Vox NTT- Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG)-Jakarta menyebut Gubernur NTT Frans Lebu Raya terus membangkang dalam menyikapi polemik pembangunan hotel di Pantai Pede, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).
Selain itu mereka juga menyebut Bupati Mabar Agustinus Ch Dula plin-plan menyikapi upaya Pemprov NTT untuk membangun hotel di Pantai Pede.
“Kami sungguh kecewa, tidak saja kepada Lebu Raya yang membangkang dan juga Bupati Dula yang plin-lan, namun juga kepada Kemendagri yang bersikap pasif dengan tidak mengawal SK yang sudah diterbitkan,” kata Ovan Wangkut, kordinator lapangan saat aksi unjuk rasa menolak privatisasi Pantai Pede di Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Dalam press release AMANG Jakarta yang salinannya diterima VoxNtt.com menjelaskan,lahan seluas 31.670 m2 di Pantai Pede merupakan satu-satunya wilayah pantai yang masih bisa diakses bebas publik di pesisir kota Labuan Bajo.
Wilayah lainnya sudah diprivatisasi dan sudah mulai dibangun hotel oleh PT Sarana Investama Manggabar (SIM). Perusahan ini diduga milik Setya Novanto, Ketua Partai Golkar yang kini namanya disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi dana proyek KTP elektronik.
Pembangunan hotel PT SIM berdasarkan kontrak kerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTT pada 2014, di mana perusahan itu akan mengusai Pantai Pede selama 25 tahun.
AMANG menegaskan, pembangunan hotel itu sejak awal ditentang oleh masyakat sipil, termasuk lembaga agama, seperti Gereja Katolik lewat berbagai bentuk aksi unjuk rasa.
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng Pr, pimpinan tertingi Gereja Katolik di Manggarai bahkan sudah menyurati Presiden Joko Widodo pada akhir Mei 2016, meminta agar Presiden turun tangan menyelesaikan masalah ini.
Namun, bukannya mendengarkan suara rakyat, pemerintah dan investor terus bersekutu dan menganggap angin lalu suara-suara protes. Mirisnya, langkah Pemerintah Provinsi menyerahkan Pantai Pede kepada PT SIM sesungguhnya tindakan ilegal.
“Mengapa? Pantai Pede seharusnya merupakan aset milik Pemerintah Kabupaten Mabar dan pemanfaatannya merupakan wewenang Pemkab Mabar,” tulis mereka dalam siara pers yang diketahui oleh Kordinator Aksi Kordinator AMANG, Ario Jempau dan kordinator lapangan aksi, Ovan Wangkut tersebut.
Hal itu merujuk pada Undang-Undang No 8 Tahun 2003 terkait pembentukan Kabupaten Mabar. Pasal 13 Undang-undang ini mewajibkan semua aset milik kabupaten induk, Manggarai serta Provinsi NTT yang ada di wilayah Mabar diserahkan ke Mabar sejak terbentuknya kabupaten itu. Namun, dengan sengaja Pemprov NTT membangkang.
Sejak tahun 2004 hingga tahun 2014, Pemkab Mabar telah beberapa kali meminta aset tanah tersebut untuk segera diserahkan. Namun pihak Provinsi NTT di bawah kepemimpinan Frans Lebu Raya terus-menerus menolak permintaan itu.
Sementara itu, pasca aksi unjuk rasa sejumlah elemen di Jakarta pada 14 Juni 2016, Kemendagri telah mengambil sikap terhadap kasus ini melalui surat keputusan (SK) bernomor 170/3460/SJ pada 13 September 2016 lalu. Dalam SK itu, Mendagri memerintahkan Frans Lebu Raya menaati perintah UU No 8 Tahun 2003 itu dan meninjau lagi kontrak dengan PT SIM.
Namun, lagi-lagi, pasca penerbitan SK itu tidak ada tanda-tanda Lebu Raya menaatinya. Malahan, di Pantai Pede PT SIM mulai beraktivitas.
Bupati Mabar, Agustinus Ch Dula yang sebelumnya sempat menyatakan mendukung perjuangan masyarakat, malah kemudian bertekuk lutut di hadapan Lebu Raya.
AMANG menyebut tanpa malu, Dula yang ikut didukung PDI Perjuangan saat maju pada periode kedua itu berubah sikap. Ia kemudian menerbit izin lingkungan bagi pembanguan hotel PT SIM.
Mereka menegaskan, sikap pemerintah yang memaksakan pembanguan hotel di Pantai Pede hanya merupakan salah satu dari rangkaian persoalan di Mabar, di tengah upaya pemerintah membangun daerah yang terkenal dengan binatang Komodo dan keindahan alam itu sebagai kota pariwisata.
“Pilihan untuk selalu berpihak pada para pemodal telah membuat masyarakat setempat kian terpinggirkan. Pemerintah mesti segera mengambil langkah serius untuk mengkaji berbagai program dan kebijakan yang telah diambil selama ini,” kata Ovan.
“Kami pun menduga, penerbitan SK hanyalah kedok untuk mendiamkan aksi protes masyarakat dan kemudian melanggengkan kepentingan Lebu Raya. Buktinya, tidak ada perubahan apapun pada diri Lebu Raya pasca munculnya surat itu,” tegas Ovan Wangkut.
Untuk itu, kata dia, mereka menuntut Kemendagri untuk menjelaskan kekuatan surat tersebut serta mengambil sikap yang jelas terhadap persoalan ini.
“Pembangunan di Pantai Pede sudah dimulai, karena itu sangat perlu bagi Mendagri untuk turun dan melihat serta mengurai kemelut komunikasi antara pemerintah, PT SIM dan masyarakat sendiri dalam batasan waktu yang sesegera mungkin,” kata Ovan.
Dikatakan, bila tidak ada sikap yang serius maka patut diduga Kemendagri telah berkongkalikong dengan Lebu Raya. Hal itu dilakukan lewat penerbitan SK, yang lebih tepat disebut surat hoax bagi masyarakat NTT.
Dalam aksi hari ini, Amang mendatangi Kemendagri, Kantor DPP PDI Perjuangan dan Istana Kepresidenan. Mereka menuntut Mendagri Tjahjo Kumolo, DPP PDI Perjuangan dan Presiden Joko Widodo menghargai perjuangan masyarakat Mabar agar Pantai Pede tetap menjadi ruang publik, bukan membangun hotel seperti yang sedang berlangsung saat ini. (Gerasimos Satria/AA/VoN)