaan dan kesedihan melainkan sebagai suka cita sejati sekaligus juga sebuah harapan dan kesempatan untuk perbaikan yang lebih besar dalam kepemimpinan Gereja di masa mendatang.
Makna Sejati Kepemimpinan
Paus Fransiskus sering menekankan pentingnya kepemimpinan dalam Gereja yang tidak hanya berbasis pada kekuasaan, tetapi pada pelayanan dan kerendahan hati.
Dalam konteks Gereja yang “kotor”, ia mengajak para pemimpin untuk menghadapi kenyataan bahwa institusi ini, meskipun memiliki misi suci, juga penuh dengan tantangan, kegagalan, dan bahkan skandal.
Kepemimpinan sejati, menurutnya, harus mencerminkan pengertian mendalam akan kelemahan manusia dan keinginan untuk memperbaiki serta melayani umat dengan tulus.
Makna sejati kepemimpinan dalam Gereja, menurut Paus, terletak pada kemampuan untuk menjadi gembala yang baik.
Seorang pemimpin harus mampu merangkul dan melindungi semua orang, terutama mereka yang paling terpinggirkan.
Dalam banyak kesempatan, Paus mengingatkan bahwa gembala yang baik adalah mereka yang siap turun ke lapangan, merasakan penderitaan umat, merasakan kelemahan kelemahan sesame saudaranya dan mengulurkan tangan untuk membantu.
Ini berarti, seorang pemimpin Gereja harus siap untuk bersentuhan dengan realitas pahit yang dihadapi oleh umat yang sedang berzirah dalam pengharapan, bukan hanya terjebak dalam urusan administratif dan formalitas.
Paus juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan. Dalam pandangannya, Gereja tidak boleh menutupi kesalahan atau skandal, melainkan harus menghadapinya dengan berani.
Kepemimpinan yang sejati berarti mengambil tanggung jawab atas tindakan dan keputusan, serta berusaha untuk melakukan perbaikan.
Melalui keterbukaan, pemimpin dapat membangun kembali kepercayaan dan menunjukkan komitmen mereka untuk memulihkan dan membersihkan Gereja dari segala noda.
Di sisi lain, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa kepemimpinan dalam Gereja harus didasarkan pada kasih dan pengertian. Pemimpin tidak hanya berfungsi sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan yang mendengarkan dan memahami kebutuhan umat. Dengan pendekatan yang penuh kasih, pemimpin mampu menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung, di mana setiap individu merasa dihargai dan diterima. Ini merupakan panggilan untuk merangkul perbedaan dan membangun persatuan di tengah keragaman.
Paus Fransiskus menekankan bahwa kepemimpinan sejati adalah perjalanan spiritual. Para pemimpin Gereja harus senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari bimbingan-Nya dalam setiap keputusan.
Dengan mengandalkan doa dan refleksi, mereka dapat menemukan kekuatan untuk menghadapi tantangan yang ada, sekaligus menjadi contoh iman yang hidup bagi orang lain.
Dalam dunia yang sering kali kelam dan penuh dengan kebingungan, kepemimpinan yang didasarkan pada iman dan kasih akan menjadi cahaya yang membimbing umat menuju harapan dan keselamatan.
Kita Tidak Tahu
Kita tidak sepenuhnya mengetahui alasan mendalam di balik pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur sebagai Kardinal ketiga dari Indonesia, karena keputusan tersebut tentu didasari oleh proses discernment yang kompleks dan pribadi.
Hanya Mgr. Paskalis yang memahami sepenuhnya pertimbangan spiritual, emosional, dan pastoral yang mengarahkan langkahnya ini.
Dalam perjalanan iman yang penuh refleksi, Beliau mungkin merasakan panggilan untuk memberikan ruang bagi pembaruan dalam kepemimpinan Gereja atau ingin lebih fokus pada pelayanan yang lebih langsung kepada umat.
Keberaniannya untuk mengambil langkah ini menunjukkan betapa dalamnya komitmennya terhadap visi dan misi Gereja dan penyerahan dirinya kepada kehendak Tuhan, meskipun hal itu mungkin sulit dipahami oleh orang lain.
Bagi saya secara pribadi, Pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur sebagai Kardinal ketiga dari Indonesia membawa makna yang mendalam bagi Gereja dan masyarakat.
Keputusan ini mencerminkan komitmennya terhadap nilai-nilai kerendahan hati dan pelayanan yang sejati.
Mgr. Paskalis bukan hanya seorang pemimpin spiritual, tetapi juga sosok yang memahami tantangan dan dinamika kehidupan Gereja di Indonesia.
Dengan langkah ini, ia menunjukkan bahwa jabatan bukanlah tujuan utama, melainkan sarana untuk melayani umat dengan lebih baik menuju kesempurnaan dan kekudusan hidup.
