Oleh: Elvis Yunani Ontas*
VoxNtt.com-Guru Kencing Beridiri,murid kencing berlari. Pribahasa yang terkesan klasik ini sesungguhnya masih sangat relevan jika ditautkan dengan keberadaan guru di Indonesia saat ini.
Guru dengan segala predikat yang dibebankan pada pundak dan tanggung jawabnya selalu menjadi benteng terakhir yang menyelamatkan Generasi Bangsa.
Tidak jarang dalam kondisi bangsa yang dihimpit krisis multidimensi atau lebih tepatnya krisis moral ini, Guru selalu dijadikan sasaran kritik tanpa melihat peran keluarga, lingkungan dan media massa yang juga turut menentukan kualitas suatu lembaga pendidikan.
Selain persoalan guru, produk kurikulum yang berubah-ubah juga sering dipandang sebagai produk politik rezim yang memimpin hingga akhirnya menemui kegamangan.
Terlepas dari dinamika pendidikan yang selalu mengkambinghitamkan guru, deretan prestasi dan pencapaian kemajuan bangsa terus ditorehkan dan tidak pernah terlepas dari keberadaan profesi yang lekat dengan julukan “pahlawan tanpa tanda jasa” ini.
Keberadaan Guru pada masa kepemimpinan Jokowi-JK yang sering disebut sebagai zaman revolusi mental ini, pun mendapat tantangan baru.
Di bawah jargon “revolusi mental” ekspektasi kepemimpinan Jokowi-JK dalam menyukseskan semangat ini menuntut peran besar guru dalam mendidik generasi bangsa demi terwujudnya character building.
Namun ketika guru diorbit menjadi garda terdepan revolusi mental, aneka kontradiktif justru dipertontonkan dari dunia pendidikan kita.
Paruh pertama Bulan November 2016, media nasional menyajikan fakta miris dari Sulawesi Selatan. Tentu kita masih ingat pemberitaan terkait aksi represif seorang guru honor di salah satu Kabupaten di daerah itu yang tak segan menelanjangi muridnya, direkam serta diupload lalu menjadi viral di media sosial.
Pada konteks regional NTT, Vox NTT dalam pekan ini menyajikan kabar kurang menyenangkan dimana seorang siswa kelas 3 SD berinisial FU di Satarmese Barat menjadi korban pelecehan gurunya sendiri.
BACA: Di Satarmese Barat, Siswa Kelas 3 SD Jadi Korban Pelecehan Seksual Mantan Kepsek
Selain itu, pada pekan kedua Bulan Juni tahun 2016, media lokal menyoroti kasus HJ yang menjadi korban tindakan tak terpuji dari gurunya sendiri di SMPN 5 Cibal kabupaten Manggarai.
Kala itu HJ, siswi kelas II ini harus menguburkan mimpinya karena diketahui telah mengandung seorang bayi hasil hubungannya dengan seorang guru muda di sekolah itu dengan nama samar WNU.
Nasib sang guru WNU pun berakhir dibalik jeruji sedangkan HJ harus rela menjadi ibu bagi anaknya pada usia belia 17 tahun. Mimpi mengenyam ilmu setinggi langit dari siswi HJ kandas di tengah jalan akibat ulah ‘Sang Guru’.
Baik HJ maupun FU akhirnya menjadi korban dari prilaku senonoh yang justru dilakoni oleh gurunya sendiri. Seperti diberitakan media ini, kini remaja belia ini harus menderita beban psikis atas perilaku bejat Sang Guru.
Lantas apa yang mau dikatakan dari fenomena ini? Pertama, tentunya beragam kejadian itu sedang menggambarkan bahwa institusi sekolah yang menjadi benih persemaian bibit unggul bagi bangsa ini justru tercorengi oleh perilaku guru sebagai salah satu sumber nilai dan akhlak.
Apa jadinya bangsa ini kelak, kalau guru saja menjadi pelaku berbagai tindakan asusila terhadap muridnya sendiri. Citra guru pada umumnya pun menjadi tercoreng gara-gara tindakan segelintir oknum yang tidak mampu membendung nafsu seksualnya.
Kedua, lembaga sekolah harus mulai berpikir untuk membangun sistem kontrol yang ketat atas perilaku guru baik di sekolah maupun di luar sekolah. Salah satu cara membangun sistem itu adalah membangun budaya sekolah yang ramah dan aman bagi siswa.
Sesama guru juga harus saling menasehati, mengontrol dan melakukan oto kritik jikalau ada gejala perilaku yang mengarah ke tindakan asusila.
Selain itu, lingkungan dan masyarakat pun memiliki andil yang cukup besar untuk mengevaluasi dan mengontrol lembaga sekolah yang ada di sekitarnya.
Ketiga, salah satu faktor yang cukup berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang adalah lingkungan. Sudah terbukti bahwa lingkungan yang tidak sehat secara sosial akan berpengaruh pada perilaku maupun pemikiran seseorang termasuk guru.
Di sini kita butuh suatu sekolah kemasyarakat dimana masyarakat lingkar sekolah memiliki peran penting dalam mentransfer nilai dan akhlak kepada siswa, juga kepada guru yang tinggal dalam lingkungan tersebut.
Dengan kuatnya kontrol lingkungan terhadap lembaga pendidikan niscaya perilaku asusila dan penyakit sosial masyarakat lainnya dapat kita cegah secara bersama.
Semoga momentum hari guru nasional ini, dapat menjadi titik refleksi bagi sekolah, guru, keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan generasi emas yang berguna bagi bangsa dan negara. Jangan sampai kita tiba di titik tak bisa balik karena nanti yang dituai hanyalah penyesalan.***
Foto Feature: Illustrasi
Penulis adalah Journalist VoxNtt.com, Manggarai Barat.