Sikka, VoxNtt.com-Komisioner Komnas HAM Subkomisi Mediasi, Nurcholis pada Rabu, 22 September 2016 menemui masyarakat adat di Blevaak (balai pertemuan) masyarakat adat, di Utangwair, Nangahale. Kedatangan komisioner Komnas HAM ini dalam rangka memediasi para pihak (Masyarakat, gereja dan pemerintah) terkait kasus tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) Patiahu-Nangahale.
Kepada masyarakat adat Tana Pu’an Soge dan Tana Pu’an Goban yang hadir, Nurcholis menyatakan kehadirannya bersama dua staf Komnas HAM, Ono Haryanto dan Ety Listioryni merupakan respon lembaga negara ini atas pengaduan dan permohonan masyarakat adat.
“Kedatangan kami ini dalam rangka mediasi itu untuk mencari jalan keluar terbaik dari masalah ini,” ujar Nurcholis. Dirinya menambahkan bahwa setelah bertemu dengan masyarakat adat, Komnas HAM juga akan menemui Uskup Maumere dan Bupati Sikka untuk menguapayakan adanya pertemuan bersama ketiga pihak.
Menurut Nurcholis yang terpenting dalam mediasi adalah semua pihak dapat menerima solusi yang ditawarkan.
“Kalau dari masyarakat saya sudah dengar sedikit, gereja maunya seperti apa, pemerintah maunya seperti apa lalu kita carikan solusi terbaik karenanya perundingan dan kompromi sangat berperan penting dalam mediasi,” tegasnya.
Sementara itu, wakil masyarakat adat, Damaskus Jeng dari Suku Soge menyatakan sejak awal keberadaan HGU Perkebunan Kelapa ini masyarakat sudah menderita.
“Masyarakat berjuang karena hak sebagai pemegang ulayat dan karena kebutuhan” katanya.
Menurutnya, kehadiran HGU tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat adat sebagai pewaris hak ulayat.
“Kehadiran HGU tidak mensejahterakan kami sebaliknya kami menderita, tempat ritus adat kami dirusak, nenek moyang kami mati dan terpaksa berpindah-pindah kampung”.
Lebih jauh jauh Jeng menegaskan masyarakat menolak sistem plasma karena hanya menjadikan masyarakat sebagai objek dan bukan subjek.
Senada dengan Jeng, Tana Pu’an Goban, Leonardus Leo menegaskan selama ini masyarakat kesulitan pendidikan, akses kesehatan, dan transportasi karena harus berdiam di gunung dalam kawasan hutan atau membangun kampung di luar HGU.
Menurutnya, masyarakat akan sejahtera jika mengolah lahan dalam kawasan tersebut.
“Kami butuh tempat tinggal dan areal pertanian sebagai petani, dan kami menolak tawaran Pemda Sikka untuk areal pemukiman seluas kurang lebih 4 Ha di daerah tandus bagian selatan HGU” tegasnya.
Masyarakat adat akan tetap bersikukuh bahwa tanah tersebut harus dibagi untuk masyarakat adat, gereja dan Pemda Sikka serta menolak penguasaan kawasan yang subur oleh PT. Krisrama/gereja.
Selain masyarakat adat dan Komnas HAM, turut hadir dalam pertemuan tersebut adalah Direktur PBH Nusra, Fransesko Bero, Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Lingkungan Hidup, serta Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) daerah Flores Bagian Timur.
Model Pengelolaan Bersama
Menurut Nurcholis agak sulit bila gereja tetap bertahan mendapatkan kontrak HGU karena kementerian terkait pun tidak akan mengeluarkan kontrak apabila belum clear and clean di lapangan sementara di satu sisi masyarakat juga sedang menguasai dan mengusahakannya atas dasar kebutuhan. Oleh karenanya pihaknya akan menawarkan solusi pengelolaan bersama atas kawasan tersebut.
“Masyarakat kan umat Katolik, PT.Krisrama juga perusahaan milik Keuskupan jadi sebaiknya bekerja sama,” tegasnya.
Menurut Nurcholis, selama ini pemerintah mengabaikan hak-hak rakyat seperti perumahan, pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak bagi rakyat.
“Saya melihat sepertinya bapa ibu berusaha sendiri untuk memenuhinya tanpa pmerintah” ujarnya.
Nurcholis menyatakan apabila mediasi berjalan lancar dan mencapai kesepakatan maka hasil mediasi bersifat final. Namun, dirinya berharap semua pihak realistis bahwa mediasi bisa saja menghasilkan kesepakatan atau sebaliknya tidak menghasilkan jalan keluar.
Informasi terkahir yang diperoleh dari staf Subkomisi Mediasi, Ono Haryanto, Komnas HAM akan bertemu ketiga pihak yakni masyarakat, Keuskupan Maumere, dan Pemda Sikka pada Kamis, 23/9/2016, pukul 14.00 di Aula Bappeda Sikka. Pantauan VoxNtt.com, pertemuan yang menghadirkan para pihak yakni masyarakat, PT.Krisrama, Pemda Sikka, BPN Sikka, dan DPRD Sikka dilakukan secara tertutup.
Aksi penolakan ini masih berlangsung hingga sekarang dan tercatat sebanyak 699 kepala keluarga yang melakukan penolakan. Masyarakat adat sudah membagi-bagikan lokasi tanah dengan ukuran 25×25 meter bagi setiap kepala keluarga.
Aksi ini berangkat dari pengakuan masyarakat adat bahwa tanah tersebut merupakan hak ulayat milik mereka. Tanah ini dikontrak selama 25 tahun oleh PT Diag, dan telah berakhir pada 31 Desember 2013. Karena belum mendapat kejelasan dari klaim ini, mereka pun terpaksa menduduki tanah tersebut. Padahal telah ada perpanjangan kontrak selama 25 tahun oleh PT Diag, yang dilaksanakan oleh PT Krisrama. (Are/VoN)