Makna lain dari pengunduran diri ini adalah pengingat akan pentingnya akuntabilitas dan tanggung jawab dalam kepemimpinan.
Dalam konteks Gereja yang sering dihadapkan pada berbagai masalah, baik internal maupun eksternal, Mgr. Paskalis menjadi penanda da pengikat makna bahwa seorang pemimpin harus siap menghadapi konsekuensi dari keputusan dan tindakannya, serta selalu mengedepankan kepentingan umat Allah di atas kepentingan pribadi.
Pengunduran diri ini juga mengajak umat untuk merenungkan makna kepemimpinan dalam iman. Mgr. Paskalis, melalui tindakan ini, mengilustrasikan bahwa menjadi seorang pemimpin bukan hanya tentang jabatan, kekuasaan atau pengaruh, tetapi tentang pengabdian, kesederhanaan dan ketulusan hati.
Dalam dunia yang sering kali terfokus pada ambisi dan pencapaian, sikapnya yang merendah ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengevaluasi kembali motivasi di balik peran kepemimpinan mereka, baik di Gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Dari perspektif spiritual, pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur juga merupakan panggilan bagi generasi baru untuk muncul dan mengambil peran dalam kepemimpinan Gereja.
Ia membuka ruang bagi pembaruan dan revitalisasi dalam struktur kepemimpinan, memungkinkan orang lain untuk membawa perspektif dan pendekatan baru yang lebih relevan dengan kebutuhan umat masa kini.
Dengan demikian, keputusan ini bisa dilihat sebagai suatu kesempatan untuk transformasi yang lebih luas dalam konteks pelayanan gerejawi di Indonesia.
Pengunduran diri Mgr. Paskalis merupakan suatu “amazing grace” yang mengajak kita semua untuk merenungkan nilai-nilai kesederhanaaan, kerendahan hati dan pengabdian.
Dalam dunia yang sering kali haus akan kekuasaan dan status, ia mengingatkan kita bahwa sejatinya kepemimpinan adalah tentang melayani, bukan dilayani.
Tindakan ini, meskipun membawa kesedihan bagi banyak orang, adalah sebuah pelajaran berharga tentang arti sejati dari pengabdian kepada Tuhan dan umat-Nya, dan bagaimana kita bisa menjadi gembala yang baik dalam konteks kehidupan kita masing-masing.
Kesederhanaan, Kerendahan Hati dan Compassion
Pesan penting dari pengunduran Mgr. Paskalis sebagai Kardinal adalah bahwa Gereja masa depan memerlukan pemimpin yang bersaudara, sederhana, rendah hati, dan penuh compassion dalam melayani umat.
Mgr. Paskalis menunjukkan kesadaran bahwa untuk menciptakan komunitas Gereja yang inklusif dan mendukung, seorang pemimpin harus mampu meneladani nilai-nilai tersebut dalam tindakan sehari-hari.
Dalam proses belajar dan berjuang untuk menjadi sosok yang lebih sesuai dengan karakter pelayanan ini, ia merasa bahwa posisinya sebagai kardinal mungkin kurang tepat, karena ia ingin lebih fokus pada pengabdian yang tulus dan langsung kepada umat tanpa beban jabatan yang mungkin menghalangi kemurnian misinya.
Keputusan ini menggambarkan komitmen yang dalam terhadap panggilan pelayanan, sekaligus mengajak semua orang untuk merefleksikan makna kepemimpinan dalam konteks iman yang lebih sederhana dan penuh kasih.
Di tengah tantangan dan kompleksitas yang dihadapi Gereja saat ini, kebutuhan akan sosok pemimpin yang sederhana, rendah hati, compassion dan berkomitmen pada pengabdian total menjadi semakin mendesak.
Gereja, yang seharusnya menjadi tempat suci dan pengharapan, sering kali terjebak dalam realitas yang kurang ideal, seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan skandal yang mencemari namanya.
Dalam konteks ini, seorang pemimpin yang memiliki integritas dan kerendahan hati sangat diperlukan untuk membimbing umat menuju jalan yang benar.
Sosok pemimpin yang sederhana mampu menjalin hubungan yang lebih dekat dengan umat. Mereka tidak hanya berbicara dari posisi tinggi, tetapi juga mendengarkan dan merasakan dan berempati dengan kebutuhan serta harapan umat.
Dalam banyak kasus, pemimpin yang berpangkat tinggi sering kali terputus dari realitas kehidupan sehari-hari dan perhulatan serta jeritan derita sengsara umatnya.
Namun, pemimpin yang sederhana berusaha untuk mengenal dan memahami tantangan yang dihadapi oleh orang-orang yang mereka layani.
Rendah hati adalah kualitas lain yang sangat penting dalam kepemimpinan Gereja. Seorang pemimpin yang rendah hati tidak merasa di atas orang lain, melainkan menganggap diri sebagai pelayan bagi semua.
Mereka menyadari bahwa kekuatan mereka terletak pada kemampuan untuk melayani, bukan untuk menguasai.
Dalam dunia yang sering kali dipenuhi ambisi dan persaingan, sosok seperti ini akan menjadi contoh yang menginspirasi bagi banyak orang, mendorong mereka untuk mengutamakan nilai-nilai kasih dan pengabdian.
Kualitas compassion atau kepedulian yang mendalam merupakan salah satu atribut paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Gereja di tengah umat Allah.
Pemimpin yang memiliki rasa empati dan pengertian yang tinggi akan mampu merasakan penderitaan dan kesulitan yang dihadapi oleh umatnya. Mereka tidak hanya mendengar kata-kata umat, tetapi juga mendengarkan suara hati dan kebutuhan spiritual mereka.
Dengan memahami konteks dan tantangan yang dihadapi oleh orang-orang di sekeliling mereka, pemimpin dapat memberikan dukungan yang lebih nyata, menciptakan rasa aman, dan menumbuhkan kepercayaan yang kuat di antara anggota gereja.
Lebih dari sekadar memberikan penghiburan, seorang pemimpin Gereja yang penuh compassion juga berkomitmen untuk bertindak dan menghadirkan perubahan nyata dalam kehidupan umatnya.
Ini berarti mengambil langkah-langkah konkret untuk membantu mereka yang terpinggirkan, menyediakan sumber daya untuk mereka yang membutuhkan, dan menciptakan ruang bagi dialog dan refleksi.
Dengan cara ini, pemimpin tidak hanya menjadi sosok yang dihormati, tetapi juga menjadi panutan dalam menghidupi ajaran Kristus, yang selalu mengutamakan kasih dan pengabdian kepada sesama.
Compassion ini menjadi jembatan yang menghubungkan pemimpin dengan umat, menjadikan Gereja sebagai komunitas yang saling mendukung dan menumbuhkan, terutama di saat-saat sulit.
Di tengah Gereja yang terpinggirkan, pemimpin yang memiliki pengabdian total sangat diperlukan untuk menyuarakan hak-hak mereka yang terabaikan.
Dalam banyak situasi, kelompok marginal sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.
Pemimpin yang berkomitmen pada pengabdian akan berjuang untuk mewakili suara-suara yang tidak terdengar, membawa perhatian kepada mereka yang paling membutuhkan.
Mereka akan berusaha untuk menciptakan lingkungan di mana semua orang merasa dihargai dan memiliki tempat.
Dalam menghadapi masalah internal, seperti skandal dan praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus, seorang pemimpin yang sederhana dan rendah hati akan memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan dan berupaya untuk memperbaiki keadaan.
Kepemimpinan yang berbasis pada pengabdian total tidak hanya berarti melakukan hal-hal yang besar, tetapi juga berani mengambil tanggung jawab atas tindakan yang salah dan berusaha untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Ini adalah langkah yang tidak mudah, tetapi sangat diperlukan untuk membangun kembali kepercayaan umat.
Sosok pemimpin Gereja yang sederhana juga akan lebih mudah beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Di era informasi dan keterhubungan yang cepat seperti sekarang, pemimpin harus mampu mendengarkan suara-suara baru dan menanggapi tantangan yang muncul.
Pemimpin yang rendah hati akan terbuka terhadap kritik dan masukan, serta bersedia untuk belajar dari pengalaman orang lain.
Ini akan membantu Gereja untuk tetap relevan dan responsif terhadap kebutuhan umat.
Kepemimpinan yang berfokus pada pengabdian total juga berarti mengedepankan pelayanan kepada yang paling lemah dan terpinggirkan.
Seorang pemimpin yang sungguh-sungguh akan mengarahkan upayanya untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan, baik secara materi maupun spiritual.
Mereka akan berusaha untuk menciptakan program-program yang konkret dan berkelanjutan, yang dapat membantu mengangkat derajat hidup umat, terutama mereka yang berada dalam kondisi sulit.
Dalam konteks Gereja yang “kotor”, di mana berbagai skandal dan praktik tidak etis dapat mempengaruhi citra dan integritas, pemimpin yang sederhana dan rendah hati akan berusaha untuk membersihkan rumah Tuhan.
Dengan ketulusan hati, mereka akan mengajak semua anggota Gereja untuk kembali kepada nilai-nilai dasar iman dan menciptakan budaya transparansi dan akuntabilitas.
Ini bukan hanya tentang membersihkan nama baik Gereja, tetapi juga tentang memperbaiki hubungan dengan umat dan membangun kembali kepercayaan.
Lebih jauh lagi, sosok pemimpin seperti ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara Gereja dan masyarakat luas.
Dalam dunia yang sering kali terpecah oleh berbagai isu sosial, pemimpin yang rendah hati akan berusaha untuk menyatukan berbagai pihak, mengajak dialog dan kerja sama.
Mereka akan menjadi teladan dalam menciptakan harmoni dan kedamaian di tengah perbedaan, serta mengajak orang lain untuk saling memahami dan menghormati.
Kepemimpinan yang sederhana dan penuh pengabdian juga dapat menginspirasi generasi muda untuk terlibat aktif dalam kehidupan Gereja.
Dengan menunjukkan contoh yang nyata, pemimpin seperti ini dapat menarik perhatian dan hati kaum muda yang mungkin merasa kehilangan arah. Mereka akan melihat bahwa pelayanan kepada Tuhan dan sesama bukan hanya sebuah panggilan, tetapi juga suatu cara hidup yang indah dan berarti.
Dalam perjalanan iman yang penuh tantangan ini, seorang pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas akan mampu memandu umat menuju tujuan yang lebih tinggi.
Mereka tidak hanya akan berfokus pada pertumbuhan angka atau kekuasaan, tetapi pada pertumbuhan spiritual dan pengembangan karakter umat.
Dengan pendekatan yang penuh kasih, mereka akan menekankan pentingnya iman yang hidup dan tindakan nyata dalam menghidupi ajaran Kristus.
Dengan segala tantangan yang ada, pemimpin yang sederhana dan rendah hati akan terus berusaha untuk membawa terang ke dalam kegelapan yang sering menyelimuti Gereja.
Melalui dedikasi dan ketulusan hati, mereka akan berusaha untuk menjadi alat Tuhan dalam menyebarkan kasih dan harapan kepada semua orang, terutama mereka yang membutuhkan. Ini adalah panggilan yang tidak mudah, tetapi dengan iman dan komitmen, mereka akan mampu menjawabnya.
Sosok pemimpin Gereja yang sederhana, rendah hati, dan berdedikasi sepenuhnya akan memberikan pengaruh positif yang besar tidak hanya dalam lingkup Gereja, tetapi juga dalam masyarakat luas.
Mereka akan menjadi panutan dalam menciptakan dunia yang lebih baik, di mana kasih, keadilan, dan kedamaian dapat berkembang.
Dengan mengedepankan pengabdian dan pelayanan, mereka akan menorehkan jejak yang mendalam dalam sejarah Gereja dan memberi inspirasi bagi banyak orang untuk mengikuti jejak Kristus.
Penutup
Pengunduran diri Mgr. Paskalis Bruno Syukur sebagai Kardinal ketiga dari Indonesia merupakan sebuah sukacita sejati bagi Gereja, karena langkah ini membuka peluang bagi perubahan menuju sistem kepemimpinan yang lebih partisipatif dan demokratis.
Dengan keputusannya, ia tidak hanya menunjukkan kerendahan hati, tetapi juga mengajak semua orang untuk merenungkan bagaimana pemilihan pemimpin seharusnya melibatkan suara umat secara aktif.
Ini adalah saat yang tepat untuk merefleksikan peran penting setiap anggota komunitas dalam menentukan arah Gereja ke depan.
Lebih dari sekadar kehilangan seorang pemimpin, pengunduran diri Mgr. Paskalis sebagai kardinal memberikan harapan akan munculnya pemimpin yang memiliki hati dan kepedulian mendalam terhadap umat, terutama mereka yang miskin, sengsara, dan menderita.
Dalam konteks Gereja yang sering dihadapkan pada tantangan sosial, pemimpin yang terpilih melalui proses yang melibatkan partisipasi aktif akan lebih peka terhadap kebutuhan dan realitas yang dihadapi oleh jemaatnya.
Mereka akan mampu menjalin hubungan yang lebih dekat dan memahami berbagai tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok marginal.
Dengan mengedepankan nilai-nilai partisipasi dan kepedulian, Gereja dapat memperkuat komitmennya untuk melayani semua umat dengan tulus.
Pemimpin yang lahir dari proses ini akan berupaya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana suara semua orang didengar dan dihargai.
Dalam semangat cinta kasih Injil, pengunduran diri Mgr. Paskalis dapat dilihat sebagai langkah menuju Gereja yang lebih berdaya, lebih responsif, lebih kolaboratif dan lebih mampu menjawab kebutuhan mereka yang paling membutuhkan, mewujudkan sukacita sejati dalam perjalanan iman bersama.